BI Akan Latih Hakim Agama tentang Perbankan
Berita

BI Akan Latih Hakim Agama tentang Perbankan

Ada juga wacana membentuk pengadilan niaga syariah.

ALI
Bacaan 2 Menit
BI Akan Latih Hakim Agama tentang Perbankan
Hukumonline

Ketua Muda Kamar Agama Mahkamah Agung (MA) Andi Syamsu Alam mengatakan telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) agar mereka melatih hakim-hakim pengadilan agama seputar produk perbankan.

“Kami sudah bekerja sama dengan BI, dan mereka bersedia untuk melatih para hakim agama seputar produk perbankan. Ini hanya menyangkut produk perbankan, kalau dari sisi syariahnya, para hakim agama tentu sudah paham,” ujarnya usai diskusi di Jakarta, Selasa (27/8).

Andi mengatakan pelatihan ini sebagai rangkaian persiapan Pengadilan Agama untuk menjalankan kewenangan menangani sengketa perbankan syariah. Selain itu, MA juga telah mengirim para hakim agama untuk belajar ke negara-negara yang sistem perbankan syariahnya sudah maju, seperti Maroko dan Inggris.

“Supaya nanti putusannya meyakinkan semua pihak bahwa Pengadilan Agama paham produk dan masalah perbankan syariah,” tambahnya.

Lebih lanjut, Andi juga mengatakan pelatihan-pelatihan ini untuk menjawab ‘kepercayaan’ sejumlah bank yang telah menegaskan bahwa masalah perbankan syariahnya akan diselesaikan di pengadilan agama. “Contohnya, BNI Syariah dan beberapa bank syariah lainnya,” ujarnya.

Andi mengungkapkan selama ini para hakim agama kerap dianggap tak paham dengan masalah-masalah perbankan. Karenanya, para pelaku bisnis syariah lebih senang menyelesaikan perkara syariahnya di pengadilan negeri. “Mereka lebih percaya ke PN, karena menganggap PA itu hanya sebagai penghulu,” ujarnya.

Namun, Andi menegaskan Pengadilan Agama akan terus berbenah. “Ada wacana membentuk pengadilan niaga syariah. Tapi ini memang masih sebuah wacana,” ungkapnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, penyelesaian sengketa perbankan syariah memang sempat menimbulkan masalah. Awalnya, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan pengadilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, termasuk sengketa ekonomi syariah.

Namun, kemudian muncul UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penjelesan Pasal 55 ayat (2) menyatakan selain di pengadilan agama, penyelesaian sengketa perbankan syariah bisa juga diselesaikan melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase atau melalui pengadilan negeri.

Pada Kamis (29/8), Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) ini bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK menyatakan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama (PA). Namun, bila salah satu pihak (misalnya, nasabah) ingin menyelesaikan sengketa di ‘tempat lain’, maka itu harus sudah dituangkan dalam akad perjanjian.

Pengadilan Negeri (PN) pun seakan sudah ‘legowo’ melepaskan sengketa perbankan syariah ke PA. Salah satu contohnya adalah dalam kasus gadai syariah antara seniman Butet Kartaredjasa versus BRI Syariah yang diputus PN Jakarta Pusat, Jumat (30/8).

Dalam putusannya, majelis hakim PN Jakarta Pusat menerima eksepsi Bank Indonesia (BI) yang menyatakan perkara ini seharusnya bukan ditangani oleh peradilan umum (Pengadilan Negeri), melainkan ditangani oleh peradilan agama. Majelis merujuk kepada Pasal 55 ayat (1) yang menyebut penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Tags:

Berita Terkait