Beragam Alasan GBHN Tidak Relevan Lagi
Utama

Beragam Alasan GBHN Tidak Relevan Lagi

Karena tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang dianut saat ini terutama sistem pemerintahan presidensial.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR. Foto: RES
Gedung MPR/DPR. Foto: RES

Wacana amandemen UUD RI 1945 kembali disuarakan sejumlah elit poltiik di Senayan. Dari berbagai pemberitaan di media, amandemen UUD RI 1945 ini salah satunya ditujukan untuk memperkuat MPR dan memberlakukan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Wacana itu menuai kritik dari sejumlah kalangan, antara lain dari masyarakat sipil dan akademisi.

 

Dosen STHI Jentera Bivitri Susanti menilai amandemen konstitusi yang terjadi di era reformasi karena ada kebutuhan dan tuntutan rakyat. Tapi untuk saat ini, dia menilai tuntutan amandemen itu lahir dari segelintir elit politik. Perempuan yang disapa Bibip itu menegaskan tidak ada urgensinya mengamandemen konstitusi jika tujuannya hanya memberlakukan kembali GBHN dan memperkuat MPR.

 

Dia memaparkan sedikitnya ada empat alasan kenapa GBHN tidak diperlukan lagi untuk kondisi saat ini. Pertama, GBHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini. Dia menerangkan sebelum amandemen UUD RI 1945, GBHN merupakan mandat MPR untuk presiden karena sistem yang berlaku ketika itu presiden dipilih oleh MPR. Namun, sejak Pemilu 2004, presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat.

 

Karena itu, Bibip menilai tidak tepat jika GBHN diberlakukan kembali. Ketika posisi presiden sebagai mandataris MPR, maka presiden harus menjalankan kekuasaannya mengacu pada GBHN. Jika tidak menjalankan GBHN, MPR dapat menjatuhkan presiden (impeachment).

 

Salah satu dalih yang digunakan pihak yang mendukung amandemen UUD RI 1945 saat ini yaitu MPR tidak dapat menjatuhkan presiden sekalipun kebijakannya tidak sesuai GBHN, kecuali melanggar konstitusi. Namun, faktanya, kata Bibip, Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR karena dianggap gagal menjalankan GBHN.

 

“Lalu apa fungsinya GBHN jika presiden tidak bisa dijatuhkan ketika dinilai gagal menjalankannya?” tanya Bibip dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (14/8/2019). Baca Juga: Lima Alasan PSHK Tolak ‘Hidupkan’ GBHN Lewat Amandemen Konstitusi

 

Kedua, haluan negara tidak melulu bentuknya GBHN. Baginya, jika GBHN digulirkan hanya untuk menjaga agar kebijakan presiden tidak berubah-ubah, dinilainya tidak tepat karena sistem yang digunakan sekarang demokrasi. GBHN berlaku di era pemerintahan orde lama karena ketika itu Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin. kemudian di era orde baru pemerintahan Soeharto (Demokrasi Pancasila) cenderung otoriter.

 

“Sekarang rencana pembangunan nasional tertuang dalam sejumlah UU, misalnya UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025,” jelasnya.

 

Bibip menilai rencana pembangunan yang tercantum dalam GBHN sifatnya sangat umum dan mengawang. Berbeda dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan RPJP yang jelas tujuan dan indikator keberhasilannya. RPJMN dan RPJP juga relatif partisipatif, melibatkan masyarakat sampai ke daerah, sementara GBHN hanya dibuat oleh MPR.

 

Ketiga, GBHN tidak akan menyelesaikan persoalan pembangunan. Dia menilai perencanaan pembangunan harusnya mengacu fakta di lapangan dan riset, bukan sekedar ideologis.

 

Keempat, perlu banyak energi dan sumber daya untuk menggulirkan amandemen UUD RI 1945. Energi dan sumber daya itu dirasa tidak sebanding jika amandemen itu hanya menyasar pemberlakuan kembali GBHN.

 

Dia yakin ketika amandemen ini bergulir akan banyak isu lain yang bermunculan (berpolemik) dan amandemen berlanjut pembahasannya setiap tahun. Ketentuan yang selama ini dicabut melalui amandemen di era reformasi dikhawatirkan akan dimasukan kembali, seperti presiden dipilih oleh MPR.

 

Berkembang isu lain

Mantan Peneliti Utama Bidang politik LIPI Mochtar Pabottingi mengatakan ahli Antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz menyebut salah satu penyakit sistem politik Indonesia yakni kebijakan negara tidak pernah ada yang ajeg dan berkelanjutan, selalu bolak-balik. Pandangan Clifford Geertz itu menurut Mochtar terbukti dari wacana amandemen UUD RI 1945 yang digulirkan segelintir elit politik saat ini untuk mengembalikan GBHN dan  memperkuat kewenangan MPR.

 

Menurut Mochtar, ketika amandemen itu berjalan, pasti akan ada isu lain yang diusung selain memberlakukan kembali GBHN. Argumen yang menyatakan GBHN sifatnya visioner dan progresif adalah sebuah ilusi karena selama ini tidak terbukti. Baginya, rencana pembangunan yang digulirkan pemerintah melalui RPJMN dan RPJP lebih kongkrit ketimbang GBHN. “Sangat pandir jika amandemen ini mengembalikan GBHN dan masa jabatan presiden bisa seumur hidup,” tegasnya.

 

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari mengingatkan harus ada alasan yang kuat dan jelas untuk mengamandemen konstitusi. Sekitar tahun 2002, MPR menerbitkan TAP MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi. Komisi ini dibentuk karena amandemen UUD RI 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 kali dirasa perlu dikaji dan diamandemen kembali. Hasil Komisi Konstitusi ini, menurut Feri berupa naskah amandemen kelima dan tidak pernah dibahas MPR.

 

Alih-alih melanjutkan pembahasan naskah amandemen kelima itu, kata Feri, sejumlah elit politik malah mengangkat isu baru terkait amandemen konstitusi yang menyasar GBHN. Menurut Feri, rencana amandemen untuk memberlakukan kembali GBHN itu tidak sejalan dengan komitmen bernegara, antara lain membangun sistem pemerintahan presidensial yang kuat.

 

Melalui wacana ini, Feri melihat ada keinginan dari pemimpin partai politik untuk memiliki kekuasaan di MPR atau “mengendalikan Presiden” melalui GBHN. Jika GBHN berlaku, maka presiden akan dikoreksi oleh MPR, apakah menjalankan GBHN atau tidak. Kemudian presiden juga dikoreksi oleh DPR, apakah telah menjalankan UU atau tidak.

 

Untuk saat ini, kata Feri, tidak ada urgensi untuk membentuk dan memberlakukan GBHN karena arah pembangunan nasional sudah tertuang dalam konstitusi dan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Ketimbang amandemen UUD RI 1945 untuk mengembalikan GBHN, Feri mengusulkan lebih baik DPR fokus terhadap fungsinya di bidang legislasi dan pengawasan. Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dibenahi dalam konstitusi, misalnya memperkuat DPD, KPU, dan KY.

 

Hal lain yang dikhawatirkan Feri, amandemen ini akan menyasar isu lain, misalnya mengembalikan fungsi MPR untuk memilih presiden. Ruang gerak presiden akan terbatas jika posisinya sebagai mandataris MPR. Beda dengan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung membuat pemerintah percaya diri untuk menerbitkan kebijakan karena mendapat legitimasi dari rakyat.

 

“Jika MPR punya kewenangan menetapkan GBHN (lagi), maka peran partai politik sangat menentukan,” katanya.

 

Agenda terselubung

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan wacana amandemen UUD RI 1945 untuk mengembalikan GBHN merupakan agenda terselubung. Amandemen ini akan membuka kotak pandora dan membuat isu lain masuk. “Awalnya isu GBHN, lalu amandemen, MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan pemilihan presiden tidak langsung. GBHN bukan isu sentral, tapi hanya isu pembuka,” paparnya.

 

Veri menegaskan sejumlah gagasan itu tidak layak diperdebatkan lagi karena sudah usang. Paling penting soal pembangunan berkelanjutan terkait upaya yang telah dilakukan pemerintah, pengawasan, komitmen, transparansi dan akuntabilitas.

 

Peneliti PSHK Agil Oktaryal mencatat upaya MPR untuk mengembalikan GBHN sudah bergulir dengan terbitnya Keputusan MPR No.4 Tahun 2014 yang intinya merekomendasikan MPR periode saat ini untuk menyusun sejumlah hal, salah satunya menghidupkan kembali GBHN. Dalam rangka menjalankan rekomendasi itu MPR telah membentuk Badan Pengkajian MPR yang diketuai Bambang Sadono.

 

Selain menghidupkan GBHN, Agil melihat hasil kajian itu merekomendasikan agar MPR diposisikan kembali sebagai lembaga tertinggi, memiliki kewenangan untuk menerbitkan ketetapan yang mengatur dan memilih presiden. “Ini berbahaya karena melemahkan sistem presidensial dan kembali ke era sistem parlementer,” katanya.

Tags:

Berita Terkait