Beragam Tantangan Menjadi Mediator di Usia Muda
Berita

Beragam Tantangan Menjadi Mediator di Usia Muda

Tingkat kedewasaan psikologis yang tinggi sangat dituntut untuk bergelut dalam profesi ini.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Wendy Lim
Wendy Lim

Dinobatkan sebagai ‘mediator termuda’ pada Pusat Mediasi Nasional (PMN), Wendy Lim, di usianya yang ke-23 tahun telah berhasil melewati ketatnya proses seleksi (ujian profesi) untuk mendapatkan sertifikasi mediator. Berhadapan dengan beragam persoalan dan karakter banyak orang sekaligus mengupayakan perdamaian antar para pihak yang bersengketa, tentu bukan hal mudah untuk pemuda seusianya. Tingkat kedewasaan psikologis yang tinggi sangat dituntut untuk bergelut dalam profesi ini.

 

‘Mediator milenial’ yang sedang menempuh Program Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mempunyai cara tersendiri dalam mendamaikan berbagai tipe orang-orang yang bersengketa. Pengetahuan soal itu ia timba secara serius, baik saat menempuh pendidikan mediator hingga banyak belajar dan bertanya kepada mediator-mediator senior di PMN.

 

Dalam channel youtube dan facebook fanpages ‘Hukumonline Love of Law’, Wendy membagikan tips, alasan dan pengalamannya menjadi mediator muda, bocoran soal ujian mediator, fee mediator sekaligus total biaya yang harus ia keluarkan mulai sejak mengikuti pendidikan mediator, ujian profesi hingga sertifikasi.

 

 

 

Selain berbagai tips dan informasi menarik yang dibagikan Wendy melalui video tersebut, Wendy menceritakan kepada hukumonline soal gambaran persoalan yang dihadapi oleh mediator serta skill apa saja yang diperlukan untuk menghadapi persoalan tersebut.

 

Pertama, skill problem finding yang bisa diasah dengan berusaha menjadi pendengar yang aktif serta berusaha tidak memotong pembicaraan klien. Dengan begitu, informasi yang didapat akan semakin banyak sehingga akan semakin jelas terlihat ‘apa sebetulnya akar persoalan yang menimbulkan perpecahan di antara para pihak?’

 

“Setelah menemukan akar persoalannya, dari situ akan muncul solusi. Tapi ingat, solusinya itu dari para pihak bukan dari mediator karena fungsi mediator hanya sebagai penengah,” kata Wendy.

 

Kedua, skill membangun suasana. Lulusan S1 Ilmu Hukum Universitas Mahasaraswati, Bali ini menceritakan bahwa suasana yang muncul dalam proses mediasi kerapkali tak dapat ditebak, tetapi tetap harus bisa dikendalikan.

 

Wendy mencontohkan, ketika kedua belah pihak berperkara, terkadang ada satu pihak yang berada dalam posisi dominan dan posisi sebaliknya bagi pihak lainnya. Tidak seimbangnya posisi kedua belah pihak saat itu merupakan tanggungjawab mediator untuk dapat membangun suasana imbang tanpa adanya dominasi.

 

“Karena hanya dengan begitu mereka akan terbuka satu sama lain tanpa adanya intimidasi ataupun perasaan terintimidasi,” ujarnya.

 

Ketiga, mediator harus mampu membuat para pihak nyaman dengan dirinya. Keempat, skill reframing, yakni skill untuk menghadapi para pihak yang mengeluarkan kata-kata kasar saat bermediasi.

 

(Baca Juga: Ini Kasus-kasus Pidana yang Bisa Dimediasi di Indonesia)

 

Di situ, mediator bisa mengendalikan emosi pihak tersebut dengan mengubah pola bahasa yang digunakan untuk menenangkan pihak yang sedang marah. “Misalnya, dengan mengatakan ‘ibu pasti merasa kecewa ya bu?, jadi kedekatan emosional dengan klien itu akan muncul dengan sendirinya,” kata Wendy mencontohkan.

 

Yang perlu ditanamkan dalam diri seorang mediator, lanjut Wendy, permasalahan tak boleh dipandang dengan pendekatan subjek/orang, melainkan harus dilihat fokus pada objek persoalan. Apa yang dibawa oleh para pihak akan cenderung terfokus pada subjeknya (kesalahan orang lain), bukan akar persoalannya.

 

Di situlah peran penting mediator untuk mengubah pola pola sudut pandang itu, sehingga persoalan dapat terselesaikan secara objektif tanpa menyudutkan atau membiarkan salah satu pihak tersudutkan.

 

“Selain itu, kita juga dilatih membuat rangkuman, membangun empati, bagaimana menahan diri agar tidak memberi solusi kepada para pihak dan tetap pada jalur mediator sebagai fasilitator dalam proses musyawarah dalam mediasi,” kata Wendy.

 

Setelah berkecimpung di dunia mediator itulah pemikiran Wendy mulai terbuka bahwa tak segala hal harus diselesaikan dengan jalur hukum (pengadilan). Ada perkara-perkara kecil yang harus diselesaikan dengan pendekatan restorative justice (pemulihan) bukan penghukuman/pembalasan.

 

Mediasi atau yang lebih akrab disebut juga dengan ‘musyawarah untuk mufakat’ dalam nuansa local genuine, memang bukanlah barang baru. Nilai-nilai musyawarah itu nyatanya telah lama diterapkan dalam penyelesaian persoalan-persoalan adat.

 

“Positifnya, hubungan akan berakhir damai dengan musyawarah. Sebaliknya, jika dibawa ke pengadilan (persidangan) ujungnya hubungan akan rusak/hancur, bisa muncul dendam dan sebagainya. Padahal, yang seharusnya diselesaikan adalah masalahnya bukan hubungannya,” kata Wendy.

 

Tambahan tips lainnya untuk mendamaikan pihak yang bersengketa, kata Wendy, mediator harus bisa melihat kesamaan tujuan di antara mereka, jangan terbawa alur pemikiran para pihak yang hanya terfokus pada objek yang ingin mereka pertahankan.

 

Misalnya, Wendy saat A dan B ingin bercerai karena kepentingan pribadi kedua belah pihak sama-sama dirasa tak terpuaskan oleh sang pasangan. Mindset itulah yang harus berhasil diubah mediator, dari yang sebelumnya condong memikirkan objek dan kepentingan pribadi berubah menjadi memprioritaskan jaminan kebahagiaan bersama.

 

Seringkali, Wendy berpendapat permasalahan itu bukan berada pada apa yang mereka tawarkan seperti contoh di atas. Masalahnya bukan ada pada kehendak perceraian kedua belah pihak, melainkan masalahnya bersumber dari komunikasi yang tidak baik atau munculnya gangguan-gangguan lain.

 

“Itu yang harus diselesaikan, bukan perceraiannya yang kita majukan. Itulah mengapa mediator harus bisa menggali lebih dalam, mengapa ia ingin bercerai dengan suaminya dan kalau itu terselesaikan, bisa jadi perceraiannya tidak akan lanjut,” tukasnya.

 

Fase-Fase Pertemuan dalam Mediasi

Ada beberapa fase pertemuan dalam mediasi dijabarkan oleh Wendy kepada hukumonline. Fase Pertama, berawal dari pengajuan berkas-berkas yang berisi permasalahan yang hendak dimediasikan. Fase Kedua, pemanggilan para pihak oleh mediator untuk melihat duduk perkara.

 

Untuk diketahui, pemanggilan para pihak ini bisa dilakukan melalui dua proses, yakni proses pemanggilan melalui pengadilan dan proses pemanggilan di luar pengadilan. Pemanggilan melalui pengadilan sendiri, kata Wendy, biasanya sudah menjadi satu kesatuan dengan proses berperkara di Pengadilan, di mana hakim mengatakan kepada para pihak bahwa untuk kasus yang mereka perkarakan wajib dilakukan mediasi terlebih dahulu. Setelah itu para pihak akan memilih mediator mana yang akan digunakan.

 

Fase Ketiga, pasca melakukan pemanggilan terhadap para pihak, mediator akan melakukan pertemuan pertama. Dalam pertemuan pertama itulah akar permasalahan harus digali (defining the problem).

 

“Di situ kita juga akan kasih tahu agenda selanjutnya seperti apa, setelah itu nanti kalau perdamaian mengalami kebuntuan akan kita lakukan pertemuan terpisah,” tukas Wendy

 

Dalam pertemuan terpisah (Fase Keempat), mediator harus mampu membangun pandangan para pihak, bahwa sebetulnya mereka mempunyai kesamaan yang dapat dijadikan jembatan penghubung untuk berdamai. Setelah berhasil menemukan kesamaan-kesamaan itu maka akan diadakan pertemuan kembali (Fase Kelima) untuk menemukan solusi-solusi yang bisa disepakati kedua belah pihak.

 

Pada fase terakhir, hasil negosiasi yang telah mencapai kesepakatan akan dibuatkan akta perdamaian yang akan dimintakan pengesahannya ke Pengadilan. “Nah akta perdamaian yang masuk ke Pengadilan itu memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Putusan Pengadilan,” tukasnya.

 

Tags:

Berita Terkait