BI Sarankan Pemerintah Lakukan Diversifikasi Energi
Berita

BI Sarankan Pemerintah Lakukan Diversifikasi Energi

Tujuannya agar neraca perdagangan Indonesia terus surplus.

FAT
Bacaan 2 Menit
BI Sarankan Pemerintah Lakukan Diversifikasi Energi
Hukumonline
Bank Indonesia (BI) menyarankan agar pemerintah serius dalam mengelola energi. Bila perlu, kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, diversifikasi energi dalam jangka panjang dilakukan oleh pemerintah.

“Memang mau tidak mau Indonesia jangka panjang harus ada diversifikasi energi,” katanya di Gedung BI di Jakarta, Jumat (2/5).

Diversifikasi dilakukan, lanjut Mirza, lantaran masih tingginya impor minyak dan gas bumi. Tercatat, impor migas masih berada di level AS$3,5-3,9 miliar. Menurutnya, diversifikasi tersebut menjadi jalan keluar pemerintah meskipun nilai neraca perdagangan Indonesia surplus sebesar AS$680 juta.

Menurut Mirza, banyak langkah diversifikasi energi yang bisa dilakukan. Misalnya, dengan cara panas bumi (geothermal), masif dalam menggunakan gas maupun penggunaan energi matahari yang bisa dilakukan secara serius. Ia khawatir, impor minyak dan gas yang terus menerus dapat menggerus neraca perdagangan Indonesia.

“Karena kalau tidak (diversifikasi, red), kita ini akan impor minyak terus. Kalau impor minyak kan akan membebani neraca perdagangan, neraca pembayaran,” tuturnya.

Menurut Mirza, neraca perdagangan Indonesia pada bulan Februari dan Maret tercatat surplus. Atas dasar itu, ia memperkirakan bahwa current account deficit (CAD) Indonesia di kuartal I 2014 sekitar dua persen. “Mungkin sedikit lebih tinggi dari dua persen tapi enggak jauh dari perkiraan BI,” katanya.

Meski kuartal I 2014 tercatat surplus, lanjut Mirza, BI tetap mewaspadai pergerakan pada kuartal II dan kuartal II 2014. Surplusnya defisit neraca perdagangan Indonesia pada kuartal I tersebut lebih dikarenakan aktifitas ekonomi seperti impor musiman yang lebih rendah.

Menurutnya, pada kuartal II dan kuartal III nanti, aktifitas ekonomi bisa lebih tinggi. Sedangkan pada kuartal IV diperkirakan bisa kembali turun lagi. Untuk itu, diperlukan ekspor yang signifikan agar bisa meredam aktifitas impor di kuartal II dan kuartal III tersebut.

“Biasanya aktivitas impor lebih tinggi di kuartal II dan III. Aktivitas ekonomi kuartal I orang baru mulai aktivitas, Januari-Februari-Maret mulai jalan, baru April baru kenceng. Kalau kita tidak ada kenaikan ekspor yang signifikan, maka itu bisa menjadi tantangan bagi neraca perdagangan,” tuturnya.

Sedangkan kinerja impor non migas, lanjut Mirza, diperkirakan akan lebih rendah jika dibandingkan tahun lalu. Meski begitu, ia berharap tak ada akselerasi lagi dari pemerintah. Menurutnya, akselerasi tersebut bisa membebani neraca pembayaran Indonesia. Hal ini tetap diwaspadai oleh BI.

Masa Panen
Mirza mengatakan, bulan April tercatat deflasi sebesar 0,02 persen. Meskipun deflasi lebih rendah dari yang diperkirakan BI, menurutnya, hal tersebut sesuai ekspektasi bahwa bulan April terjadi deflasi. Sebelumnya, BI memperkirakan bulan April akan terjadi deflasi sebesar 0,1 persen.

Ia mengatakan, deflasi di bulan April tersebut lebih dikarenakan terdapatnya masa panen di Indonesia. Atas dasar itu, BI memperkirakan akhir tahun 2014 angka inflasi masih berada di sekitar lima persen. “Sudah sesuai dengan perkiraan BI jadi akhir tahun ini kami masih perkirakan inflasi di sekitaran lima persen,” katanya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bulan April 2014 terjadi deflasi sebesar 0,02 persen (month to month). Deputi bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono mengatakan, deflasi tersebut bisa menjadi celah untuk menurunnya angka suku bunga acuan (BI Rate) yang saat ini berada di level 7,5 persen.

Ditambah lagi, kata Adi, laju kenaikan harga volatile foods sudah mulai relatif stabil. “Kalau menurut saya, selama tidak ada terjadi gejolak harga, maka BI Rate yang sekarang bisa turun,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait