BI Kaji Pelonggaran DP KPR Sesuai Segmen
Berita

BI Kaji Pelonggaran DP KPR Sesuai Segmen

Pelonggaran DP KPR sesuai segmen merupakan salah satu dari tiga kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan BI pada 2018.

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Gubernur BI, Agus Martowardojo. Foto: RES
Gubernur BI, Agus Martowardojo. Foto: RES

Bank Indonesia sedang mengkaji untuk memperluas rencana pelonggaran uang muka kredit pemilikan rumah (KPR) berdasarkan segmen penerima (LTV Targeted), bukan hanya pelonggaran uang muka KPR berdasarkan kewilayahan (loan to value/LTV Spasial). Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, penerapan relaksasi LTV tidak efektif jika hanya berdasarkan wilayah (spasial).

 

"Kami saat ini masih mengkaji untuk berdasarkan targeted. Ini masih dalam kajian, kami akan melihat hasil riset secara makroprudensial," kata Agus dalam Pertemuan Tahunan BI (Bankers' Dinner) 2017 di Jakarta, sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (28/11) malam.

 

Namun, Agus masih belum memastikan apakah akan menghapus rencana LTV Spasial atau menambahnya dengan pelonggaran LTV berdasakan segmen. Menurut Agus, relaksasi LTV sesuai dengan segmen dapat lebih mencegah risiko terjadinya bubble sektor KPR. Bubble merupakan gejolak yang ditimbulkan permintaan berlebihan terhadap sektor tertentu yang dapat mengerek drastis harga dan akhirnya mengguncang stabilitas perekonomian.

 

Relaksi LTV sesuai dengan segmen ini akan mencakup relaksasi KPR pada properti di bidang apartemen, rumah susun, ataupun rumah tinggal yang di atas tanah atau bentuk-bentuk spesifik yang lain. Agus menjelaskan, bahwa perluasan relaksasi LTV berdasarkan segmen dilakukan karena pertama LTV untuk properti di Indonesia yang sebesar 85 persen tergolong tinggi.

 

Dengan LTV 85 persen, uang muka KPR yang dibayarkan nasabah sebesar 15 persen. Di negara-negara lain, LTV untuk properti berkisar antara 70 persen dan 80 persen. Kedua, relaksasi LTV berdasarkan segmen juga untuk mendorong pertumbuhan kredit properti. Jika hanya mengandalan pelonggaran rasio LTV, dampaknya sangat lamban terhadap pertumbuhan kredit.

 

BI pernah melakukan pengetatan LTV properti pada tahun 2012 menjadi 70 persen dan melakukan pelonggaran pada tahun 2015 dan 2016. Bank Sentral berencana menerapkan relaksasi LTV ini pada tahun 2018. BI menargetkan pertumbuhan kredit perbankan secara keseluruhan pada tahun depan dapat tumbuh 10 s.d. 12 persen (yoy).

 

Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, terdapat tiga kriteria bagi daerah yang akan mendapatkan relaksasi LTV KPR. Pertama, kredit properti di provinsi itu masih lebih rendah daripada penyaluran kredit yang dibutuhkan menurut kajian BI. Bank Sentral akan menghitung kebutuhan realisasi kredit properti dari sejumlah indikator, seperti Produk Domestik Bruto (PDB), maupun tren penyaluran kredit di provinsi tersebut.

 

Kriteria kedua yang mendapat relaksasi LTV tambahan adalah provinsi dengan harga perumahan yang terlalu rendah. BI juga akan melihat acuan harga perimahan dari tren yang sedang berlangsung dan juga kondisi fundamental harga perumahan. Sedangkan kriteria ketiga adalah provinsi dengan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) yang terjaga alias tidak tinggi. Provinsi yang memenuhi ketiga kriteria tersebut, lanjut Perry akan mendapat tambahan relaksasi LTV, selain keringanan LTV nasional yang sudah diterapkan sejak 2016. Namun, porsi relaksasi tambahan LTV itu masih dikaji oleh BI.

 

Sebagai gambaran, berdasarkan relaksasi LTV nasional yang sudah berlaku sejak 29 Agustus 2016 silam, BI menetapkan LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 85 persen, rumah kedua 80 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 75 persen. Besaran yang sama berlaku untuk rumah susun.

 

Ini berarti ketentuan uang muka (down payment/DP) untuk LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 15 persen, rumah kedua 20 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 25 persen. Penyesuaian LTV tersebut tercantum dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016.

 

Baca Juga:

 

Dua kebijakan lain

Pelonggaran DP KPR sesuai segmen merupakan salah satu dari tiga kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan pada 2018. Dua kebijakan lainnya terkait likuiditas yakni rasio intermediasi makroprudensial (RMIP) dan penerapan perhitungan rata-rata Giro Wajib Minimum Primer (GWM Averaging) ke perbankan syariah.

 

Untuk RMIP, BI menambah unsur pembiayaan dari perbankan pada RMIP yakni unsur pembelian obligasi oleh bank, selain unsur penyaluran kredit. Sedangkan RMIP masih ditetapkan sebesar 80-92 persen atau masih sama dengan rasio kebijakan sebelumnya yakni rasio pinjaman terhadap pendanaan (Loan to Funding Ratio/LFR).

 

"Obligasi-obligasi dengan peringkat tertentu jika dibeli bank akan masuk dalam loan bank tersebut," ujar Agus.

 

Agus memastikan kebijakan RMIP tersebut akan diumumkan pada awal 2018. Dengan begitu, perbankan masih memiliki waktu untuk mempersiapkan diri guna menyokong pertumbuhan ekonomi, selain dari instrumen kredit. "RMIP itu yang akan kita arahkan akan berada di 80-92 persen," ujarnya.

 

Dengan ditambahnya unsur pembelian obligasi dalam unsur pembiayaan bank, Bank Sentral berharap perbankan bisa memiliki fleksibilitas dalam menyalurkan pembiayaan untuk mendongkrak kegiatan ekonomi. Sayangnya, Agus masih enggan menjelaskan rinci mengenai kebijakan tersebut, sebelum Peraturan BI terkait kebijakan itu tersebut resmi diumumkan.

 

Sedangkan terkait GWM Averaging ke perbankan syariah yang sebelumnya hanya untuk bank konvensional bertujuan untuk mempermudah pengelolaan likuiditas dan meningkatkan penyaluran pembiayaan. Menurut Agus, BI akan menerapkan perhitungan rata-rata GWM Primer pada simpanan bank berdenominasi valas, bukan hanya rupiah.

 

"Kami perkirakan Semester II 2018 (untuk penerapan di bank syariah dan simpanan valas)," kata Agus.

 

Selain itu, BI juga sedang mengkaji untuk memperpanjang periode pehitungan rata-rata GWM dari yang selama ini diterapkan di bank konvensional selama dua pekan. Tujuan penerapan rata-rata GWM ini, untuk meningkatkan efisiensi perbankan dalam mengelola likuiditas atau dana tersedia. Dengan keleluasaan likuiditas, diharapkan bank, baik konvensional maupun syariah, dapat menurunkan biaya dana sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan penyaluran pembiayaan. (ANT)

Tags:

Berita Terkait