BI Beri Peluang Swasta Kelola Informasi Perkreditan
Utama

BI Beri Peluang Swasta Kelola Informasi Perkreditan

Pengamat perbankan menyarankan, sebaiknya pengelolaan data dan informasi perkreditan dipegang pemerintah.

FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Gedung Bank Indonesia. Foto: SGP
Gedung Bank Indonesia. Foto: SGP

Bank Indonesia mengizinkan swasta berpartisipasi mengelola informasi kredit. Hal ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 15/1/PBI/2013 tentang Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP). Dalam aturan itu, BI membolehkan lembaga biro kredit dikelola lokal maupun asing. Aturan ini berlaku sejak 18 Februari 2013.

Asisten Direktur Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan BI, Sani Eka mengatakan, melalui PBI ini, bank sentral bermaksud menyerahkan sebagian kewenangan kepada pihak swasta atau asing dalam mengelola informasi kredit. Menurutnya, hingga kini sudah ada delapan kredit biro internasional yang tertarik ingin menanamkan investasinya di LPIP.

“Ada juga yang sudah mendirikan kantor perwakilan di Indonesia,” katanya di Jakarta, Jumat (15/3).

Meski banyak yang tertarik, belum ada satupun investor asing yang telah mengajukan secara formal ingin berinvestasi di LPIP. Namun, ia mengingatkan pihak asing tak bisa langsung berinvestasi sebelum mendirikan perusahaan berbadan hukum Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

“Kepemilikan harus melalui badan hukum Indonesia,” ujarnya.

Dikatakan Sani, bagi lembaga yang ingin menjadi LPIP harus menyetor modal Rp50 miliar dengan kepemilikan saham maksimum sebesar 51 persen dan adanya pemilik lokal. Menurutnya, diperlukan saham lebih besar agar ke depan ada pihak yang bisa mempertanggungjawabkan apabila terjadi suatu kesalahan.

Para investor yang ingin gabung ke LPIP disarankan dapat menggandeng asosiasi. Hal ini dikarenakan salah satu tugas LPIP yang menarik data perkreditan di lembaga keuangan. Selain kredit nasabah, LPIP juga bertugas menghimpun data nasabah yang memiliki kewajiban keuangan, seperti tunggakan listrik bagi yang masih model prabayar.

LPIP ini akan bersinergi mengenai data dan informasi dengan BI. Pengawasan LPIP sendiri juga ada di bawah BI. Bahkan, BI sewaktu-waktu bisa memberikan sanksi apabila terdapat LPIP yang melakukan kesalahan. BI juga memiliki diskresi untuk menentukan jenis dan bentuk keuangan seperti apa yang akan ditangani oleh tiap LPIP.

LPIP, lanjut Sani, bertugas menghimpun data perkreditan dari lembaga keuangan dan perbankan dan menyajikannya ke dalam sebuah informasi yang nantinya disimpan dalam database. Informasi dan data tersebut sewaktu-waktu bisa diakses oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya termasuk masyarakat itu sendiri.

Selama ini, tugas dan fungsi tersebut dilakukan oleh BI. Namun, belakangan dengan semakin berkembangnya jenis lembaga dan bentuk kredit diperlukan sebuah lembaga yang mengelola informasi tersebut. Rencananya, LPIP ini tak hanya mencakup mengenai data dan informasi perbankan saja, termasuk juga data dan informasi di lembaga keuangan lainnya.

Meski begitu, terdapat sejumlah kekhawatiran terkait pengelolaan informasi dan data ini. Hingga kini, BI masih melakukan komunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mencari tahu apakah ada di aturan lain yang melarang mengenai pertukaran data tersebut.

Atas dasar itu pula, persoalan keamanan dan keakuratan menjadi fokus utama bagi LPIP. Selain itu, lembaga ini juga membutuhkan teknologi yang handal agar bisa melindungi data pribadi para nasabah. “Walaupun data kredit bukan rahasia bank, tapi ada data pribadi, nama, alamat, nama ibu kandung yang harus dilindungi,” kata Sani.

LPIP ini akan efektif pada tahun 2016. Sayangnya, aturan mengenai LPIP ini masih sebatas PBI. Menurut Sani, hingga kini belum ada selevel UU yang mengatur mengenai LPIP. Ia berharap ke depannya LPIP dapat diatur dalam UU. “Di negara lain levelnya UU, bukan PBI,” ujar San

Sementara itu, Pengamat Perbankan Aviliani mengatakan, sebaiknya pengelolaan data dan informasi perkreditan tetap dipegang oleh pemerintah, bukan swasta. Ia khawatir akan terjadi jual beli apabila swasta yang mengelola karena orientasi swasta lebih kepada mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.

Maka itu tak ada jaminan keberadaan LPIP ini akan lebih mengintegrasikan data dan informasi perkreditan baik perseorangan dan perusahaan. Apalagi, lanjut Aviliani, pihak asing dapat menanam investasinya ke LPIP. Meskipun pihak asing itu harus berbadan hukum Indonesia terlebih dahulu. “Menurut saya bahaya dong, masa data orang Indonesia diketahui oleh asing,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.

Sebagaimana diketahui, dari website BI disebutkan bahwa pengelolaan informasi perkreditan sudah dilakukan bank sentral sejak tahun 1975. Pengelolaan informasi perkreditan ini dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas BI sebagai otoritas moneter dan perbankan serta melayani kebutuhan industri keuangan, khususnya dalam mendukung kelancaran penyaluran penyediaan dana serta manajemen risiko.

Dalam perkembangannya, industri keuangan membutuhkan informasi perkreditan yang lebih komprehensif dengan cakupan data yang lebih luas mencakup juga data dari luar industri keuangan. Atas dasar itu, BI memandang perlu dibukanya pengelolaan informasi perkreditan oleh swasta yang dikenal dengan LPIP.

Dengan adanya LPIP, ke depan diharapkan kebutuhan industri keuangan akan informasi perkreditan lebih komprehensif dapat terpenuhi sehingga meningkatkan fungsi intermediasi lembaga keuangan yang akan mendorong terjadinya stabilitas sistem keuangan.

Tags: