Beragam Tantangan Kapolri Baru
Berita

Beragam Tantangan Kapolri Baru

Mulai sektor reformasi Polri, mengembalikan kepercayaan publik, menghadpai masyarakat berbasis hak asasi manusia, hingga merespon berkembangan dan inovasi teknologi informasi dan komunikasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Komjen (Pol) Listyo Sigit Prabowo usai menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Rabu (20/1). Foto: RES
Komjen (Pol) Listyo Sigit Prabowo usai menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR, Rabu (20/1). Foto: RES

Setelah disetujui Komisi III DPR, Komisaris Jenderal (Pol) Sigit Listyo Prabowo bakal secara resmi akan disahkan DPR melalui rapat paripurna yang bakal digelar, Kamis (21/1/2021) ini. Ada beragam pekerjaan rumah dan tantangan berada di pundak jenderal polisi bintang tiga itu. Setidaknya terdapat empat tantangan yang harus dihadapi Sigit dalam menahkodai korps bhayangkara itu.

“Ada empat tantangan untuk beliau menjadi Kapolri baru,” ujar Ketua Majelis Kehormatan Dewan (MKD) Aboe Bakar Alhabsy di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (21/1/2021). (Baca Juga: Disetujui Jadi Kapolri, Empat Program yang Diusung Sigit Listyo Prabowo)

Tantangan yang dimaksudyang pertama, melakukan reformasi di tubuh kepolisian secara menyeluruh untuk lebih meningkatkan kinerja dan performa institusi Polri dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara khusus, reformasi perlunya menguatkan independensi Polri agar tidak terseret dalam arus percaturan politik.

“Ini untuk menjawab persoalan yang disampaikan salah satu penyidik KPK Novel Baswedan yang menyatakan bahwa banyak faksi di Polri yang sarat kepentingan dan saling menyandera, sehingga pimpinan Polri tidak berani mereformasi Polri sebagai institusi yang dipercaya,” ujarnya.

Menurutnya, terdapat dua hal yang saling terkait yakni independensi dan soliditas. Sepanjang institusi Polri berjalan tegak lurus menjalankan tugas secara independen, soliditas korps bakal  terjaga dengan baik. Sebaliknya, bila terdapat personil elit yang saling menyikut, masing-masing personil bakal bekerja demi kepentingan pribadi atau kelompok, sehingga tak lagi ada soliditas di korps bhayangkara.

Kedua, mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri. Anggota Komisi III itu menilai kepercayaan publik terhadap Polri runtuh dalam beberapa tahun terakhir, khususnya dalam hal tugas penegakan hukum. Karenanya, tantangan kedua ini banyak mendapat atensi terhadap pejabat Kapolri terpilih karena banyak persoalan yang membuat publik tersentak.

“Misalkan saja, Bagaimana mungkin dokumen surat bebas Covid-19 untuk Djoko Tjandra yang seorang DPO ternyata diterbitkan oleh Pusdokkes Polri. Ada lagi surat jalan yang dikeluarkan oleh Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Polri untuk Djoko Tjandra,” kata dia mencontohkan.

Peristiwa itu membuat publik pesimis terhadap aparat kepolisian yang berdampak menurunkan kepercayaan publik. “Ini menjadi tantangan bagi Komjen Sigit Listyo saat resmi menduduki kursi Kapolri.”

Ketiga, membuktikan Polri memiliki hubungan hangat dengan seluruh komponen bangsa. Maklum, beberapa tahun terakhir, banyak pihak menilai Polri menjauh dari sebagian umat Muslim. Sebaliknya, tajam terhadap sebagian umat Muslim dalam penegakan hukum. “Ini persoalan kualitas kedewasaan sikap dalam pluralisme bangsa ini. Padahal, selama ini kelompok-kelompok Muslim sebenarnya tidak meributkan faktor keagamanan seseorang, dan mereka sangat menghormati perbedaan keyakinan dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika,” kata dia.

Keempat, Kapolri terpilih perlu menjamin bahwa tugas Polri dilaksanakan secara profesional dengan menggunakan pendekatan humanis. Aboe mengacu catatan akhir tahun Kontras yang menyatakan personil Polri diduga terlibat terhadap 921 kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sepanjang Juli 2019-Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas. Kejadian lain yang menjadi perhatian publik adanya extra judicial killing di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada bulan 7 Desember 2020 terkait penembakan 6 laskar FPI.  

“Situasi ini membuat kita sebagai anggota Komisi III yang menjadi mitra Polri banyak sekali dimintai penjelasan oleh masyarakat soal isu-isu demikian, misalkan kenapa penanganan demo kok represif? Kenapa pelanggaran prokes sampai dibuntuti? Kenapa pelanggaran prokes sampai membuat 6 nyawa melayang?”

Berbasis HAM

Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar menyoroti tantangan Polri dari aspek HAM. Menurutnya, terdapat permasalahan kunci yang penting disoroti Kapolri terpilih. Pertama, persoalan dugaan keterlibatan oknum kepolisian dalam kekerasan terhadap pembela HAM, khususnya aktivis lingkungan (environmental human rights defender).

Dalam kurun tiga tahun terakhir, Elsam mencatat Kepolisian merupakan institusi yang paling banyak terlibat dalam kasus kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan. Sebagai gambaran, sepanjang Januari hingga Agustus 2020, dari total 68 aktor negara yang diduga terlibat, 60 diantaranya berasal dari institusi Kepolisian.

Menariknya, data tersebut menunjukan tindakan yang melibatkan kepolisian hampir seluruhnya dilakukan secara prosedural. Karenanya menjadi mendesaknya kebutuhan perbaikan sistem operasi dan penanganan terhadap kasus-kasus terkait lingkungan, agraria, dan sumber daya.

Kedua, perlindungan HAM di internal kepolisian, khususnya perlindungan kelompok minoritas seksual. Menurutnya, dalam dua tahun terakhir muncul dua kasus terkait penolakan kelompok minoritas seksual tertentu di internal kepolisian. Menurutnya, penolakan ini telah berujung pada sanksi keras dan tindakan hukum berupa pemecatan dan penahanan terhadap dua aparat kepolisian.  

Dia menilai tindakan tersebut bertentangan dengan semangat dan komitmen Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, yang menekankan perlindungan kelompok minoritas seperti etnis, agama, penyandang disabilitas, dan orientasi seksual.

Ketiga, penanganan demonstrasi damai (peaceful protest), acapkali kepolisian masih melakukan pengerahan dan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force) yang berujung jatuhnya korban. Semestinya Perkap No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, cukup menjadi rujukan kepolisian dalam penanganan demonstrasi. Semua tindakan setiap tahapan dilakukan secara terukur dengan mengacu pada tingkat ancaman yang ada.”

Seperti nampak dalam penanganan rangkaian demonstrasi menolak sejumlah produk legislasi bermasalah. Antara lain revisi UU KPK, revisi UU Minerba, hingga pengesahan UU Cipta Kerja. Dalam menangani penolakan UU Cipta Kerja, sekitar 5.918 orang di seluruh Indonesia ditangkap saat berunjuk rasa, berisiko terjadinya penangkapan, penahanan, penyitaan sewenang-wenang. Bu cara-cara kekerasan dan sulitnya akses pemberian bantuan hukum.

Keempat, merespon berkembangan dan inovatifnya teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi internet, sesungguhnya bukanlah instrumen kejahatan yang harus dikhawatirkan. Sebaliknya, sarana yang melahirkan banyak inovasi dan kesempatan. Karena itu, respon legislasi, regulasi, dan tindakan kepolisian pun harus proporsional.

Meski diakui, terdapat dampak negatif seperti berkembangnya cyberterrorism dan berbagai jenis cybercrime. Sedapat mungkin kepolisian melindungi penggunanya, bukan pada jumlah orang yang ditangkap karena dugaan penyalahgunaan. Selama ini, kata Wahyu, muncul banyak gugatan dari publik terutama terhadap tindakan kepolisian yang dinilai mengkriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression) dalam medium internet.

Hal itu akibat ketidakjelasan legislasi kejahatan siber di Indonesia yang mencampuradukan antara cyber enabled crime dan cyber dependent crime. Dalam implementasinya kerap multitafsir dan problematis. Karenanya, penting bagi kepolisian ke depan untuk menyiapkan sejumlah panduan teknis yang detail dalam penanganan kejahatan berbasis digital.

“Termasuk di dalamnya potensi eksploitasi secara melawan hukum terhadap data pribadi seseorang,” katanya.

Tags:

Berita Terkait