Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi
Kolom

Berkaca dari Kasus Nuril, UU ITE Masih Rawan Kriminalisasi

Sejak diundangkan pada tahun 2008, UU ITE kerap kali kali menelan korban karena pasal-pasalnya yang multitafsir.

Bacaan 2 Menit
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa
Nefa Claudia Meliala. Foto: Istimewa

Kasus Nuril menyedot perhatian publik beberapa waktu belakangan. Baiq Nuril Maknun adalah seorang mantan pegawai tata usaha Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kasus bermula saat Kepala SMAN 7 Mataram meneleponnya. Dalam perbincangan itu, awalnya M bicara soal pekerjaan. Selebihnya, M bercerita soal hubungan seksualnya dengan wanita lain yang bukan istrinya.

 

M kemudian mengeluarkan kata-kata yang melecehkan Nuril dan peristiwa itu terjadi lebih dari satu kali. Nuril yang mulai terganggu berinisiatif merekam pembicaraan dengan M. Hal ini untuk membuktikan tidak ada hubungan apapun antara ia dan M seperti yang dibicarakan banyak orang.

 

Dengan bukti rekaman itulah M dilaporkan ke atasannya di Dinas Pendidikan Kota Mataram dan diberi sanksi. M lalu mengadukan Nuril ke Kepolisian Resor Mataram, 17 Maret 2015. Proses hukum atas laporan tersebut terus berjalan hingga tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.

 

Dalam pertimbangannya, hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan bahwa berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan Tim Digital Forensik Kepolisian RI, pihak yang mendistribusikan hasil rekaman tersebut adalah HIM, guru SMAN 7 Mataram yang merupakan rekan kerja Nuril ketika yang bersangkutan masih menjadi tenaga honorer. Nuril memang pernah menyerahkan telepon genggamnya yang berisi rekaman tersebut kepada HIM.

 

Putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/ PN. Mtr, 26 Juli 2017 menyatakan Nuril tidak terbukti menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Majelis berpendapat Nuril merupakan korban pelecehan seksual atasannya dan perbuatannya merekam perlakuan M bukan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 1 UU Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE). Atas putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi.

 

Di tingkat kasasi, tepatnya tanggal 26 September 2018, Mahkamah Agung menyatakan Nuril secara tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Nuril divonis 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsidair 3 bulan kurungan. Putusan ini menuai banyak kecaman dari berbagai kalangan.

 

Secondary victimization

Melihat kronologis kasus Nuril, sesungguhnya Nuril adalah korban pelecehan seksual secara verbal. Percakapan Nuril dengan M yang direkam oleh Nuril dapat dijadikan bukti bahwa dirinya mengalami pelecehan. Menjadi aneh ketika rekaman percakapan yang sama kini digunakan untuk menghukum Nuril karena dirinya dianggap sebagai pelaku kejahatan.

 

Sistem Peradilan Pidana yang pada hakikatnya bertujuan untuk menanggulangi kejahatan kerap kali justru menjadi faktor kriminogen. Persoalan timbul ketika Sistem Peradilan Pidana bukannya menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru, salah satunya adalah fenomena secondary victimization sebagaimana terlihat dalam kasus Nuril.

 

Nuril yang merupakan korban pelecehan seksual dan berkeinginan memperjuangkan haknya justru dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Kasus ini mempertontonkan bagaimana Nuril menjadi korban untuk kedua kalinya.

 

Parameter pengajuan kasasi oleh jaksa harus diperketat

Salah satu persoalan yang mengundang kontroversi dalam kasus Nuril adalah kasasi yang diajukan jaksa setelah putusan pengadilan sebelumnya menyatakan Nuril bebas. Berdasarkan doktrin dalam hukum pidana, apabila hakim berpendapat salah satu unsur tertulis tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa diputus bebas (vrijspraak).

 

Sementara itu, berdasarkan Pasal 244 KUHAP disebutkan, “terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.

 

Namun demikian Pasal 253 ayat 1 KUHAP menyatakan “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan: a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

 

Mengacu pada ketentuan Pasal 253 ayat (1) tersebut, jaksa dimungkinkan untuk mengajukan kasasi dengan menggunakan alasan-alasan yang secara limitatif diatur dalam pasal itu. Selain mengacu pada KUHAP, pengajuan kasasi oleh jaksa juga mengacu pada yurisprudensi, Surat Edaran Jaksa Agung Tahun 1990 Tentang Petunjuk Penyusunan atas Memori Kasasi atas Putusan Bebas dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012.

 

Apa yang menjadi catatan adalah pengajuan kasasi oleh jaksa harus punya alasan yang jelas sebagaimana diatur dalam KUHAP sehingga kasasi tidak diajukan secara serampangan. Parameter pengajuan kasasi oleh jaksa harus diatur secara lebih ketat mengingat begitu banyaknya kasasi yang diajukan jaksa yang terkadang bukan didasarkan pada alasan-alasan yang diatur dalam KUHAP dan hal ini akan membuat proses penanganan perkara menjadi lebih lama dan memakan biaya.

 

Trapman, seorang ahli hukum Belanda pernah menyatakan jaksa berangkat dari posisi subjektif menuju penilaian objektif, penasehat hukum berangkat dari posisi subjektif menuju penilaian objektif, sementara hakim berangkat dari posisi objektif menuju penilaian objektif. Terakhir, terdakwa yang berangkat dari posisi subjektif menuju penilaian yang tentunya juga subjektif. Mengacu pada rumus tersebut, hakim diharapkan mampu memberikan putusan yang objektif dalam menanggapi kasasi yang diajukan jaksa. Dalam kaitannya dengan kasus ini, hakim Mahkamah Agung seharusnya meluruskan kekeliruan yang terjadi pada tahap penyidikan dan penuntutan.

 

Unsur subjektif sebagai syarat pemidanaan

Untuk dapat dipidananya seseorang, syarat-syarat pemidanaan mutlak harus dapat dibuktikan seluruhnya. Doktrin hukum pidana menjelaskan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang, selain unsur objektif yang berkenaan dengan perbuatan (actus reus), unsur subjektif terkait sikap batin pelaku (mens rea) juga harus dapat dibuktikan, kecuali untuk tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan undang-undang sebagai tindak pidana yang menganut asas pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.

 

Unsur objektif erat kaitannya dengan asas legalitas (noela poena sine lege); tiada pidana tanpa aturan, sementara unsur objektif erat kaitannya dengan asas culpabilitas (noela poena sine culpa); tiada pidana tanpa kesalahan. Perbuatan harus bersifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, sementara pelaku harus memiliki kemampuan bertanggung jawab, dapat dibuktikannya unsur kesalahan dalam dirinya baik sengaja (dolus) maupun lalai (culpa) dan tidak ada alasan pemaaf. Keseluruhan persyaratan tersebut bersifat kumulatif.

 

Persoalan fundamental dalam kasus ini adalah bagaimana polisi, jaksa, dan terutama hakim seharusnya mampu menjelaskan bahwa syarat untuk dapat dipidananya seseorang bukan hanya perbuatannya bersifat melawan hukum, tetapi juga harus dapat dibuktikan adanya kesalahan dalam diri pelaku. Apabila mengacu pada ketentuan pasal 27 ayat 1 UU ITE, kegiatan “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” tersebut harus dilakukan dengan sengaja.

 

Dengan mengacu pada teori kehendak (wils theorie), pelaku harus mengetahui dan menghendaki baik perbuatan maupun akibatnya (willen en wetten) yang mana dalam kasus Nuril seharusnya tidak terbukti. Tafsir bahwa karena Nuril melakukan perekaman dan dirinya menjadi bertanggungjawab atas tersebarluasnya isi rekaman tersebut karena ia seharusnya patut menduga atau dapat membayangkan akibat yang mungkin terjadi setelah sempat menyerahkan telepon genggamnya pada HIM jelas merupakan tafsir keliru yang sama sekali tidak memperhitungkan posisi Nuril yang justru adalah korban yang ingin memperjuangkan haknya.

 

Hakim seharusnya memperhatikan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (Perma No. 3/2017) dan mempertimbangkan adanya relasi kuasa dan ketidaksetaraan antara pihak yang berperkara.

 

Dalam kerangka due procces of law, selain harus mengupayakan Tersangka/Terdakwa yang bersalah mendapat hukumannya, Sistem Peradilan Pidana juga harus berusaha semaksimal mungkin agar pendakwaan dan peradilan seorang yang tidak bersalah dapat dicegah. Prinsip ini sejalan dengan adagium yang berbunyi “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah.”

 

UU ITE tidak menjelaskan maksud “melanggar kesusilaan” dalam ketentuan Pasal 27ayat (1)

Spesifik berbicara mengenai ketentuan Pasal 27 ayat 1 UU ITE, salah satu permasalahan terkait perumusan pasal ini adalah UU sama sekali tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan “melanggar kesusilaan”. Dengan demikian, ketentuan pasal ini tidak bisa dipisahkan dan harus merujuk pada delik kesusilaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Dengan membaca pasal 281, 282 ayat (1) dan 283 ayat (2) KUHP dapat disimpulkan bahwa pelanggaran kesusilaan harus dilakukan secara terbuka dan di muka muka umum. Dalam konteks kasus Nuril, percakapan antara Nuril dan Muslim dilakukan dalam ruang privat sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar kesusilaan, sebab tidak dilakukan dengan terbuka dan di muka umum. Dengan demikian, unsur inipun seharusnya tidak terbukti.

 

Sejak diundangkan pada tahun 2008, UU ITE kerap kali kali menelan korban karena pasal-pasalnya yang multitafsir. Menarik bahwa data menunjukkan UU ITE banyak digunakan oleh mereka yang punya kuasa dan jabatan, sementara laporan paling banyak ditujukan kepada aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), wartawan hingga masyarakat awam.

 

Upaya untuk merevisi UU ITE ini akhirnya dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyetujui perubahan terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut pada tanggal 27 Oktober 2016 lalu. Namun sayangnya, hasil perubahan, yang mulai berlaku pada tanggal 28 November 2016 tersebut masih jauh dari yang diharapkan. UU ITE masih berpotensi memberikan ancaman terhadap hak atas kebebasan berekspresi yang rawan kriminalisasi. Kasus Nuril adalah contoh nyata di mana seorang korban pelecehan yang mencoba memperjuangkan haknya justru dijadikan tersangka. Semoga tidak ada Nuril-Nuril lainnya.

 

*)Nefa Claudia Meliala adalah Pengajar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait