Bersih-bersih Advokat Hitam di Pusaran Korupsi, Tak Kunjung Bersih?
Berita

Bersih-bersih Advokat Hitam di Pusaran Korupsi, Tak Kunjung Bersih?

Pelaksanaan PKPA perlu direformasi, terutama soal penanaman dan pengajaran nilai anti-korupsi bagi para calon advokat.

M-28
Bacaan 2 Menit
Advokat Arif Fitrawan usai ditetapkan sebagai tersangka karena diduga sebagai pemberi suap terhadap hakim terkait penanganan perkara perdata di PN Jakarta Selatan. Foto: RES
Advokat Arif Fitrawan usai ditetapkan sebagai tersangka karena diduga sebagai pemberi suap terhadap hakim terkait penanganan perkara perdata di PN Jakarta Selatan. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Selasa malam (27/11) hingga Rabu dini hari (28/11). Melansir Antara, dalam OTT ini KPK mengamankan enam orang yang terdiri dari panitera, hakim, dan advokat bernama Arif Fitrawan.

 

Dua orang hakim dan seorang panitera yang menangani perkara 62/Pdt.G/2018/PN Jaksel diduga menerima suap dari Arif Fitrawan yang membela kliennya selaku tergugat dalam perkara ini. Ini bukan kali pertama pengacara atau advokat ikut terjaring dalam OTT KPK. Sebelumnya, sejumlah nama advokat pernah menghiasi pemberitaan media karena ditangkap dalam OTT KPK.

 

Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Luhut M.P. Pangaribuan menyampaikan beberapa tanggapannya saat dihubungi hukumonline, Senin (4/12). Luhut mengaku prihatin dan sebagai Ketua DPN Peradi meminta maaf atas terlibatnya advokat dalam OTT KPK.

 

Peristiwa advokat yang ikut terjerat dalam OTT KPK yang terus berulang menandakan perlunya reformasi dalam PKPA. Selama ini berdasarkan Peraturan Peradi Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat dalam kurikulum PKPA yang terbagi atas materi dasar dan materi wajib tidak ada materi khusus mengenai anti-korupsi. Materi yang diajarkan kepada para calon advokat hanya meliputi materi tentang profesi advokat, materi litigasi dan non-litigasi, serta keterampilan hukum.

 

Luhut menilai hal ini perlu dijadikan bahan evaluasi bagaimana Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) perlu untuk menguatkan materi anti-korupsi dalam pengajarannya. “Advokat yang bersangkutan (Arif Fitrawan) belum lama mengikuti PKPA dan diangkat menjadi advokat. Namun dia justru terlibat dalam praktik korupsi. Hal ini menjadi catatan bahwa dalam pelaksanaan PKPA perlu ditambahkan bobot materi terkait anti-korupsi,” ujar Luhut.

 

Menurutnya, perbuatan advokat yang terlibat praktik korupsi ini merupakan pelanggaran kode etik profesi advokat. “Pelanggaran ini bisa dibawa ke Dewan Kehormatan Peradi untuk diambil sanksi kode etik,” ungkapnya.

 

Bila perbuatan ini termasuk ke dalam pelanggaran formil, maka sidang kode etik dilakukan setelah adanya putusan berkekuatan hukum tetap. Namun, bila nyata ternyata pelanggaran ini tergolong pelanggaran materiil, maka sidang kode etik bagi advokat seharusnya bisa dilakukan tanpa perlu menunggu putusan inkracht.

 

(Baca Juga: Ini Sosok Advokat Muda Tersangka Pemberi Suap Hakim PN Selatan)

 

Sementara terkait sanksi etik yang mungkin diberikan kepada advokat yang terjerat OTT KPK, Luhut mengungkapkan bahwa sanksi ini bermacam-macam mulai dari peringatan hingga pemberhentian. Namun sanksi yang dijatuhkan tergantung pada hasil pemeriksaan di Dewan Kehormatan Peradi. Tidak hanya itu, Dewan Kehormatan Peradi juga baru bisa melakukan pemeriksaan kode etik kepada advokat apabila ada pengaduan.

 

“Sebaiknya organisasi advokat itu sendiri yang mengadukan di mana advokat yang bersangkutan terdaftar. Ini sebagai komitmen organisasi advokat dalam menjaga nilai anti-korupsi,” kata Luhut.

 

Berikut catatan hukumonline tentang advokat yang ikut terjaring OTT KPK :

  1. Harini Wijoso

Harini Wijoso adalah advokat dalam perkara kasasi atas nama terdakwa pemohon kasasi Probosutedjo dengan nomor perkara 682 K/PID/2004. Agar permohonan kasasi kliennya bisa dikabulkan oleh majelis hakim di MA, maka Harini mencari beberapa orang di lingkungan MA untuk bisa menghubungkannya dengan hakim ketua perkara tersebut yaitu Bagir Manan. Kemudian Pono Waluyo, Sudi Achmad, Suhartoyo, Sriyadi dan Malem Pagi Sinuhaji yang menyatakan kesanggupannya untuk mampu menghubungkan dirinya dengan Bagir Manan kemudian meminta uang sebesar Rp100 juta.

 

Harini kemudian menyerahkan uang sebagaimana diminta kepada Pono Waluyo. Lalu pada September 2005, Pono Waluyo dan Harini menemui Probosutedjo di kantornya untuk meminta sejumlah uang. Kemudian Probosutedjo menyerahkan uang sejumlah USD 400 ribu dan Rp800 juta kepada Pono Waluyo. Lalu pada malam harinya dilakukan pembagian sejumlah uang, dan diserahkan uang sebesar Rp50 juta kepada Sriyadi dan Malem Pagi Sunahaji agar diberikan esok hari kepada Bagir Manan.

 

Namun, malamnya mereka berdua dan Sudi Achmad serta Suhartoyo ditangkap oleh KPK. Sementara itu saat Pono Waluyo bertemu dengan Harini di kantor MA dan melakukan pembagian uang USD 50 ribu, keduanya ditangkap oleh KPK.

 

Dalam tuntutannya, penuntut umum meminta agar majelis hakim menyatakan Harini Wijoso terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 UU Tipikor dengan hukuman pidana penjara selama 8 tahun. Selai itu, penuntut umum juga menuntut terdakwa dijatuhi pidana denda sebesar Rp250 juta subsidair pidana kurungan selama 6 bulan.

 

Dalam putusan kasasi No. 2067K/Pid/2006, majelis hakim MA menyatakan bahwa Harini justru hanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 15 UU Tipikor. Kemudian Harini dijatuhi hukuman 4 tahun pidana penjara dan pidana denda sebesar Rp150 juta subsidair pidana kurungan selama 6 bulan.

 

  1. Adner Sirait

Pada Maret 2010, Adner Sirait seorang advokat dan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) DKI Jakarta ditangkap dalam OTT KPK. Kejadian ini bermula dari permintaan klien advokat selaku penggugat agar putusan PT TUN DKI Jakarta menolak mengabulkan memori banding dari pihak tergugat. Kemudian Adner mengurus pertemuan dengan salah satu hakim PT TUN DKI Jakarta. Dalam pertemuan itu, hakim tersebut meminta sejumlah uang Rp300 juta untuk memuluskan hal ini.

 

Setelah disampaikan kepada klien, akhirnya klien menyerahkan cek yang berisi uang Rp300 juta. Selanjutnya hakim PT TUN dan Adner bertemu di daerah Cempaka Putih untuk melakukan penyerahan uang tersebut. Beberapa saat setelah penyerahan uang, petugas KPK menangkap kedua orang tersebut.

 

Dalam tuntutannya, penuntut umum meminta kepada majelis hakim agar terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Selain itu dalam tuntutan tersebut juga penuntut umum meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana penjara kepada Adner Sirait selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp150 juta subsidair 6 bulan pidana kurungan.

 

Namun, majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 17/Pid.B/TPK/2010/PN.Jkt.Pst menyatakan Adner terbukti bersalah melakukan suap, sebagaimana diaur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Adner kemudian dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp150 juta subsidair 3 bulan pidana kurungan.

 

  1. Mario Cornelio Bernardo

Salah satu advokat dari kantor hukum Hotma Sitompoel and Associates pernah terjaring dalam OTT KPK, yaitu Mario C. Bernardo. Kasus ini terjadi pada 2013, saat Mario selaku pengacara dari klien yang merupakan pelapor memberikan uang senilai Rp150 juta kepada pegawai negeri di Mahkamah Agung (MA) yaitu Djodi Supratman. Uang itu sendiri nantinya akan diberikan kepada Suprapto selaku Staf Kepaniteraan di MA agar bisa mengatur putusan kasasi sesuai dengan memori kasasi yang diajukan oleh penuntut umum yaitu agar terdakwa dihukum.

 

Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut afae Mario dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor dan meminta agar majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp200 juta subsidair pidana kurungan selama 6 bulan.

 

Majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No. 56/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jkt.Pst menyatakan Mario terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp200 juta subsidair pidana kurungan 6 bulan.

 

  1. M. Yagari Bhastara Guntur alias Gary

Salah satu advokat di kantor hukum Otto Cornelis Kaligis and Associates juga mengalami hal serupa. Gary terlibat dalam kasus penyuapan tiga orang hakim dan panitera di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan yang menangani perkara kliennya.

 

Kasus ini berawal dari ketakutan kliennya yaitu Gatot Pujo Nugroho, atas adanya surat pemanggilan permintaan keterangan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi di jajaran pejabat pemerintahan Sumatera Utara. Akhirnya klien terdakwa mengajukan permohonan pengujian kewenangan Kejati Sumatera Utara atas tindakan pemanggilan tersebut.

 

Kemudian pada April 2015 Gary, O.C. Kaligis, dan Yurinda Tri Achyuni menemui Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan menyerahkan uang sejumlah SGD 5.000 dan USD 1000 diberikan kepada panitera Syamsir Yusfan. Lalu pada Mei 2015, Gary bersama O.C. Kaligis kembali menemui Tripeni dan menyerahkan uang sejulah USD 10.000 agar mau menangani perkara TUN yang diajukan kliennya.

 

Lalu pada Juli 2015, Gary menyerahkan uang masing-masing USD 5.000 kepada Darmawan Ginting dan Amir Fauzi di parkiran PTUN Medan. Saat pembacaan putusan, majelis hakim yang telah disuap oleh Gary akhirnya mengabulkan permohonan kliennya dan menyatakan bahwa surat keputusan terkait pemanggilan kepada klien yang diterbitkan oleh Kejati Sumatera Utara ada unsur penyalahgunaan wewenang dan menyatakan bahwa surat keputusan tersebut tidak sah.

 

Usai sidang Gary menemui panitera Syamsir Yusfan dan memberikan USD 1000. Kemudian beberapa hari setelahnya Gary menyerahkan uang sejumlah USD 5000 kepada hakim Tripeni. Setalah itu datanglah petugas KPK menangkap Gary beserta hakim Tripeni dan panitera Syamsir Yusfan.

 

Majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 151/Pid.Sus/TPK /2015/PN.Jkt.Pst kemudian menyatakan bahwa atas tindakannya, Gary dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp150 juta subsidair pidana kurungan selama satu bulan.

 

  1. Awang Lazuardi Embat

Pada Februari 2016, KPK menangkap Awang Lazuardi Embat, seorang advokat di salah satu hotel di kawasan Serpong saat melakukan transaksi Rp400 juta dengan Andri, pegawai MA yang menyanggupi penundaan pengiriman salinan putusan kasasi atas nama klien Awang yaitu Ichsan. Sebelumnya telah terjadi kesepakatan antara Awang, Ichsan, dan Andri di Surabaya, bahwa Andri akan membantu melakukan penundaan ini selama 3 bulan.

 

Penuntut umum dalam tuntutannya meminta majelis hakim agar menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp100 juta subsidair 3 bulan pidana kurungan.

 

Majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 36/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst menyatakan Awang terbukti bersalah melakukan suap, sebagaimana diaur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor. Awang kemudian dijatuhi pidana penjara selama 3,5 tahun dan denda Rp50 juta subsidair 1 bulan pidana kurungan.

 

  1. Raoul Adhitya Wiranata Kusumah

Seorang advokat dari Wiranata Kusumah Advocate & Legal Consultant yaitu Raoul Adhitya Wiranata Kusumah terjaring dalam OTT KPK pada Juni 2016. Raoul selaku kuasa hukum dari tergugat dalam salah satu perkara perdata di PN Jakarta Pusat, meminta kepada panitera agar majelis hakim yang menangani kasus tersebut untuk memenangkan tergugat dan menyatakan gugatan penggugat ditolak.

 

Untuk melancarkan niatnya, Raoul melalui stafnya yaitu Ahmad Yani kemudian menyerahkan sejumlah uang sebesar SGD 28.000. Masing-masing untuk panitera sebesar SGD 3.000 dan dua orang hakim yang menangani perkara SGD 25.000. Setelah dilakukan penyerahan uang tersebut petugas KPK menangkap Ahmad Yani dan panitera tersebut.

 

Penuntut Umum menuntut agar Raoul dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Tipikor dan meminta agar Raoul dijatuhi hukuman pidana penjara selama 7 tahun 6 bulan dan denda Rp200 juta. Majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 94/Pid.SUS TPK/2016/PN.JKT.PST  menyatakan bahwa Raoul terbukti bersalah melakukan penyuapan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor.

 

Kemudian Raoul dijatuhi hukuman pidana penjara selama 5 tahun dan denda sebesar Rp150 juta subsidair 3 bulan pidana kurangan. Lalu dalam kasasi, majelis hakim memperbaiki besaran denda menjadi Rp250 juta subsidair 6 bulan pidana kurungan.

 

  1. Akhmad Zaini

Sekira November 2017 lalu, seorang advokat yaitu Akhmad Zaini juga dijaring dalam OTT KPK di PN Jakarta Selatang. Akhmad Zaini diduga menyuap panitera di PN Jaksel agar mau mempengaruhi majelis hakim dalam membuat putusan atas perkara yang menimpa kliennya selaku tergugat yaitu PT. Aquaramine. Ia menyerahkan uang sebesar Rp425 juta dan memberikan sejumlah fasilitas kepada panitera Tarmizi.

 

Majelis hakim di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 116/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst kemudian menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor dan menjatuhkan pidana penjara selama 2,5 tahun dan pidana denda sebesar Rp50 juta subsidair 3 bulan pidana kurungan. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait