Beragam Persoalan Pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP
Utama

Beragam Persoalan Pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP

Kalau pendekatan memakai Pasal 53 RKUHP, maka korupsi korporasi pertanggungjawabannya akan sulit terhadap korporasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Seminar publik bertajuk 'Menelaah Pengaturan Tipikor dalam RKUHP', Senin (24/6) di Jakarta. Foto: RFQ
Seminar publik bertajuk 'Menelaah Pengaturan Tipikor dalam RKUHP', Senin (24/6) di Jakarta. Foto: RFQ

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) DPR terus membahas bersama pemerintah. Meski menyisakan waktu tiga bulan, DPR berencana bakal mengesahkan RKUHP sebelum berakhirnya masa periode DPR periode 2014-2019. Namun, substansi RKUHP menuai kritik karena dinilai masih menimbulkan masalah terkait pemidanaan terhadap korporasi, khususnya terhadap perkara korupsi.

 

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) Siska Trisia mengatakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi diatur Pasal 52 sampai dengan Pasal 57 RKUHP. Namun, keenam pasal tersebut mengandung masalah dalam rumusannya. Misalnya, Pasal 52 RKUHP yang intinya menegaskan konsekuensi korporasi sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan tanggung jawab dalam lintas hukum pidana.

 

“Pasal 52 memberi gambaran terkait cakupan bisnis perusahaan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana,” ujar Siska dalam sebuah seminar publik di Jakarta, Senin (24/6/2019). Baca Juga: Pertama Kali, KPK Gunakan TPPU untuk Menjerat Korporasi

 

Dalam Pasal 53 RKUHP disebutkan tentang definisi tindak pidana korporasi. Namun, pasal tersebut justru mempersempit ruang lingkup konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Sebab, pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dibatasi pada identification theory. Artinya, perbuatan dapat didistribusikan sebagai kesalahan korporasi hanya apabila perbuatan itu dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan fungsional dalam struktur kepengurusan dalam korporasi tersebut.  

 

“Padahal praktiknya seringkali tindak pidana untuk dan atas nama korporasi dilakukan oleh pegawai rendahan,” sebutnya.

 

Sedangkan Pasal 54, persoalannya terdapat dalam ayat (2) huruf b yang menyebutkan, “bersifat langsung berkaitan lingkup usaha atau kegiatan korporasi dan diterima sebagai kebijakan korporasi”. Menurut Siska, semestinya Tim Perumus RKUHP tak perlu mendetilkan hubungan yang bersifat langsung antara kejahatan dan keuntungan dari kejahatan itu dalam lingkup dan kegiatan korporasi. Pengaturan ini dinilainya berlebihan, bahkan menyulitkan pembuktian unsur-unsur delik yang esensial.

 

“Pasal ini juga tidak memberi tolak ukur atau indikator yang jelas terkait perbuatan seperti apa yang dapat diterima sebagai kebijakan korporasi,” kritiknya.

 

Siska melanjutkan, dalam Pasal 55 intinya mengatur penjatuhan pidana terhadap korporasi terhadap beberapa subjek. Seperti, korporasi dan/atau pengurusnya, pemberi perintah, atau pemegang kendali korporasi. “Menjadi sorotan, adanya tumpang tindih dan kerancuan terkait siapa yang bertanggung jawab atas perbuatan yang mana?”

 

Menurutnya, Pasal 55 RKHUP ini seolah-olah membuat konsep pertanggungjawaban korporasi dan pengurus korporasi sebagai suatu hal yang interchangeable. Baginya, hal tersebut salah kaprah karena prinsip dan justifikasi pertanggungjawaban korporasi dengan pertanggungjawaban pengurus merupakan hal berbeda.

 

“Memintakan pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus yang belum tentu mengetahui tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya, sama saja mempidanakan pengurus tanpa adanya kesalahan dan telah melanggar prinsip ‘tiada pidana tanpa kesalahan’,” bebernya.

 

Sementara materi muatan Pasal 56 RKUHP terdapat rumusan yang terlalu rumit dan sulit dipahami. Pasal ini menyebutkan, Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama Korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi yang bersang­kutan atau jika perbuatan tersebut dilakukan di luar lingkup usaha atau kegiatan yang menguntungkan atau dilakukan demi kepentingan Korporasi.”

 

Bagi Siska, pengaturan Pasal 56 RKUHP tak hanya bertentangan dengan materi yang diaturnya, tetapi juga nyata-nyata tidak berkesesuaian dengan Pasal 53. Pasal 53 menyebutkan, Tindak Pidana oleh Korporasi adalah Tindak Pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.”

 

“Pengaturan yang kontradiktif bakal berdampak pada kesalahan penerapan hukum dalam praktik dan akan berujung pada munculnya ketidakpastian hukum terhadap pengaturan yang multitafsir. Tapi, tak semua hal dalam Pasal 56 bertentangan dengan Pasal 53 RKUHP,” kata dia.

 

Kemudian Pasal 57 RKUHP terkait alasan penghapusan pidana korporasi. Menurutnya, yang menjadi persoalan konsep alasan-alasan penghapus pidana bagi subjek individu yang tidak dapat diberlakukan secara otomatis pada subjek korporasi. Semestinya, UU lebih mempertegas  alasan peniadaan pidana bagi korporasi. Misalnya, beberapa defence (pembelaan/alasan meringankan) bagi korporasi yang dituduh melakukan tindak pidana.

 

Unsur delik korupsi dimasukkan

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Chandra Marta Hamzah mengatakan pertanggungjawaban pidana korporasi menyangkut kewenangan aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masuk dalam draf RKUHP. Namun, rumusan pidana korporasi dalam RKUHP itu menimbulkan masalah karena tidak memasukkan unsur delik korupsinya.    

 

Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi telah diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal itu mengatur kerugian keuangan negara yang disebabkan antara lain tindakan dari suatu korporasi.

 

“Bila pengaturan pertanggungjawaban korporasi dimasukkan ke dalam RKUHP, maka idealnya mesti dimasukkan secara keseluruhan unsur delik korupsi yang ada dalam UU 31/1999,” kata Chandra M Hamzah dalam kesempatan yang sama.

 

Pasal 2

(1)“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2)Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Pasal 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

 

Chandra mengatakan bila isi pasal korupsi hanya dimasukkan sebagian akan menjadi sulit ketika menerapkan kedua pasal korupsi tersebut. Karena itu, rumusan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi (dalam perkara korupsi) rumusannya cukup dengan menggunakan frasa ”menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.

 

Di tempat yang sama, Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang menilai korupsi masih dipandang sebagai kejahatan serius, maka perlu adanya pemberatan hukuman bagi pelaku korupsi termasuk korupsi yang dilakukan korporasi. Apalagi, saat ini pidana korporasi banyak ditangani para penegak hukum.

 

Menurutnya, pendekatan melalui instrumen hukum masih terbilang fleksibel sebagaimana tertuang dalam Pasal 53 RKUHP. Penegak hukum dapat mengejar pertanggungjawaban korporasi sepanjang terdapat orang yang melakukan korupsi. Hal tersebut ujungnya malah menyulitkan penegak hukum menjerat pertangggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi.

 

“Kalau pendekatan pakai Pasal 53, maka korupsi korporasi pertanggungjawabannya akan sulit terhadap korporasi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait