Berstatus Whistleblower, Agus Tjondro Dituntut Ringan
Utama

Berstatus Whistleblower, Agus Tjondro Dituntut Ringan

Pengacara Agus Tjondro berharap hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya bukan bersifat pidana penjara, tapi lebih bersifat hukuman sosial.

Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Agus Tjondro (paling kiri) diuntungkan sebagai whistleblower.<br>Foto: Sgp
Agus Tjondro (paling kiri) diuntungkan sebagai whistleblower.<br>Foto: Sgp

Berstatus sebagai saksi pelapor alias whistleblower dalam kasus pidana ternyata menguntungkan. Setidaknya jika si saksi juga berstatus sebagai tersangka atau terdakwa dalam kasus pidana itu, maka ia akan menerima perlakuan khusus.

 

Demikian dialami Agus Tjondro. Terdakwa kasus penerima cek pelawat (traveller cheque) dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dari Fraksi PDIP ini diuntungkan karena statusnya sebagai whistleblower.

 

Di Pengadilan Tipikor Jakarta , Rabu (1/6), ia beroleh tuntutan hukuman yang lebih rendah ketimbang koleganya yang lain sesama terdakwa kasus cek pelawat. "Menuntut Agus Tjondro selama satu tahun enam bulan penjara dan denda Rp50 juta subsidair tiga bulan kurungan," urai Jaksa Riyono

 

Sementara tiga rekan Agus sesama anggota Fraksi PDIP pada persidangan yang sama dituntut hukuman yang lebih tinggi. Terdakwa Max Moein dan Rusman Lumbantoruan masing-masing dituntut 2,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsidair tiga bulan kurungan. Lalu, terdakwa Willem Tutuarima dituntut dua tahun penjara dan denda Rp50 juta subsidair tiga bulan kurungan.

 

Jaksa menuturkan, tuntutan terhadap terdakwa Agus lebih ringan karena terdakwa adalah pelapor sehingga perkara korupsi penerimaan Traveller Cheque BII oleh anggota komisi IX DPR RI peridoe 1999-2004 dapat terungkap.

 

"Khusus Max Moein dan Rusman, dipidana tambahan berupa perampasan uang dan barang-barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi senilai masing-masing Rp500 juta yang ada pada para terdakwa dan keluarganya," kata Riyono.

 

Untuk terdakwa Agus dan Willem tak diberikan pidana tambahan karena keduanya telah mengembalikan uang yang diduga hasil kejahatan. "Terdakwa Agus telah menyerahkan uang Rp100 juta ke penyidik KPK dan satu buah apartemen berikut dokumen kepemilikannya. Sedangkan terdakwa Willem telah menyerahkan seluruh uang yang diperoleh dari hasil kejahatan ke negara melalui KPK," urai Riyono.

 

Jaksa menganggap keempat terdakwa itu terbukti melanggar Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana karena masing-masing terbukti memperoleh Traveller Cheque sebanyak 10 lembar senilai Rp500 juta terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 silam. Ancaman hukuman penjara bagi pelanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini berkisar antara satu hingga lima tahun.

 

Jabatan keempat terdakwa saat menerima Traveller Cheque adalah anggota Komisi IX DPR dari fraksi PDI Perjuangan. "Maka itu, unsur patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya telah terpenuhi," kata jaksa.

 

Seusai sidang, terdakwa Agus lebih bersikap legowo atas tuntutan yang dibacakan jaksa. Menurut dia, dalam menuntut jaksa sudah mempertimbangkan fakta persidangan dan bukti-bukti yang ada. "Yang punya wewenang menuntut jaksa, pasti sudah ada pertimbangannya. Saya ditahan merupakan bagian dari resiko," katanya.

 

Kuasa hukum Agus, Firman Wijaya menilai kliennya tak patut dihukum pidana penjara karena posisinya yang whistleblower dalam perkara ini. Jika dihukum, ia khawatir kliennya adalah orang terakhir yang mau menjadi whistleblower dalam skandal hukum. Jika masuk ranah pidana, seorang whistleblower hanya diwajibkan mengembalikan uang hasil kejahatannya saja.

 

"Di Inggris dan Kolombia, seorang whistleblower mendapatkan reward. Meski dihukum lebih bersifat penghormatan seperti kerjakan paper, tugas sosial. Di sini (Indonesia) sanksinya sama pidana, yang sifatnya nestapa. Maka harus ada alternatif pemidanaan, menyangkut keberanian seorang untuk mem-blow up skandal hukum. Masuk ke sistem penghukuman, jadi sifatnya bukan pidana penjara," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait