BI: Jangka Menengah, Idealnya Subsidi BBM Dihapus
Berita

BI: Jangka Menengah, Idealnya Subsidi BBM Dihapus

Perlu payung hukum bagi Pertamina sebagai dasar dalam pengurangan BBM bersubsidi.

FAT/ANT
Bacaan 2 Menit
BI: Jangka Menengah, Idealnya Subsidi BBM Dihapus
Hukumonline
Dalam jangka menengah, Bank Indonesia (BI) menilai idealnya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dihapus. Namun, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, dihapusnya subsidi BBM tersebut memerlukan perencanaan yang matang oleh pemerintah.

"Dalam medium term sebaiknya tidak perlu ada subsidi, tapi kan ini perlu perencanaan," katanya di Jakarta, Rabu (27/8).

Menurut Mirza, besarnya subsidi BBM membuat defisit APBN semakin membengkak. Bengkaknya defisit anggaran ini mengharuskan pemerintah merevisi angka defisit dari semula sebesar 1,69 persen di APBN 2014 menjadi 2,5 persen di APBNP 2014. Ia mengatakan, besarnya defisit juga membutuhkan pembiayaan yang besar pula.

"Defisit itu harus ada yang membiayai, artinya pemerintah harus berutang lebih besar," kata Mirza.

Ia menjelaskan, porsi subsidi BBM yang besar turut membebani APBN. Padahal seharusnya, dana subsidi tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di sejumlah wilayah Indonesia, seperti pembangunan rumah sakit, pembangunan sekolah, pembangunan jalan dan pembangunan jembatan.

Subsidi BBM yang besar, lanjut Mirza, juga terus membebani impor. Menurutnya, subsidi BBM yang besar turut meningkatkan konsumsi yang membengkaknya jumlah impor minyak. "Maka impor BBM-nya meningkat, tiap bulan itu impor BBM sebesar AS$3,7 miliar sampai AS$4 miliar. Dan itu menggunakan devisa. Kalau ekspor kita sekarang sedang lemah, karena harga batubara, karet sedang turun, tentunya akan baik kalau impor BBM itu turun," ujarnya.

Selain itu, kata Mirza, besarnya porsi subsidi BBM juga membuat utang luar negeri jangka pendek untuk membiayai impor BBM turut meningkat. Menurutnya, dalam utang luar negeri terdapat satu komponen yang dipakai untuk mengimpor BBM. "Kalau konsumsi BBM turun, maka, utang luar negeri untuk mengimpor juga turun. Jadi, berbagai hal bisa terbantu," katanya.

Menurutnya, selain dihapusnya subsidi BBM maka ada cara lain yang bisa digunakan pemerintah. Misalnya dengan membatasi jumlah subsidi secara stabil, seperti, subsidi fix sebesar Rp2000. Yaitu, terdapat selisih sebesar Rp2000 untuk dengan harga BBM nonsubsidi.

"Yang Rp2000 itu yang disubsidi oleh pemerintah. Itu pemerintah bisa buat program seperti itu," katanya.

Ia tak menampik, pengurangan angka subsidi ini bisa memicu terjadinya kenaikan inflasi. Namun, menurut Mirza, pengurangan jumlah subsidi ini dapat memicu angka kenaikan inflasi. Tapi, jika pengurangan subsidi ini berjalan secara stabil, makan kenaikan inflasi hanya bersifat sementara.

"Mekanisme subsidi BBM ini harus dibuat lebih sehat," katanya.

Untuk diketahui, dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, tak ada kewajiban negara menyediakan BBM bersubsidi. Dalam Pasal 8 ayat (2) UU tentang Minyak dan Gas Bumi hanya menyebutkan bahwa, pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perlu Payung Hukum
Pengamat Energi dari Pusat Studi Kebijakan Publik, Sofyano Zakaria, mengimbau, pemerintah perlu segera menetapkan payung hukum untuk Pertamina agar perusahaan migas tersebut punya dasar dalam pengurangan BBM bersubsidi kepada SPBU.

"Tanpa adanya surat BPH Migas dan atau Menteri ESDM, Pertamina berpotensi bisa digugat masyarakat. Terutama, ketika Pertamina melakukan pengurangan (pemotongan) pasokan BBM bersubsidi ke SPBU," kata Sofyano.

Selain itu, tambahnya, hal tersebut sekaligus bertujuan menghindarkan Pertamina dan sejumlah SPBU di Tanah Air dari protes masyarakat konsumen pengguna BBM bersubsidi.

"Urgensi payung hukum untuk melaksanakan pembatasan BBM bersubsidi, dikarenakan kebijakan pengurangan komoditas itu menyangkut hajat hidup orang banyak," ujarnya.

Meski begitu, menurut dia, pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi di Indonesia juga sangat sulit, bahkan perlu upaya yang sangat luar biasa dan data kendaraan atau konsumen yang detail.

"Di sisi lain, sepanjang masyarakat membeli dalam jumlah yang wajar (sesuai besarnya tanki BBM sepeda motor atau kendaraan roda empat atau lebih) maka pemerintah tidak bisa melarangnya," katanya.

Dengan catatan, tambah dia, memang belum ada Permen ESDM yang khusus mengatur tentang pembelian BBM oleh masyarakat. Akan tetapi, pemerintah justru hanya punya kewenangan membatasi ketersediaan BBM dari Pertamina ke berbagai SPBU.

"Namun, pemerintah tidak memiliki dasar hukum untuk membatasi atau melarang masyarakat dalam membeli BBM bersubsidi untuk kendaraan bermotor nonpertambangan dan nonperkebunan," kata Sofyano.

Kecuali, kata dia, untuk kendaraan bermotor bagi angkutan pertambangan dan perkebunan yang memang sudah ada dasar hukumnya yaitu Permen ESDM No. 12 Tahun 2012. Di lain pihak, secara umum peran Pertamina terhadap pada pemenuhan energi masyarakat Indonesia dinilai memiliki pola distribusi yang paling rumit dan canggih di dunia.
Tags:

Berita Terkait