Berharap MK Mempertahankan Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka
Terbaru

Berharap MK Mempertahankan Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka

MK diminta tidak mengabulkan pengujian sejumlah pasal dalam UU Pemilu terkait konstitusionalitas sistem proporsional terbuka dalam pemilu.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pengujian materil Pasal 168 ayat (2) dan 420 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait sistem proporsional terbuka masih berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008 pun telah menegaskan proporsional terbuka menjadi sistem yang digunakan sejak pemilihan umum tahun 2009 sampai 2019 lalu. Pertanyaannya, apakah MK bakal konsisten dengan putusannya terkait konstitusionalitas sistem proporsional terbuka?

Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menilai MK semestinya konsisten terhadap Putusan No.22-24/PUU-VI/2008. Dalam proses uji materi UU 7/2017, MK bisa melibatkan partai politik yang berada di parlemen agar dimintakan pendapatnya dalam upaya mempertahankan sistem proporsional terbuka dalam pada pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Sebab, DPR dan pemerintah telah menyepakati tidak akan merevisi UU 7/2017.

“Kita berharap MK nanti ketika berproses mendengar semua pihak di parlemen karena kita ingin sistem proporsional terbuka di Pemilu 2024,” ujarnya melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (5/1/2023).

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu berpendapat pandangan partai politik menjadi penting untuk dipertimbangkan sebelum MK menerbitkan putusan uji materi UU Pemilu terkait aturan penerapan sistem proporsional terbuka. Dia berharap MK tetap konsisten mempertahankan sistem proporsional terbuka melalui putusannya demi penyelenggaraan demokrasi. Sebab, sistem proprosional tertutup membuat masyarakat tidak mendapat haknya menentukan siapa wakil rakyat yang dinilai terbaik untuk duduk di parlemen.

Anggota Komisi II Lukman Hakim menilai permohonan uji materil Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu secara umum hendak mengubah sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Setelah menelaah petitum permohonan uji materi, Lukman menilai pemohon dan kuasa hukumnya kurang menguasai keilmuan kepemiluan.

“Petitum yang mereka ajukan terlihat irrasional, absurd dan kacau. Apabila petitum yang mereka ajukan dikabulkan MK, akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang,” ujarnya.

Lukman mengungkapkan para pemohon meminta agar Pasal 420 huruf c UU Pemilu diubah menjadi, “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut”. Sedangkan naskah sebelumnya menyebutkan, “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak”. Kemudian, pemohon meminta agar Pasal 420 huruf (d) dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sementara, Pasal 420 huruf d UU Pemilu menyebutkan, “Nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi”. Pasal 420 mengatur tata cara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague.

Yakni, suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. Perhitungan tersebut menjadi cara dalam menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh. Oleh karena itu, tentu berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. “Bukan didasarkan pada nomor urut partai politik,” kata dia.

Bagi politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, para pemohon mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu hingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik yang tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut. Menurutnya, menghapus Pasal 420 huruf d bakal menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu. Sebab, tak lagi ada aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

“Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu. Kacau, kan?”

Tapi, Lukman yakin sembilan hakim konstitusi memahami secara komprehensif seluruh petitum yang diajukan para pemohon dan akibat apa yang akan ditimbulkan bagi pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang bila dikabulkan. Oleh karena itu, MK diharapkan tak mengabulkan permohonan pemohon dalam petitumnya sebagian atau seluruhnya.

“Saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para pemohon. Dengan demikian, pelaksanaan Pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka,” katanya.

Seperti diketahui, ada empat orang dan dua kader partai politik menjadi pemohon perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 di MK. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P)), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022) lalu.

Tags:

Berita Terkait