Berharap Pasal Living Law KUHP Baru Tidak Merugikan Perempuan
Terbaru

Berharap Pasal Living Law KUHP Baru Tidak Merugikan Perempuan

Komnas Perempuan mencatat tahun 2016 ada 421 kebijakan diskriminatif di tahun 2016, tapi pada tahun 2022 turun menjadi 305.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Komnas Perempuan selama ini juga mendorong terbitnya kebijakan yang menghapus diskriminasi gender kepada berbagai pihak baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Andy menjelaskan rekomendasi yang disampaikan itu berasal dari penanganan yang dilakukan terhadap pengaduan korban. Sejak awal Komnas Perempuan juga telah menyampaikan berbagai catatan terkait RUU KUHP yang intinya diharapkan untuk melindungi HAM.

Dalam rekomendasi tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan ketentuan KUHP yang berpotensi mengkriminalkan perempuan korban kekerasan. Salah satunya mencermati ketentuan tentang living law dalam KUHP.

“Penting untuk membangun langkah-langkah antisipasi dalam memastikan bahwa pemberlakuan KUHP berkenaan dengan living law ini tidak akan merugikan perempuan secara tidak proposional. Sebaliknya justru dapat berkontribusi pada pemajuan hak perempuan, khususnya untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi,” harap Andy.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan hasil kajian terhadap pelaksanaan Qanun di Aceh menemukan sejumlah temuan. Misalnya, pengaturan pemerkosaan dan pelecehan seksual dalam Qanun Jinayat menyebabkan perempuan korban berulang mengalami teror dan intimidasi oleh pelaku. Hukuman ringan pada pelaku hanya membuat perempuan korban merasa tidak adil dan tetap mengalami diskriminasi.

“Selain menyebabkan korban (dewasa) tidak mendapatkan keadilan dan pemulihan, pengaturan pemerkosaan dan pelecehan seksual meyebabkan anak korban kekerasan seksual semakin tidak terlindung,” ujar Siti.

Tantangan pelaksanaan living law yang diatur KUHP menurut Siti antara lain melemahkan sistem adat dengan mencabut kewenangan perangkat adat. Membuka ruang bebas mendefenisikan hukum adat, mudah mengkriminalisasi masyarakat, korban berpotensi terus menjadi korban ganda dan berkepanjangan. Ada peluang merumuskan sanksi adat yang tidak manusiawi, tidak ada ketentuan minimum dan maksimum ukuran sanksi atau denda.

“Aturannya hanya fokus pada penghukuman, tidak berbicara perlindungan korban,” katanya.

Tags:

Berita Terkait