Selain itu PHK tidak sukarela juga bisa terjadi lantaran buruh melanggar perjanjian kerja, PKB atau PP. Perusahaan yang juga sedang melakukan peleburan, penggabungan dan atau perubahan status, memiliki opsi untuk mempertahankan atau memutuskan hubungan kerja. Nah, untuk konteks PHK tidak sukarela ini, hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh baru berakhir setelah ditetapkan oleh Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Tidak demikian dengan PHK yang sukarela.
Alasan PHK | Kompensasi | Pengaturan di UU No 13/2003 |
Mengundurkan diri tanpa tekanan | Berhak atas UPH | Pasal 162 Ayat (1) |
Tidak lulus masa percobaan | Tidak berhak kompensasi | Pasal 154 |
Selesainya PKWT | Tidak Berhak atas Kompensasi | Pasal 154 huruf b |
Pekerja melakukan kesalahan berat | Berhak atas UPH | eks Pasal 158 Ayat (3) |
Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan | 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 161 Ayat (3) |
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha | 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 169 Ayat (1) |
Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) | 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 153 |
PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure | 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 164 (1) |
PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. | 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 164 (3) |
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja | 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 163 Ayat (1) |
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja | 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 163 Ayat (2) |
Perusahaan pailit | 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 165 |
Pekerja meninggal dunia | 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH | Pasal 166 |
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut | UPH dan Uang pisah | Pasal 168 Ayat (1) |
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan) | 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH | Pasal 172 |
Pekerja memasuki usia pensiun | opsional | Sesuai Pasal 167 |
Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan) | 1 kali UPMK dan UPH | Pasal 160 Ayat (7) |
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah | 1 kali UPMK dan UPH | Pasal 160 Ayat (7) |
Keterangan:
UP = Uang Pesangon, UPMK = Upah Penghargaan Masa Kerja,
UPH = Uang Penggantian
Hak ( sumber : www.hukumpedia.com, diolah)
Berkembang dalam Praktik
Seperti disebutkan di atas, PHK memang menjadi momok tersendiri. Hampir semua buruh pasti tidak mau di-PHK. Karenanya, jika pengusaha memutuskan hubungan kerja, buruh akan mati-matian mempertahankan pekerjaan dan haknya.
Dalam praktik, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang diberikan kewenangan oleh UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) memang lebih banyak menangani perkara perselisihan PHK ketimbang perselisihan lainnya, yaitu hak, kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Hal ini menandakan maraknya praktik PHK yang tidak sukarela.
Salah satu alasan yang cukup sering digunakan pengusaha untuk menjatuhkan PHK adalah kesalahan buruh karena dianggap menyalahgunakan fasilitas kantor. Anehnya, ada beberapa perkara dimana pengusaha masih menggunakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan sebagai dasar memutuskan hubungan kerja. Sebut saja perkara antara PT Huntsman Indonesia melawan Sabar Siregar di PHI Jakarta. Dalam perkara ini, hakim menolak gugatan pengusaha karena Perjanjian Kerja Bersama yang masih mencantumkan Pasal 158 dianggap tidak memiliki kekuatan mengikat lagi.
Namun, lain uban lain isi kepala. Masih di PHI Jakarta, majelis hakim yang lain malah menabrak kompetensi pengadilan pidana dengan memutuskan hubungan kerja antara Nudin melawan PT Wisma Bumiputera karena dinilai terbukti melakukan penganiayaan terhadap rekan kerjanya sendiri. Padahal, belum ada putusan pidana yang menghukum Nudin.
Menarik untuk mencermati perkara antara Maruli Simatupang melawan PT Taylor Indonesia di PHI Jakarta. Majelis hakim pada akhirnya memutuskan hubungan kerja Maruli dengan perusahaan dan memberikan hak atas pesangon karenanya. Uniknya, Maruli dinyatakan bersalah telah memakai uang perusahaan hingga berpuluh-puluh juta. Artinya, tindakan Maruli sebenarnya dapat dikualifisir dalam kesalahan berat sebagaimana diatur pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Sementara eks Pasal 158 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa buruh yang diPHK karena kesalahan berat hanya berhak atas uang penggantian hak, namun hakim dengan pertimbanganya sendiri memutuskan untuk memberikan uang pesangon.