Beragam Sebab Program JKN Alami Defisit
Terbaru

Beragam Sebab Program JKN Alami Defisit

Mulai dari kebijakan, operasional/tata kelola manajemen klaim, hingga ketidakpatuhan peserta dalam membayar iuran.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Salah satu kantor layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol
Salah satu kantor layanan BPJS Kesehatan. Foto: Hol

Menjalankan program jaminan sosial sebagaimana mandat konstitusi ternyata tidak mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapi badan penyelengara jaminan sosial (BPJS) dalam melaksanakan program jaminan sosial antara lain program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sejak 2014 lalu.

Persoalan yang kerap dihadapi BPJS Kesehatan dalam mengelola program JKN, salah satunya seperti ketidakseimbangan antara besaran pemasukan dan pengeluaran iuran/biaya layanan kesehatan. Pembiayaan program ini lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan yang menyebabkan JKN kerap menghadapi persoalan defisit.

Anggota DJSN, Asih Eka Putri, menilai defisit yang dialami program JKN sudah diprediksi sejak awal program ini berjalan. Dia mencatat setidaknya ada 3 hal yang menjadi sebab program JKN kerap mengalami defisit. Pertama, terkait kebijakan yang dipilih pemerintah dimana besaran iuran yang ditetapkan di bawah perhitungan aktuaria. Akibatnya, pemasukan yang diterima BPJS Kesehatan tidak mampu memenuhi belanja program JKN.

“Iuran yang ditetapkan besarannya di bawah perhitungan atau proyeksi yang disusun DJSN,” kata Asih dalam webinar bertema “Keadilan dalam Pembiayaan Kesehatan, Kamis (21/10/2021) lalu. (Baca Juga: DJSN: Ada 7 Capaian dan Tantangan Program JKN)  

Kedua, operasional BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan iuran. Asih melihat hal ini terkait kedewasaan lembaga BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan iuran JKN. Mengingat kondisi geografis yang beragam serta kemampuan finansial penduduk yang variatif, tergolong menyulitkan BPJS Kesehatan dalam menarik iuran peserta. “Ada juga persoalan dimana perusahaan hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan.”

Ketiga, kepatuhan peserta dalam membayar iuran. Menurut Asih, masih ada peserta yang belum rutin menunaikan kewajiban membayar iuran. Penegakan hukum yang dilakukan selama ini belum represif karena masih dalam tahap edukasi dan sosialisasi program jaminan sosial.

Guna menyikapi persoalan itu, Asih menegaskan upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah defisit JKN yakni dengan menggunakan dana kontingensi sebagaimana dimandatkan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). “Persoalan defisit ini jangan dialamatkan pada fasilitas kesehatan, misalnya dengan menggunakan instrumen Supply Chain Financing (SCF). Instrumen itu lebih tepat digunakan dalam urusan bisnis biasa, bukan untuk mekanisme program jaminan sosial.”

Kepala Bidang Program Analisis Kebijakan Pusat Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Ronald Yusuf, mengatakan penyesuaian kebijakan dilakukan dengan berbasis bukti. Dalam melakukan penyesuaian kebijakan itu pemerintah melibatkan banyak pihak seperti akademisi dan praktisi.

“Apakah defisit JKN itu karena pemasukan kurang atau pengeluaran yang berlebih? Saya rasa keduanya terkait,” ujarnya.

Ronald mengingatkan tahun 2018 berdasarkan permintaan Menteri Keuangan, pemerintah pernah melakukan audit melalui BPKP. Semua provider yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan diaudit untuk mencari akar masalah defisit JKN. Hasilnya ditemukan ada masalah kurangnya besaran iuran, belanja yang kurang wajar, dan tingkat kepatuhan, serta tata kelola seperti manajemen klaim.

Dia juga mengungkapkan alasan kenapa pemerintah tidak menetapkan iuran JKN sesuai usulan DJSN. Salah satu alasannya karena pemerintah melihat kemampuan masyarakat dalam membayar iuran. Kendati besaran iuran yang diusulkan DJSN sudah sesuai perhitungan, tapi pemerintah khawatir masyarakat tidak mampu membayar.

“Oleh karena itu, pemerintah setiap tahun menyiapkan dana cadangan yang dialokasikan dari APBN untuk menutup defisit JKN yang sudah diprediksi,” katanya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof Ali Ghufron Mukti, mengatakan BPJS Kesehatan saat ini bersyukur karena keuangannya relatif positif. Tercatat per 31 Desember 2020 Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan memiliki saldo kas sebesar Rp18,7 triliun. Defisit terjadi ketika pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang.

“Kami sedang memikirkan inovasi pendanaan, misalnya melalui masyarakat peduli JKN, seperti filantropi dan sebagainya,” urainya.

Untuk meningkatkan pemasukan, Ghufron mengatakan banyak hal bisa dilakukan, misalnya untuk saat ini batas upah yang digunakan untuk membayar iuran JKN naik dari Rp8 juta menjadi Rp12 juta. Tapi faktanya tidak sedikit masyarakat yang mendapat upah di atas Rp12 juta per bulan. Begitu juga dengan pajak rokok, bisa digunakan untuk meningkatkan pemasukan BPJS Kesehatan.

Tags:

Berita Terkait