Bersertifikasi atau ‘Tersisih’ oleh Produk Halal Impor
Urgensi Sertifikasi Halal

Bersertifikasi atau ‘Tersisih’ oleh Produk Halal Impor

Permintaan untuk komoditas produk halal terus meningkat. Sertifikasi Jaminan Produk Halal dinilai bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen produk halal.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah pasti kehalalan dalam setiap produk sangat diperlukan. Setelah lima tahun Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) diundangkan, Pemerintah akhirnya menerbitkan PP No.31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal.

 

Kehadiran PP JPH jelas sangat dinantikan mengingat pada 17 Oktober 2019, seluruh produk baik berupa makanan, obat-obatan maupun barang-barang konsumsi lainnya wajib bersertifikat halal. Hal ini tak lepas dari masterplan pengembangan ekonomi syariah di Indonesia yang disusun Pemerintah. Industri halal tersebut mencakup makanan dan minuman halal, pariwisata halal, fesyen muslim, media dan rekreasi halal, farmasi dan kosmetik halal, serta energi terbarukan.

 

Terbitnya PP JPH sendiri dinilai bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen produk halal. Apalagi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa permintaan untuk komoditas produk halal terus meningkat. Untuk catatan, saat ini jumlah penduduk Indonesia sebesar 12,7 persen muslim dunia. Jumlah penduduk muslim dunia sebesar 23,4 persen penduduk dunia. Oleh sebab itu kehalalan suatu produk akan menjadi kebutuhan, terutama bagi konsumen muslim.

 

Hukumonline.com

Sumber: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

 

Bisa dibilang saat ini pengolahan industri pangan tak lepas dari yang namanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana bahan pangan diolah melalui berbagai teknik dan metode pengolahan baru. Masyarakat pun disuguhi dengan kemasan dan beragam rasa produk untuk dikonsumsi.  

 

Namun perlu diketahui bahwa sebagian besar produk industri pangan yang tersebar di masyarakat belum terjamin kehalalannya atau tidak menerapkan sistem sertifikasi halal. Jelas hal ini menimbulkan kerisauan bagi Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya muslim. Soalnya, bukan tidak mungkin dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang agama Islam.

 

Hal ini diakui oleh Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), Sukoso. Dia mengatakan masih adanya produk yang berada di ‘grey area’ (wilayah abu-abu) mengakibatkan masyarakat muslim ragu untuk mengkonsumsi sebuah produk. Tak sedikit produsen mengklaim produk yang dijual halal, tetapi ternyata kehalalan produk tersebut belum terjamin sepenuhnya.   

 

Kehadiran BPJPH yang merupakan amanat dari UU JPH ingin konsumen Indonesia yang muslim terbebas dari keraguan saat akan mengkonsumsi produk. Oleh sebab itu, perintah UU JPH adalah mewajibkan sertifikasi halal pada produk, baik itu produk yang berasal dari industri maupun dari UMKM.

 

“Hal ini karena yang dikonsumsi masyarakat kita bervariasi, mulai dari produk perusahaan besar hingga produk dari UMKM,” kata Sukoso. 

 

Pelaku usaha tentu perlu menyadari pentingnya sertifikasi halal dari produk yang mereka jual. Apalagi ada kepentingan ekonomi besar bagi Indonesia di balik penerapan sertifikasi halal. Menurut Sukoso, Indonesia sebagai Negara muslim terbesar bisa saja hanya menjadi pasar yang besar bagi produk asal Negara lain yang kehalalannya tidak perlu diragukan oleh konsumen dalam negeri.

 

(Baca: Detik-detik Implementasi Kewajiban Jaminan Produk Halal)

 

Sukoso mencontohkan Thailand yang penduduk muslimnya sedikit, tetapi aktif menggarap produk berstandar halal untuk ekspor. Begitu juga dengan Australia, Selandia Baru, Brazil dan Amerika Serikat. Kesemua Negara itu pengekspor daging halal dalam jumlah besar.

 

“Untuk kondisi Indonesia, bagaimana kita bisa menggarap pasar kita sendiri bila pelaku usaha kita tidak sungguh-sungguh membuat produknya agar bisa memenuhi standar halal, untuk bisa mengurus sertifikasi halal,” katanya. 

 

Hukumonline.com

 

Setidaknya ada empat regulasi yang sedang disiapkan dan akan segera disahkan menyusul dikeluarkannya PP JPH. Pertama, Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal. Kedua, RPMA tentang Produk yang Belum Bersertifikat Halal pada 17 Oktober 2019 dan Penahapan Jenis Produk yang Wajib Bersertifikat Halal.

 

Ketiga, Rancangan Keputusan Menteri Agama (RKMA) tentang Bahan yang Berasal dari Tumbuhan, Hewan, Mikroba, dan Bahan yang Dihasilkan melalui Proses Kimiawi, Proses Biologi, atau Proses Rekayasa Genetik yang Diharamkan Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

 

Sekadar catatan, Yang dimaksud produk halal dalam UU tersebut adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat.

 

Berdasarkan UU JPH, bahan yang digunakan dalam proses produk halal terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong, yang berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

 

Bahan dari hewan yang diharamkan meliputi bangkai, darah, babi, atau hewan yang disembelih tidak sesuai syariat. Itu belum termasuk bahan dari tumbuhan yang memabukkan atau membahayakan kesehatan orang yang mengonsumsinya. Keempat, RKMA tentang Jenis Produk Wajib Bersertifikat Halal.

 

Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan BPJPH, Siti Aminah, mengatakan salah satu ketentuan yang diatur dalam aturan menteri nantinya mengenai sanksi bagi pelaku usaha yang tidak menjalankan jaminan produk halalnya.

 

“Kami sudah menyelesaikan RPMA (Rancangan Peraturan Menteri Agama). Kalau tidak ada perubahan Juli ini disahkan,” kata Siti.

 

Hukumonline.com

Sumber: Riaz and Chaudry, Handbook of Halal Food Production (2016)

 

Tentu saja terbitnya PP Jaminan Produk Halal tak serta merta dapat diterima berbagai kalangan. Pada 23 Mei lalu, Indonesia Halal Watch (IHW) mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA) karena dinilai tidak selaras dengan UU JPH. Terdapat sejumlah alasan mengapa IHW melakukan judicial review.

 

Meski demikian, Sukoso mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan berbagai cara untuk mensosialisasikan aturan sertifikasi halal. BPJPH melalui berbagai kesempatan, baik itu diskusi, seminar maupun wawancara dengan media, terus berupaya menumbuhkan kesadaran pelaku usaha dan masyarakat tentang pentingnya memproduksi dan mengkonsumsi produk halal.

 

“Selain hal tersebut adalah perintah Allah SWT, juga ada potensi ekonomi yang besar bagi kepentingan bangsa,” kata Sukoso.

 

Dia menambahkan ada proses pelaksanaan sertifikasi halal, namun bukan berarti menunda pelaksanaannya. Menurutnya, kebijakan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha dan kesiapan infrastruktur pelaksanaan jaminan produk halal jelang 17 Oktober 2019. Selain itu, produk yang beredar merupakan kebutuhan primer dan dikonsumsi secara masif oleh masyarakat.

 

Tags:

Berita Terkait