Bermula dari Pasal 7 Ayat (2) KUHAP
Penyidik Pegawai Negeri Sipil:

Bermula dari Pasal 7 Ayat (2) KUHAP

KUHAP dan sejumlah peraturan perundang-undangan menempatkan Penyidik Polri sebagai Korwas. Selaku Korwas, tugas penyidik banyak.

MYS
Bacaan 2 Menit
PPNS di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Foto: kkp.go.id
PPNS di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Foto: kkp.go.id
Siapakah yang disebut penyidik? KUHAP memberi jawaban tegas atas pertanyaan itu. Penyidik adalah pejabat Polri dan ‘pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang’. Penyidik yang disebut terakhir ini lebih dikenal sebagai PPNS, penyidik pegawai negeri sipil.

Wewenang PPNS diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Dijelaskan bahwa PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.

Ada dua hal penting yang disebut dalam Pasal itu. Pertama, wewenang PPNS di setiap bidang diatur dalam undang-undang sektoral. Kalau PPNS Imigasi ya diatur dalam UU Keimigrasian. Kedua, secara struktural PPNS itu berada di bawah ‘koordinasi dan pengawasan’ penyidik Polri. Dalam praktek, dikenallah istilah Korwas.  Di Direktoral Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, misalnya, dikenal Seksi Korwas PPNS. Tugasnya antara lain membina PPNS di wilayah Polda Metro Jaya.

Beberapa tahun setelah KUHAP disahkan muncul ‘kekhawatiran’ tentang pemberian wewenang PPNS oleh Undang-Undang sektoral. Dasar hukum yang berbeda-beda itu bisa menghasilkan wewenang yang berbeda pula. Didasari ‘kekhawatiran’ itulah Menteri Kehakiman (kala itu) Ismail Saleh menerbitkan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-PW.07.03 Tahun 1984 tentang Wewenang PPNS.

SK Menteri ini mengatakan wewenang PPNS diatur dalam Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya. Kalau tidak diatur, maka kewenangannya merujuk pada item wewenang yang diatur dalam SK Menteri. Tetapi Pasal 1 ayat (2) SK ini menegaskan PPNS tidak berwenang melakukan penangkapan dan penahanan.

Puluhan tahun setelah beleid Ismail Saleh itu, lahir puluhan Undang-Undang sektoral yang mengatur PPNS, lengkap dengan wewenangnya. Lahir pula sejumlah beleid teknis, termasuk fungsi Korwas seperti diatur dalam Peraturan Kapolri No. 20 Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Penyidikan Bagi PPNS.

Perkembangan regulasi yang terjadi bahkan melampaui larangan menangkap dan menahan bagi PPNS, seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (2) SK Menteri Kehakiman di atas. Coba tengok wewenang PPNS Ditjen Bea Cukai. Pasal 112 ayat (2) huruf d UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan memberi wewenang PPNS untuk ‘melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan’.

Sedangkan paket UU di bidang hak kekayaan intelektual mengharuskan PPNS meminta bantuan kepada instansi terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penetapan status daftar pencarian orang, atau pencegahan dan penangkalan.

Hubungan dengan Polri
Selain ketidaksamaan rincian wewenang, pengaturan hubungan dengan penyidik Polri selaku Korwas juga tak sama. UU No. 13 Tahun 2003 tak menyebut secara tegas PPNS Ketenagakerjaan berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polri. Cuma disebut bahwa PPNS melaksanakan wewenang sesuai peraturan perundang-undangan. Rumusan senada terdapat pada UU No. 39 Tahun 2004tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Sebaliknya, PPNS Ditjen Perhubungan Udara tegas-tegas disebut ‘berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri’. Rumusan itu diatur langsung dalam Pasal 399 UU No. 1 Tahun 2009tentang Penerbangan.  Bahkan dalam ketentuan wewenang PPNS Penerbangan ini disebutkan PPNS meminta bantuan polisi atau instansi lain terkait untuk melakukan penanganan tindak pidana bidang penerbangan.

PP No. 34 Tahun 2012 menjelaskan lebih lanjut korwas dilaksanakan. Polisi berkoordinasi dengan instansi yang memiliki PPNS melalui kegiatan operasional penyidikan. Misalnya polisi menerima Surat Pemerintahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari PPNS serta meneruskan kepada penuntut umum, dan menerima berkas perkara hasil penyidikan dari PPNS lalu meneruskannya kepada penuntut umum. Masih ada enam cara lain koordinasi operasional penyidikan.

Tetapi dua yang disebut di atas masih menimbulkan tanda tanya, apa status pengiriman SPDP oleh PPNS tembusan belaka atau semuanya harus melalui penyidi Polri. Bukankah SPDP seharusnya dikirimkan PPNS ke Penuntut Umum dengan tembusan penyidik Polri? Rumusan PP 34 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang bertugas meneruskan SPDP atau hasil penyidikan dari PPNS ke Penuntut Umum adalah  penyidik Polri. Apakah itu berarti PPNS tak bisa langsung mengirimkan SPDP, misalnya, ke penuntut umum dengan membuat tembusannya ke polisi, sehingga penuntut umum bisa berhubungan langsung dengan PPNS?

Inilah yang pernah menjadi kajian Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy and Research (CLEAR). Hubungan PPNS dengan Penyidik Polri dan Penuntut Umum masih perlu diharmonisasi antar sejumlah peraturan perundang-undangan.
Tags:

Berita Terkait