Beragam Kritik atas SKB Penanganan Radikalisme ASN
Utama

Beragam Kritik atas SKB Penanganan Radikalisme ASN

Mulai definisi radikalisme tidak kongkrit; berpotensi membungkam perlawanan rasional ASN terhadap praktik dan manifestasi korup para politisi; seolah meniadakan otoritas yang ada; hingga portal pengaduan ASN rentan fitnah dan dapat berujung sanksi tanpa memberi ruang bagi ASN memberi klarifikasi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang Penanganan Radikalisme Dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Pada Aparatur Sipil Negara. SKB ini diteken 6 Menteri dan 5 Kepala Badan/Komisi yakni Menpan dan RB, Mendagri, Menkumham, Menteri Agama, Mendikbud, Menkominfo, Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BKN, Kepala BPIP, Ketua Komisi ASN.

 

Dalam konsideran, SKB ini untuk menindaklanjuti pengaduan terhadap ASN terkait komitmen kebangsaannya dan tindakan radikalisme. SKB ini memuat 6 poin. Pertama, membangun sinergitas dan koordinasi kementerian/lembaga dalam rangka penanganan tindakan radikalisme ASN. Kedua, membentuk tim satuan tugas (satgas) dalam rangka penanganan tindakan radikalisme ASN yang meliputi intoleran, anti ideologi Pancasila, anti NKRI, dan menyebabkan disintegrasi bangsa. Ketiga, tim satgas terdiri lintas kementerian/lembaga.

 

Keempat, SKB ini mengatur tugas satgas yakni menerima laporan masyarakat lewat portal aduan ASN dengan domain aduanasn.id. Kemudian menindaklanjuti pengaduan yang masuk melalui portal tersebut yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika. Satgas juga bertugas memberi rekomendasi penanganan laporan kepada PPK/PyB yang tembusannya disampaikan kepada Kemenpan RB, Kemendagri, Badan Kepegawaian Negara, dan Komisi ASN.

 

Kelima, ada 11 jenis sikap/tindakan pelanggaran dalam SKB yang dapat diadukan ke portal pengaduan: 

Hukumonline.com

 

Keenam, atasan ASN diperintahkan untuk melakukan pencegahan, pengawasan dan penjatuhan sanksi. “PPK/PyB dan setiap atasan langsung ASN pada instansi pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan pencegahan, pembinaan, pengawasan, dan penjatuhan sanksi terhadap perilaku radikalisme ASN sebagai bentuk optimalisasi pengawasan,” begitu kutipan poin keenam SKB ini. Baca Juga: Cegah Radikalisme, Ini Jenis Tindakan yang ‘Haram’ Dilakukan ASN  

 

Rawan disalahgunakan

Dimintai tanggapannya, Direktur Lokataru Haris Azhar menilai cantolan hukum SKB ini tidak kuat karena berbagai aturan yang digunakan hanya regulasi tingkat kementerian dan lembaga/badan yang meneken SKB itu. Hal itu menunjukan isu radikalisme tidak memiliki definisi yang kongkrit, sehingga rawan disalahgunakan pemerintah.

 

Haris heran kenapa SKB hanya menyasar ASN? Dia menduga karena ASN yang bekerja di lapangan mengetahui kelemahan dan cacat kebijakan yang dipraktikkan politisi. Misalnya, kebijakan yang diterbitkan itu tidak sesuai rencana logika pembangunan yang ideal, sehingga terjadi banyak manipulasi kelompok politisi yang posisinya sebagai penguasa terhadap para ASN.

 

“Saya punya pengalaman mendampingi dan bertemu dengan ASN yang dipecat oleh atasan mereka karena menolak tunduk pada para politisi atau ada permainan kotor di dalam institusi tersebut,” kata Haris ketika dikonfirmasi, Selasa (26/11/2019).

 

Haris melihat kritik ASN kerap muncul di berbagai ruang publik dan ini kemudian dibaca sebagai radikal oleh pemerintah. SKB ini juga berpotensi digunakan untuk membungkam perlawanan rasional ASN terhadap praktik dan manifestasi korup para politisi.

 

Dari sisi mekanisme, SKB ini bagi Haris seolah hendak meniadakan otoritas yang ada seperti Ombudsman RI, inspektorat jenderal di setiap kementerian/lembaga, dan Komisi ASN dengan cara membuat portal pengaduan dan bisa mengambil tindakan sepihak.

 

Menurut Haris, mekanisme pengaduan ini rentan fitnah dan dapat berujung sanksi. Sementara tidak ada ketentuan dalam SKB ini yang memberi ruang bagi ASN untuk memberi klarifikasi. “Ini seperti zaman ‘65, tuduhan yang membunuh kapasitas seseorang. Labeling! Situasi SKB ini ke depan menghancurkan bangunan rule of law dan konsep HAM yang diperjuangkan dalam konstitusi,” kritiknya.

 

Haris meminta pimpinan kementerian dan lembaga justru menunjukan kualitasnya untuk memastikan kesejahteraan serta keadilan bersama bagi para ASN. Menurutnya, para ASN harus diposisikan sebagai mitra, sehingga mereka memiliki sense of belonging bagi institusi dan programnya, bukan malah menakut-nakuti dengan label radikal seperti ini.

 

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menilai aturan seperti ini diperlukan karena ASN itu alat politik negara. Sebagai alat politik Negara, ASN harus menjalankan ideologi politik negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meski demikian, Beka mengingatkan agar pelaksanaan SKB ini jangan sampai represif dan tidak disalahgunakan. Meski SKB ini sifatnya mengatur internal, Beka mendorong masyarakat aktif mengawasi pelaksanaannya.

 

Beka berpendapat pelaksanaan SKB ini harus diawasi secara ketat, misalnya membuka ruang untuk kritik dan pengaduan atas dugaan penyalahgunaan praktik SKB ini. Jika ada ASN yang terjerat SKB ini, harus ada proses verifikasi dan klarifikasi dari ASN yang bersangkutan. Penjatuhan sanksi harus detail dan tidak rentan disalahgunakan.

 

“Jangan karena politik birokrasi, SKB ini disalahgunakan dan pelaksanaannya subjektif, jadinya like and dislike,” ujar Beka ketika dihubungi, Selasa (26/11/2019).

Tags:

Berita Terkait