Beresiko, RUU Hukum Acara Perdata Hanya Merevisi HIR
Berita

Beresiko, RUU Hukum Acara Perdata Hanya Merevisi HIR

Kabar bahwa RUU Hukum Acara Perdata yang telah lama dipersiapkan oleh Departemen Kehakiman dan HAM telah selesai dibahas oleh panitia antar-departemen, dibantah oleh salah satu anggota tim perumusnya. Menurutnya, selain masih banyak isu substansial yang alot dibahas, RUU tersebut hanya merevisi satu dari beberapa hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.

Amr/Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Beresiko, RUU Hukum Acara Perdata Hanya Merevisi HIR
Hukumonline

Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM Sri Hariningsih mengemukakan rencana sosialisasi RUU Hukum Acara Perdata. Sri menjelaskan bahwa RUU Hukum Acara Perdata sudah selesai dibahas oleh panitia antar-departemen dan baru akan disosialisasikan ke publik.

Namun, informasi bahwa RUU Hukum Acara Perdata tersebut telah selesai dibahas dalam panitia antar-departemen tersebut dibantah oleh salah satu anggota tim perumusnya. Kepada hukumonline, sumber yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut mengatakan bahwa pembahasan RUU tersebut saat ini masih dalam lingkup inter-departement dan beberapa isu yang substansial masih alot dibahas.

Akses majelis ke kepolisian

Isu substansial yang ia maksudkan adalah mengenai dugaan pemalsuan dokumen pada perkara perdata. "Selama ini kalau ada dugaan pemalsuan, biasanya majelis memutuskan agar (dugaan tersebut-red) diperiksa dan diselesaikan dulu secara pidana. Proses tersebut bukan tidak mungkin memakan waktu bertahun-tahun," jelasnya ketika ditemui di sebuah pengadilan negeri di Jakarta.

Ia  menjelaskan, dalam revisi hukum acara perdata tersebut sedang dibuat suatu proses supaya majelis mempunyai akses ke pihak Kepolisian. Kepolisian selanjutnya akan memeriksa dokumen yang diduga palsu, kemudian mereka melaporkan hasilnya ke majelis supaya majelis bisa langsung mengambil keputusan.

Dengan adanya proses ini, tegasnya lagi, maka proses perkara perdata tidak perlu lagi menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Ia juga mengatakan bahwa RUU mengakomodasi dasar hukum bagi pengajuan class action.

Hanya merevisi HIR

Mengenai keberadaan RUU itu sendiri, ia berpendapat terlalu riskan kalau hukum acara perdata yang disusun sekarang hanya merubah ketentuan-ketentuan yang ada dalam HIR (Het Herziene Inlanders Reglement). Alasannya, HIR sendiri sekarang masih banyak mengambil ketentuan-ketentuan atau lembaga-lembaga yang ada dalam RV (Reglement of de Burgerlijke Rechtvordering).

"Selama ini kan kalau ada kebolongan di HIR kita bisa ditambal pakai RV. Kalau  revisi ini cuma mengubah HIR, maka akan banyak kekosongan aturan. Padahal kan kita ingin membuat hukum acara perdata nasional," ungkapnya. Ia menyarankan beberapa ketentuan yang ada dalam RV juga harus diadopsi.

Penggodokan RUU ini bisa dikatakan berjalan lamban. Padahal tingkat urgensinya sangat tinggi. Salah satu pihak yang pernah ikut merumuskan beberapa pasal dalam RUU, Mas Achmad Santosa, mengatakan bahwa keterlibatannya terakhir dalam perumusan RUU tersebut adalah pada Februari 2000.

Pasal tentang class action

Menurut Mas Achmad Santosa (Mas Ota), saat itu ia diminta oleh tim perumus RUU Hukum Acara Perdata untuk pasal tentang Gugatan Perwakilan atau gugatan class action. Saat itu, tim perumus RUU diketuai oleh Ellyana  salah satu hakim adhoc Pengadilan Niaga.

Anggota lainnya yang pada saat itu ikut dalam tim perumus RUU Hukum Acara Perdata antara lain Retnowulan Sutantio serta Maqdir Ismail. Kepada tim perumus, Mas Ota yang dosen FHUI tersebut mengusulkan agar gugatan class action tidak lagi terbatas pada kasus-kasus perlindungan konsumen, lingkungan hidup, dan kehutanan.

"Saya mengusulkan agar dituangkan, sehingga nanti tidak akan ada lagi suatu argumen bahwa class action hanya bisa diterapkan di (kasus) konsumen, kehutanan dan lingkungan hidup," ungkap Mas Ota yang juga peneliti senior di Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) kepada hukumonline.

Sebenarnya, tegas Mas Achmad, class action dapat diterapkan pada semua kasus yang sifatnya menimbulkan mass injury atau kerugian massal. Ia mengusulkan, kasus-kasus yang menyangkut hak-hak sipil dan politik masyarakat, hak asasi manusia, dan kasus pasar modal agar dimungkinkan untuk diajukan gugatan class action.

Pengaturan di Perma

Walaupun UU Pasar Modal, misalnya, tidak mengatur perihal gugatan class action, hal itu tidak berarti masyarakat tidak dapat mengajukan gugatan class action. Hal ini, jelas Mas Achmad, karena HIR yang akan digantikan RUU Hukum Acara Perdata adalah hukum formil yang berlaku untuk semua kasus perdata.

Tiga undang-undang yang sudah secara tegas mengatur mengenai class action adalah UU tentang Perlindungan Konsumen (UU No.8 Tahun 1999), UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997) atau UU tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun 1967).

Pengaturan mengenai gugatan class action dalam RUU Hukum Acara Perdata, sebagaimana di AS, hanya bersifat umum dan tidak terperinci. Mas Ota mengusulkan agar mengenai mekanisme penerapannya lebih detil diatur dalam produk hukum Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Supreme Court Rule.

Sementara itu, Sri Hariningsih menyebutkan bahwa RUU yang terdiri dari 400 pasal lebih itu termasuk RUU yang menjadi prioritas Depkeh dan HAM selain beberapa RUU bidang ekonomi lainnya.

Tags: