Bertindak Berlebihan, Kapolri Diminta Bebaskan Mahasiswa dan Aktivis
Utama

Bertindak Berlebihan, Kapolri Diminta Bebaskan Mahasiswa dan Aktivis

Kemudian mengusut tuntas berbagai pelanggaran HAM akibat kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan penembakan yang terjadi hingga menimbulkan korban jiwa.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP dan RUU KPK, Selasa (24/9), di depan Gedung DPR RI berakhir  bentrok dengan aparat.
Demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP dan RUU KPK, Selasa (24/9), di depan Gedung DPR RI berakhir bentrok dengan aparat.

Penanganan aparat kepolisian terhadap demonstrasi masyarakat sipil yang didominasi mahasiswa di sejumlah daerah mendapat perhatian khusus dari Komnas HAM. Komnas HAM menyimpulkan aparat menggunakan kewenangannya secara berlebihan dalam menangani aksi demonstrasi masyarakat sipil yang didominasi mahasiswa dan pelajar yang menentang sejumlah RUU bermasalah dan menimbulkan korban.    

 

Wakil Ketua Komnas HAM bidang internal Hairansyah mengatakan lembaganya telah melakukan pemantauan termasuk menyambangi Polda Metro Jaya untuk berkoordinasi terkait mahasiswa dan pelajar yang ditangkap. Hairansyah mencatat ada 27 mahasiswa yang dipulangkan dan 9 masih dilakukan pemeriksaan di Polda Metro Jaya.

 

Selain itu, tercatat ada 14 mahasiswa yang belum diketahui keberadaannya karena tidak ada di Polda Metro Jaya. Hairansyah menyayangkan penangkapan oleh aparat kepolisian terhadap mahasiswa tidak menggunakan prosedur dalam KUHAP. “Ada mahasiswa yang ditangkap ketika makan dan berada di luar massa demonstrasi, penangkapan tidak disertai surat penangkapan. Mereka ini bukan teroris yang urgent untuk dilakukan penangkapan,” kata Hairansyah dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Jumat (27/9/2019).

 

Status mahasiswa yang ditahan Polda Metro Jaya, menurut Hairansyah tidak jelas, aparat menyebutnya dengan istilah “diamankan.” Seharusnya pemeriksaan sesuai KUHAP. Jika dalam waktu 24 jam tidak ditemukan perbuatan pidananya, aparat harus membebaskan mahasiswa yang ditahan. Ironisnya, mahasiswa yang “diamankan” itu tidak bisa ditemui kerabat, keluarga, dan pendamping hukum.

 

Komnas HAM juga kesulitan mendapat data yang pasti berapa jumlah mahasiswa dan pelajar yang “diamankan” kepolisian. Untuk memudahkan pihak keluarga, kerabat, dan pendamping hukum mengunjunginya, Hairansyah telah meminta kepolisian membuka posko pelayanan. Posko itu untuk memberi informasi kepada masyarakat yang ingin mengetahui kondisi anggota keluarga atau kerabatnya yang “diamankan” di kantor kepolisian. Baca Juga: Kekerasan Berulang, Presiden Diminta Evaluasi Polri  

 

Komisioner Komnas HAM bidang pemantauan dan penyelidikan Amiruddin Al Rahab menilai situasi yang berkembang sejak Senin (23/9) sampai saat ini tidak kondusif bagi HAM. Situasi ini harus dipulihkan melalui kepastian dan penegakan hukum terhadap siapapun yang melakukan kekerasan. Komnas HAM sudah melakukan pendataan terhadap mahasiswa yang ditangkap Polda Metro Jaya, tapi penanganan dan akses pendampingan hukum tidak dilakukan secara baik.

 

Amir telah menyambangi sejumlah RS di Jakarta antara lain RS Pelni ada 13 mahasiswa mendapat perawatan serius, salah satunya mahasiswa universitas Al Azhar Indonesia Faisal Amir. Kemudian di RS Pusat Pertamina ada 78 mahasiswa mendapat perawatan, dan semuanya telah pulang, kecuali 3 orang mahasiswa yang masih mendapat perawatan. “Komnas HAM akan terus bekerja sesuai kewenangannya. Peristiwa seperti ini harus dipertanggungjawabkan,” pintanya.

 

Komisioner Komnas HAM bidang Pendidikan dan Penyuluhan Beka Ulung Hapsara, menyebut demonstrasi damai yang dilakukan mahasiswa dan pelajar di depan gedung DPR/MPR wajib dilindungi karena itu merupakan hak konstitusional warga negara. Komnas HAM ikut bela sungkawa terhadap mahasiswa yang menjadi korban sampai meninggal dunia. Kepolisian harus menginvestigasi kasus tersebut dan memprosesnya sampai pengadilan.

 

Tak hanya mahasiswa, Beka mencatat jurnalis yang meliput kegiatan demonstrasi mahasiswa juga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian. Pasal 8 UU Pers menegaskan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Aparat kepolisian jangan mudah mengkriminalisasi pembela HAM yang berbeda pendapat dengan kepolisian. “Apa yang dilakukan Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu itu sebuah kritik, tidak pantas diproses hukum,” tegasnya.

 

Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian Mohammad Choirul Anam mengaku Komnas HAM telah menjalin komunikasi dengan keluarga dari mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari yang tewas ditembus timah panas. Pihak keluarga pada intinya menginginkan kasus ini diungkap dan pelakunya dihukum.

 

Menurut Anam, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar yang menuntut pembatalan sejumlah RUU dan UU bermasalah merupakan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa dan negara. Situasi yang berkembang akan semakin baik jika Presiden Jokowi menempuh kebijakan yang responsif dalam menanggapi tuntutan itu.

 

“Kepolisian tidak perlu melakukan tindakan yang berlebihan. Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat harus dihargai dan dilindungi karena ini bagian dari demokrasi konstitusional,” tegasnya.

 

Anam menegaskan aparat telah menggunakan kewenangannya secara berlebihan, sehingga pelakunya harus diproses hukum secara transparan. “Semua pihak harus mengawal penyelesaian kasus ini agar bisa diproses sampai pengadilan,” tutupnya.

 

Kecam tindakan represif

Sementara Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengecam tindakan represif yang dilakukan aparat penegak hukum dalam merespon gelombang aksi massa di berbagai wilayah. Bukan hanya karena tindakan reaktif yang cenderung menggunakan kekuatan yang berlebihan (excessive use of power), tetapi juga tidak sesuai dengan eskalasi yang terjadi.

 

“Berbagai tindakan kekerasan seperti penganiayaan, pengeroyokan, penangkapan sewenang-wenang, bahkan diduga penembakan terjadi, korban pun berjatuhan baik dari mahasiswa, masyarakat, jurnalis. Tercatat, puluhan bahkan ratusan mahasiswa ditangkap, termasuk 2 mahasiswa anggota IMM Kendari meninggal dunia diduga kuat akibat tembakan peluru timah,” ujar Sekretaris Nasional PBHI dalam keterangannya, Jum’at (27/9/2019).  

 

Tak hanya itu, Kamis 26 September 2019 sekitar Pukul 23.00 WIB, Dandhy Dwi Laksono, Jurnalis, Pendiri Watchdoc ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya sebagai Tersangka dengan tuduhan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE dan/Atau Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP karena alasan status/posting di twitter mengenai kondisi HAM di Papua.  Setelahnya, Ananda Badudu, juga ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya atas tuduhan dukungan penggalangan dana kepada mahasiswa yang berdemo di Jakarta.

 

Tindakan represif, penggunaan kekuatan yang berlebihan, penangkapan, dugaan penembakan, serta penetapan tersangka dan penangkapan terhadap para pegiat HAM ini adalah bentuk pelanggaran HAM dan teror terhadap pegiat serta pembela HAM. Selain itu, juga merusak tatanan Demokrasi dan Hukum yang dijamin oleh Konstitusi, UUD RI Tahun 1945.

 

Karena itu, PBHI se-Indonesia menuntut Presiden menghentikan seluruh pembahasan RUU yang merugikan publik, seperti menerbitkan Perppu yang membatalkan Revisi UU KPK dan Calon Komisioner KPK 2019. Presiden diminta memerintahkan Kapolri dan jajaran Kapolda, agar tidak bertindak represif dan menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam merespon aksi massa.

 

“Kepada Presiden RI dan Kapolri untuk menghentikan proses hukum terhadap seluruh mahasiswa yang berdemo di berbagai wilayah termasuk Dandhy Dwi Laksono, Ananda Badudu, serta mencabut Status Tersangka terhadap Dandhy Dwi Laksono dan mengusut tuntas berbagai pelanggaran HAM akibat kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, dan penembakan yang terjadi hingga menimbulkan korban jiwa,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait