Bermula dari Rechtshogeschool
Rechtschool

Bermula dari Rechtshogeschool

Lokasi Kementerian Pertahanan di jalan Medan Merdeka Barat adalah bekas tempat Rechtshoogeschool.

MYS
Bacaan 2 Menit
Lokasi pertama Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) didirikan pada 28 Oktober 1924. Foto: commons.wikimedia.org
Lokasi pertama Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) didirikan pada 28 Oktober 1924. Foto: commons.wikimedia.org

Coba tanya mahasiswa atau dosen fakultas hukum, tanggal berapa Hari Pendidikan Tinggi Hukum diperingati. Tak ada jawaban pasti? Bisa jadi karena memang tidak ada peringatan khusus Hari Pendidikan Tinggi Hukum dalam kalender. Fakultas-fakultas hukum pun umumnya tidak menjadikan hari pendidikan tinggi hukum sebagai momentum khusus. 

Bisa juga karena harinya bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Ya, Hari Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia bisa merujuk pada momen pendirian Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) pada 28 Oktober 1924. Kala itu, Gubernur Jenderal D Fockt membuka sekolah tinggi hukum ini pertama kali di sekitar Museum van het Bataviascshe Vennotschap van Kunsten en Wetenschappen, yang kini dikenal sebagai gedung Kementerian Pertahanan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Tahun ini berarti pendidikan tinggi hukum sudah memasuki usia 89 tahun.

Tetapi, menurut Mardjono Reksodiputro dalam bukunya Menyelaraskan Pembaruan Hukum (KHN, 2009) jika acuannya setelah kemerdekaan, maka sejarah pendidikan tinggi hukum di Indonesia merujuk pada pendirian Yayasan dan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946. Begitu pula kalau didasarkan pada pendirian Universitas Indonesia yang cikal bakalnya adalah Universiteit van Indonesie. Kalau merujuk ke sini, maka usia pendidikan tinggi hukum adalah 67 tahun.

Lama pendidikan di Rechtshogeschool (RHS) lima tahun, yang dibagi ke dalam tahap ujian kandidat (candidaatsexamen) dan tahap ujian doktoral. Untuk memperkuat sistem pendidikan di RHS, dikeluarkanlah Statblad 1924 No 457 yang telah diperbaiki dan diubah terakhir dengan Statblad1936 No 438.

Pembukaan sekolah hukum, bermula di Serang sebelum ke Batavia, sejalan pula dengan kebutuhan kolonial atas tenaga-tenaga yang akan bekerja di peradilan (landraad). Segelintir orang yang lulus dari RHS melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda. Tetapi Daniel S. Lev mencatat dalam bukunya Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan (1990), sejak pembukaan RHS, semakin banyak orang yang terdidik di dalam negeri. Sebagian diantaranya kelak menjadi hakim.

Selama pendudukan Jepang, RHS ditutup. Tetapi pada masa pendudukan Jepang, sebuah daftar lulusan fakultas hukum dikeluarkan. Tercatat ada 274 lulusan fakultas hukum pada awal 1942. Dari jumlah itu, 146 orang belajar di Batavia, 107 orang di Leiden, 9 orang di Utrecht, dan sisanya 12 orang tak diketahui informasinya (Lev, 1990: 26).

Setelah kemerdekaan, terutama pada dekade 1950, semakin banyak fakultas hukum berdiri. Fakultas Hukum di Universitas Airlangga (1954), Universitas Sumatera Utara (1954), Universitas Pattimura (1956), Universitas Hasanuddin (1956), Universitas Padjajaran (1957), Universitas Diponegoro (1957) dan Universitas Sriwijaya (1957). Fakultas Hukum yang berdiri pada 1960-an antara lain Universitas Udayana. Pada 1990-an, ada lebih dari 200 perguruan tinggi yang membuka fakultas hukum, dengan lulusan sekitar 13.000 orang per tahun. Kini, jumlahnya tentu saja semakin banyak (Mardjono, 2009).

Ada sejumlah tokoh yang namanya terpatri dalam perkembangan pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Prof Mardjono menyebut secara khusus Prof Mochtar Kusumaatmadja. Menurut dia, Mochtar adalah pendorong utama pembaruan pendidikan tinggi hukum terutama saat menjadi Menteri Kehakiman (1974-1978). Perhatiannya terhadap pendidikan hukum terus ditunjukkan saat dia menjadi Menteri Luar Negeri. Namun banyak tokoh lain di masing-masing daerah yang berperan mengembangkan fakultas hukum.

Hal lain yang patut dicatat ialah perkembangan pendidikan tinggi hukum di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Politik Etis Belanda, kerjasama dengan asing, dan pembaruan di dalam negeri. Ketika pendidikan hukum berkembang di awal, sudah banyak mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri seperti Leiden dan Utrecht. Kerjasama hukum Indonesia dengan Belanda terus terbina hingga kini.

Pada masa Konsorsium Ilmu Hukum dan Komisi Disiplin Ilmu Hukum – era Prof Satjipto Rahardjo, Prof J.E. Sahetapy, Prof Mochtar Kusumaatmadja, dan Prof Mardjono Reksodiputro—kerjasama pengembangan pendidikan hukum di Indonesia terus digalakkan, bahkan dengan Amerika Serikat. Banyak mahasiswa Indonesia yang memperoleh beasiswa melalui program ELIPS (Economic Law and Improved Procurement System).

Salah satu lembaga pemikir pengembangan pendidikan hukum di Amerika Serikat pada 1970-an adalah International Legal Center (ILC), dimana Mochtar tercatat sebagai pengurus. Salah satu ‘warisan’ ILC di Indonesia adalah pendidikan klinis hukum (clinical legal education).

Dalam laporan berjudul Legal Education in a Changing Word, ILC menyimpulkan masih banyak yang perlu dilakukan untuk membantu mengembangkan ilmu hukum di negara-negara sedang berkembang, termasuk  Indonesia. ‘In our report, we have also identified some topics which may be particularly important to planning development of legal education’.

Dan kini, fakultas hukum telah berkembang dalam banyak hal. Lulusannya pun semakin berperan dalam kehidupan bernegara, seiring dengan banyaknya institusi-institusi hukum. Proses regenerasi tentu saja berlangsung alami. Mahasiswa fakultas hukum sekarang akan memimpin masyarakat di masa mendatang.

Tags: