Berbincang dengan Maqdir Ismail tentang Praperadilan
Berita

Berbincang dengan Maqdir Ismail tentang Praperadilan

Mengajukan praperadilan itu bukan kejahatan; ia alat koreksi horizontal.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Maqdir Ismail (menghadap kamera) di sidang praperadilan. Foto: RES
Maqdir Ismail (menghadap kamera) di sidang praperadilan. Foto: RES

Dalam praperadilan kasus-kasus yang menarik perhatian publik hampir selalu ada nama Maqdir Ismail. Dapat dikatakan, pria kelahiran Baturaja, Sumatera Selatan, 18 Agustus 1954 itu adalah advokat ikon praperadilan. Bukan semata karena beberapa perkara yang ia tangani menarik perhatian publik, tetapi juga karena keberhasilannya ‘mendobrak’ norma yang ada. Paling fenomenal adalah putusan pengadilan yang mengakui penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Maqdir adalah pengacara pemohon praperadilan, Budi Gunawan, kala itu.

 

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Kini, cakupan praperadilan ini sudah meluas.

 

Pada Januari 2020, Maqdir dan timnya disibukkan oleh setidaknya dua praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni praperadilan yang diajukan eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M. Romahurmuziy, dan praperadilan yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, Rezky Herbiono dan Hiendra Soenjoto. Kedua permohonan ini ditolak pengadilan. Sebagai penasihat hukum pemohon praperadilan, Maqdir tidak lantas terpancing emosi manakala permohonan kliennya tidak dikabulkan. Ia menyatakan menghormati putusan hakim, dan akan bertarung dalam pemeriksaan pokok perkara.

 

Maqdir lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (1979), dan memperoleh gelar LLM dari University of Western Australia (1999). Doktor ilmu hukum dia peroleh dari Universitas Indonesia tahun 2005. Ia termasuk advokat yang juga berhasil secara akademis. Memulai karirnya dari LBH Jakarta, lalu menjadi pengacara di kantor Adnan Buyung Nasution & Partners. Sempat berkarir di firma hukum lain, Maqdir kemudian mendirikan firma hukum Maqdir Ismail & Partners pada 2005. Di laman firma hukum ini tertera tagline yang memperlihatkan komitmennya pada klien: commitment, quality dedication, perseverance to improve, and innovation.

 

Di tengah kesibukannya menangani sejumlah perkara, yang membuatnya berpindah dari PN Jakarta Selatan ke PN Jakarta Pusat, kemudian terbang ke Sumatera Selatan, Maqdir masih menyempatkan diri berbincang dengan hukumonline. Sebagian tentang praperadilan, sebagian mengenai perkara yang sedang ia tangani.

 

Mengapa Anda sering mengajukan praperadilan? 

Concern saya dengan teman-teman, mengapa kita sering mengajukan praperadilan yang pokok sebenarnya hukum acara pidana mengatur kewenangan dari aparat penegak hukum supaya mereka tidak semena-mena. Jadi, hukum acara bukan membatasi hak warga negara tetapi membatasi penggunaan wewenang oleh penegak hukum. Salah satu alternatif yang diberikan Undang-Undang untuk memeriksa benar atau tidaknya tindakan penegak hukum melalui praperadilan. Karena inilah ada semacam koreksi horizontal, dan ini yang coba kita lakukan.

 

Dulu misalnya saya dengan teman-teman menguji ketentuan praperadilan di MK sehingga lahir putusan harus ada pemeriksan terhadap calon tersangka. Kenapa? Karena ini sebenarnya adalah awal orang membela diri ketika ia diperiksa. Sebab yang terjadi kan begini, salah satu di antaranya saya dan kawan-kawan mempersoalkan penetapan tersangka, karena banyak sekali orang menjadi tersangka tidak pernah diperiksa, tiba-tiba ia menjadi tersangka. Dalam KUHAP misalnya, penyidikan itu mencari tersangka, ketika ditemukan perbuatan pidana cari tersangkanya. Kan begitu, aturan mainnya seperti itu. Sekarang yang terjadi KPK begitu penyelidikan, mereka tetapkan orang sebagai tersangka tanpa memeriksa calon tersangka itu. Itulah mengapa kami mencoba mempersoalkan penetapan orang sebagai tersangka. Yang paling sering kita lihat ketika orang ditetapkan sebagai tersangka itu unsur pasal yang mereka sangkakan hampir tidak pernah bisa dibuktikan. Jadi, misalnya begini: yang terjadi itu bukti permulaan cukup dua alat bukti, ada keterangan orang, ada surat. Kualitas keterangan dan surat ini kan tidak pernah diuji. Jadi itulah yang mau kita uji di praperadilan tentang bukti permulaan. Benar tidak orang Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), padahal kan syaratnya harus ada kerugian negara. Ketika tidak diketemukan kerugian negara, dikenakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3. Itu kan enggak benar. 

 

Lazimnya Anda menyarankan praperadilan atau tersangka yang jadi klien Anda yang meminta ajukan? 

Ya, kadang-kadang dua-duanya, umumnya itu karena diskusi. Setiap orang yang ketemu kami kan kita bikin semacam peta awal: perkara ini apa sih? Kalau orang ditersangkakan dikenakan pasal ini, benar enggak? Pertanyaannya kita praperadilan atau tidak?. Yang celakanya kalau berurusan dengan KPK, kalau orang melakukan perlawanan seolah-olah dianggap kejahatan padahal orang menggunakan hak membela diri dari awal supaya jelas ini perbuatan pidana atau bukan kalau ada pidana, buktinya cukup atau tidak. Mestinya kan mereka berterima kasih dengan praperadilan. Meskipun kadang-kadang kalau kita persoalan kerugian negara, hakim ngeles, itu sudah masuk pokok perkara tapi kan enggak bisa gitu. Harus ada bukti permulaan kerugian negaranya. 

 

Bagaimana pasal yang lain (dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)? 

Juga termasuk pasal yang lain, itu yang kita persoalkan. Kalau orang ini terima suap atau  gratifikasi, mesti jelas ada atau tidak suapnya, gratifikasinya. Kalau terlambat lapor, kenapa? Kayak kasusnya Romi (maksudnya M. Romahurmuziy. Maqdir kuasa hukum Romi—red)) dia enggak lapor karena mau mengembalikan melalui orang lain. Dia menghornati orang lain. Kalau dia lapor, orang-orang sponsor ini kan akan dipanggil. Akan rusak hubungan baik. Ini yang tidak ditampung di hukum acara kita.

 

(Baca juga: Pengadilan Tolak Praperadilan Eks Sekretaris MA, Begini Pertimbangannya)

 

Salah satu yang dikritik Maqdir adalah pemaknaan ‘tertangkap tangan’. KPK sering melakukan tangkap tangan, termasuk Romi. Terakhir, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan. Berdasarkan KUHAP, ‘tertangkap tangan’ adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

 

Dalam konteks itulah ia melayangkan kritik terhadap OTT yang dilakukan KPK. Menurut Maqdir, ‘tangkap tangan’ itu karena kejadian, bukan diikuti. “Kalau orang dibuntuti siang malam, berbulan-bulan itu kan namanya interrupt (penyergapan) dalam hukum pidana kita. KPK kan punya fungsi pencegahan,” ujarnya. Ia lalu bercerita tentang kasus Romi, Nurhadi, dan kasus Bupati Muara Enim Ahmad Yani. Tentu saja, Maqdir tidak bekerja sendirian. Setiap mengajukan praperadilan, ia bersama sejumlah advokat lain.

 

Adakah tim khusus saat mengajukan praperadilan?

Tidak. Kami semua bersama-sama menangani perkara pokok dan praperadilan. 

 

Adakah perubahan komposisi pengacara, misalnya memberikan tanggung jawab khusus kepada advokat lain pada kasus tertentu? Kami melihat Anda turun langsung setiap praperadilan.

Tidak. Kami sama-sama, kita selalu sama-sama. Memang kadang draft awal dari saya kadang-kadang dari teman yang lain baru kita perbincangkan, kita ‘sembelih’, kita kuliti, kelemahan dimana, kekuatan dimana, teori seperti apa. Maka kita sebaik mungkin membaca teori, baik di perkara praperadilan atau perkara pokok. 

 

Stigma masyarakat untuk praperadilan cenderung negatif, seperti melakukan ‘perlawanan’. Bagaimana pandangan Anda? 

Itu yang salah. Orang mengajukan praperadilan ini kan untuk membela hak. Hak itu kan bukan kejahatan. Ketika kita persoalkan suatu penetapan tersangka, artinya kita kan membela hak, bukan kita menyuruh tersangka melakukan kejahatan.

 

Pola KPK meminta penundaan praperadilan? 

Itu kan ada yang selalu didengungkan banyak orang, justice delayed, mereka selalu meminta orang taat kepada hukum bahkan orang diancam dengan Pasal 21-22 (UU Pemberantasan Tipikor mengenai obstruction of justice) tapi mereka sendiri tidak menghormati hukum. Itu kan jadi lucu. Pernah enggak pimpinan KPK berani untuk mempersilahkan "adili kami kalau kami salah" tapi mereka selalu mengatakan hadapi saja pengadilan, kan selalu begitu. Ini saya ingat novelnya Pram (Pramoedya Ananta Toer) mengenai Minke. Kita selalu harus adil dalam pikiran. Ini yang selalu tidak mereka lakukan. Buat saya, berlaku adil bukan hanya ucapan tapi juga pikiran. 

 

Apakah praperadilan yang Anda ajukan selalu melawan KPK? Bagaimana Kejaksaan dan Kepolisian? 

Kejaksaan pernah. Justru awalnya timbul gagasan kami menguji pasal praperadilan itu ketika kami memenangkan praperadilan melawan Kejaksaan Agung. Ada penetapan tersangka yang kami katakan tidak sah. Itu perkaranya Chevron. Itulah perkara pertama, saya kira mungkin di Indonesia, sepanjang ingatan saya. Itu yang kami jadikan dasar diskusi dengan banyak orang. Saya bilang teman-teman saya yang skeptis itu dikabulkan. Saya bersikeras betul orang menjadi tersangka Pasal 2 atau Pasal 3 (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) harus memenuhi unsur ini. Ketika tidak terpenuhi, ini harus dibuktikan. Kalau kepolisian tidak pernah karena saya tidak pernah diminta orang menangani perkara di kepolisian.

 

(Baca juga: Terdakwa Chevron Persoalkan Aturan Penetapan Tersangka)

 

Bukan karena stigma kalau perkara kepolisian tidak mau praperadilan?  

Tidak.  Kami itu hampir tidak memegang perkara di kepolisian.

 

Ada trik dan tips mengajukan praperadilan? 

Tidak ada trik sih. Kami lebih memahami bagaimana ketentuan dan memahami bagaimana KUHAP. Kemudian, kami uji fakta dengan ketentuan perundang-undangan. Kita lihat di tempat lain seperti apa. Jadi memang betul-betul yang kita lihat teori tentang hukum acara pidana. Itu yang harus kita pahami.

 

Sebenarnya based on document, atau bertemu orang, diskusi? 

Biasanya kita meminta pendapat lain di luar ahli.

 

Konsultasi dengan ahli hukum?

Bisa kita lakukan. 

Tags:

Berita Terkait