Benang Kusut Pro Bono Advokat, Pro Deo Pengadilan, dan Bantuan Hukum Pemerintah
Utama

Benang Kusut Pro Bono Advokat, Pro Deo Pengadilan, dan Bantuan Hukum Pemerintah

Sama-sama gratis dan hanya untuk orang miskin, namun beda penilaiannya.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi pro bono yang diselenggarakan di Jakarta, 9 Juli lalu. Foto: EdwinJakarta
Suasana diskusi pro bono yang diselenggarakan di Jakarta, 9 Juli lalu. Foto: EdwinJakarta

Pro bono, pro deo, dan bantuan hukum secara cuma-cuma kerap kali dianggap sama oleh masyarakat. Kalangan praktisi hukum pun sering tidak bisa membedakannya dengan jelas. Apalagi melaksanakannya secara tepat untuk pihak yang berhak. Persoalan ini menjadi diskusi serius dalam merumuskan panduan pro bono advokat yang diselenggarakan The Asia Foundation dan Hukumonline, Selasa (9/7) lalu.

Para peserta diskusi terarah mengungkapkan setidaknya ada tiga undang-undang yang menyebutkan soal pemberian bantuan hukum secara gratis. Pertama, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 56 KUHAP mengatur soal bantuan hukum secara cuma-cuma bagi kalangan tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau lebih berat.

Bantuan tersebut diberikan oleh penasihat hukum atas dasar penunjukkan pejabat di tingkat penyidikan atau pengadilan. KUHAP memberikan definisi  penasihat hukum sebagai seorang yang memenuhi syarat atas dasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Belum dikenal istilah advokat dalam KUHAP saat itu.

Kedua, Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang menyebutkan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kewajiban profesi ini melekat pada setiap individu advokat.

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (PP Bantuan Hukum Cuma-cuma). Selain itu Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga menerbitkan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

Ketiga, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Undang-undang ini hadir atas dasar tanggung jawab negara memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang miskin. Tujuannya sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP Bantuan Hukum).

Ketiga undang-undang ini ternyata tidak semuanya menjadi landasan soal pro bono advokat. Saor Siagian, salah satu pengurus Peradi ‘Rumah Bersama Advokat’ menekankan bahwa pro bono adalah bantuan hukum gratis dari advokat secara murni tanpa didanai oleh pemerintah. Ia membedakan bantuan hukum dalam KUHAP dan UU Bantuan Hukum karena ada pendanaan dari pemerintah untuk advokat yang terlibat memberikan jasa hukum.

Peserta diskusi lainnya, Asep Ridwan, menyampaikan pendapat yang sama. “Dalam pemahaman kami, pro bono memang tidak ada bayaran sepeser pun. Ini bagian dari kewajiban moral,” kata Partner di firma Assegaf Hamzah & Partners ini.

(Baca juga: Perbedaan Pro Bono dengan Bantuan Hukum (Legal Aid)).

Rezim UU Bantuan Hukum yang mengatur pendanaan pemerintah pada bantuan hukum gratis menjadi salah satu poin diskusi. Sebagian peserta merasa konsep pro bono sebagai tanggung jawab profesi advokat menjadi campur aduk dengan konsep bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara.

Pro bono, pro deo, legal aid

Kata pro bono atau secara lengkap pro bono publico berasal dari Bahasa Latin yang artinya for the public good (untuk kepentingan masyarakat umum). Penjelasan ini ditemukan dalam laman Black's Law Dictionary Free Online Legal Dictionary.

Deklarasi Internasional tentang pro bono yang digagas oleh International Bar Association pada 16 Oktober 2008 menyatakan hal serupa: "Pro bono is derived from the Latin phrase pro bono publico, which refers to work or actions carried out for the public good".

Istilah pro bono publico memiliki makna sebagai sebuah penyediaan layanan yang cuma-cuma/gratis untuk kepentingan umum/publik. Kamus Besar Bahasa Indonesia daring pun telah memuat lema pro bono publico dengan makna untuk untuk kebaikan umum.

Sementara itu, bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara dianggap berasal dari konsep legal aid. Penjelasan soal itu ditemukan masih dalam laman Black's Law Dictionary Free Online Legal Dictionary, edisi kedua. "Free or inexpensive advice, assistance, or representation concerning the law. Given to those cannot afford it, based on jurisdictional criteria".

Berbeda dari pro bono, pemberian bantuan hukum menekankan kriteria berdasarkan regulasi di masing-masing yurisdiksi. Itu sebabnya ada pendanaan dari pemerintah dalam pelaksanaan bantuan hukum. Sementara itu pro bono sebagai kewajiban profesi advokat cukup memperhatikan adanya kepentingan masyarakat umum untuk dibantu.

Masih ada satu konsep lagi yang muncul dalam diskusi soal bantuan hukum secara gratis. Para peserta dari kalangan hakim membedakan konsep pro deo yang saat ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.

Selain advokat dan staf Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, hadir pula Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. “Pro deo itu membebaskan biaya perkara untuk masyarakat tidak mampu, dengan surat keterangan tidak mampu dari pejabat berwenang,” kata Syahlan, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, kepada hukumonline.

Lema pro deo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merujuk kata serapan dari bahasa latin yang berarti untuk Tuhan; dengan cuma-cuma; gratis. Perma No. 1 Tahun 2014  tersebut tidak menggunakan istilah bantuan hukum secara cuma-cuma. Namun intinya menyediakan layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu secara gratis.

Pasal 6 Perma No.1 Tahun 2014 menyatakan seluruh biaya layanan dibebankan pada negara melalui anggaran Mahkamah Agung. Selain itu, layanan hukum tersebut ternyata tidak hanya pembebasan biaya perkara. Ada layanan posbakum yang tersedia di setiap pengadilan.

Pasal 29 Perma tersebut menyebutkan bahwa Pengadilan memberikan imbal jasa untuk advokat yang bekerja di posbakum. Tugasnya adalah memberikan informasi, konsultasi, dan nasehat hukum. Termasuk pula pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan masyarakat tidak mampu  dalam berperkara.

Mengacu pengaturan tersebut, ternyata advokat pun terlibat dalam membantu masyarakat tidak mampu yang sedang berperkara di pengadilan lewat posbakum. Hanya saja mereka mendapatkan imbal jasa yang dibayarkan oleh pengadilan dari anggaran Mahkamah Agung.

Draft panduan pro bono yang didiskusikan berusaha mengusulkan secara jelas kriteria pro bono yang dilakukan advokat. Pertama, aktivitas pro bono meliputi seluruh wilayah kegiatan pelayanan hukum. Artinya tidak terbatas pada mewakili kepentingan klien dalam proses peradilan, tetapi meliputi seluruh urusan hukum bekerja.

Mulai dari penelitian hukum, pendidikan hukum, legislasi hukum  atau pemberdayaan hukum bisa diakui sebagai bentuk pro bono. Dalam hal ini advokat pro bono dapat mengambil perannya dari hulu hingga ke hilir sepanjang hukum itu sendiri bekerja.

(Baca juga: Syarat untuk Memperoleh Bantuan Hukum).

Kedua, ada beberapa kondisi yang diusulkan tidak dapat dihitung sebagai pro bono. Misalnya memberikan bantuan hukum kepada orang lain secara gratis tanpa mengukur kondisi kemiskinan penerima atau apakah perkaranya berdampak pada kepentingan umum.

Pelayanan jasa hukum yang masih menerima imbal jasa apapun juga dianggap bukan pro bono. Apalagi jika bantuan hukum dibiayai oleh negara. Bahkan advokat yang berdonasi untuk membiayai kegiatan pro bono pun dianggap bukan sedang melakukan pro bono.

Tags:

Berita Terkait