Berharap ‘Penguatan KY’ Masuk dalam Amandemen Konstitusi
Berita

Berharap ‘Penguatan KY’ Masuk dalam Amandemen Konstitusi

Karena tugas dan kewenangan KY selama ini bergantung lembaga lain. Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendukung penguatan KY masuk dalam rencana amandemen konstitusi.

Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Gedung KY. Foto: RES
Gedung KY. Foto: RES

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menanggapi positif keinginan Komisi Yudisial (KY) terkait penguatan lembaga Komisi Yudisial (KY) dimasukkan dalam amandemen kelima UUD Tahun 1945.

 

"Pak Wapres menyambut positif tentang eksistensi KY dalam Undang-Undang Dasar. Kalau bisa, saya mendorong kepada Pak Wapres agar mendukung untuk penguatan KY," kata Ketua KY Jaja Ahmad Jayus usai menemui Wapres Ma'ruf Amin di Kantor Wapres Jakarta, Rabu (6/11/2019) seperti dikutip Antara.

 

Dalam pertemuan tersebut, Jaja menyampaikan kepada Wapres Ma'ruf mengenai pentingnya penguatan kewenangan KY dalam amandemen UUD 1945, karena lembaga ini telah berkontribusi menjaga peradilan yang bersih dan bermartabat di Indonesia.

 

Menurutnya, dengan pengaturan dalam UUD 1945, KY dapat menjadi lebih kuat perannya, khususnya dalam pemberian/penjatuhan keputusan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH), yang selama ini hanya sebatas rekomendasi (yang seringkali diabaikan oleh MA, red).

 

"(Agar) rekomendasi KY bersifat final, tidak ada lagi alasan untuk menolak. Kalau sekarang kan hanya rekomendasi sifatnya. Kalau bisa nanti bersifat final dan (diatur) dalam UUD 1945 lebih bagus lagi, jadi jelas kewenangannya," harap Jaja. Baca Juga: Potret Penjatuhan Sanksi Hakim di KY-MA

 

Seperti diketahui, sejak amandemen UUD 1945 sebelumnya (1999-2002), KY adalah lembaga negara yang diatur konstitusi yang sejatinya memiliki kedudukan yang kuat. Kewenangannya diatur Pasal 24B UUD 1945 dan UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

 

Tapi, sudah 15 tahun lembaga pengawas hakim ini berdiri, kewenangannya cenderung digantungkan pada lembaga lain. Misalnya, dalam seleksi calon hakim agung (CHA), KY berwenang mengusulkan CHA kepada DPR melalui sistem seleksi CHA. Namun, saat pengusulan beberapa CHA yang lulus serangkaian seleksi masih dapat ditolak oleh DPR.

 

DPR pernah beberapa kali menolak/tidak menyetujui nama-nama CHA yang diusulkan KY meskipun dalam proses seleksi itu telah melibatkan sejumlah mantan hakim agung dan tokoh masyarakat terkemuka. Alhasil, KY kembali menggelar seleksi CHA demi menutupi kebutuhan hakim agung di MA.     

 

Selain itu, fungsi menjaga dan menegakan keluhuran dan martabat hakim yang wujudnya pengawasan hakim, seringkali hasil pengawasan KY dalam hal penjatuhan sanksi terhadap para hakim yang melanggar KEPPH tidak sepenuhnya dijalankan MA. Misalnya, data pengawasan KY, pada periode Januari-Juni 2019, KY telah merekomendasikan 58 hakim untuk dijatuhi sanksi karena terbukti melanggar KEPPH.

 

Rekomendasi penjatuhan sanksi ini telah disampaikan kepada MA untuk pelaksanaan sanksinya baik berupa sanksi berat, sedang, dan ringan. Namun, pelaksanaan usulan sanksi KY ini seringkali terhambat karena MA tidak sepenuhnya menindaklanjuti rekomendasi sanksi KY ini karena MA menganggap objek pemeriksaan masuk ranah teknis yudisial. Selama ini, pemeriksaan hakim terlapor sering terkendala alasan masuk ranah teknis yudisial.

 

Misalnya, usulan sanksi terhadap 58 hakim, 25 hakim saat itu belum mendapat respon dari MA bagaimana pelaksanaan sanksi yang diusulkan tersebut. Terhadap usulan sanksi 8 hakim, MA memutuskan tidak dapat menindaklanjuti dengan alasan objek pemeriksaan masuk wilayah teknis yudisial. Sementara usulan sanksi 22 hakim masih dalam proses minutasi. Sisanya, 3 hakim telah dijatuhi sanksi berat melalui sidang MKH. Jadi, selama ini KY dan MA seringkali beda persepsi tentang pengawasan perilaku hakim yang dibenturkan dengan teknis yudisial, sehingga terus menjadi perdebatan.

 

Tak hanya itu, Pasal 20 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2011 telah memberi kewenangan meminta bantuan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan atau merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim. Namun, kewenangan ini lagi-lagi belum bisa dijalankan karena masih ada perbedaan pandangan antara KY dan aparat penegak hukum. Sebab, ada pandangan kewenangan penyadapan hanya dapat dilakukan dalam hal terjadinya tindak pidana, bukan pelanggaran KEPPH.  

Tags:

Berita Terkait