Benang Kusut Istilah ‘Korporasi’ dalam Regulasi Perlu Segera Diluruskan
Utama

Benang Kusut Istilah ‘Korporasi’ dalam Regulasi Perlu Segera Diluruskan

Tidak nyaman bagi dunia bisnis dan rentan salah sasaran menjatuhkan hukuman pidana.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Bagi Gandjar, luasnya kriteria soal pemidanaan korporasi adalah upaya hukum pidana untuk menjangkau sejauh mungkin pelaku kajahatan sebenarnya. Meskipun tujuan utamanya merampas hasil kejahatan berupa harta kekayaan dalam tindak pidana di bidang perekonomian. “Sengaja dibuat seluas itu,” ujarnya.

Gandjar sepakat bahwa tindak pidana korporasi harusnya fokus merampas hasil kejahatan berupa harta kekayaan yang diperoleh korporasi. “Kecuali orangnya (pengurus)  sengaja ikut mengambil keuntungan,” katanya dalam forum diskusi.

Pendapat ini berseberangan dengan Ibrahim Senen, Of Counsel di firma hukum Armand Yapsunto Muharamsyah & Partners (AYMP). Ibrahim yang telah lama bergelut dalam profesi corporate lawyer melihat definisi korporasi butuh segera diselaraskan. “Menimbulkan kerancuan saat orang tidak bisa membedakan kewenangan dan tanggung jawab,” katanya yang juga menjadi narasumber diskusi.

(Baca juga: Pertama Kali, KPK Gunakan TPPU untuk Menjerat Korporasi).

Secara khusus Ibrahim menyoroti definisi korporasi sangat berkaitan dengan kenyamanan berbisnis oleh pelaku usaha. “Khususnya investor asing, kalau bisa diterjemahkan macam-macam akan mengkhawatirkan dalam hal kepastian. Kalau saya pemegang saham lalu tiba-tiba bisa ikut dipidana itu bagaimana?,” katanya mencontohkan.

Ia merujuk perdebatan mengenai siapa saja yang bisa diminta bertanggung jawab atas tindak pidana korporasi. Ibrahim menilai ada sudut pandang yang tidak harmonis antara hukum pidana dan hukum perdata dalam mendudukkan hakikat korporasi beserta tanggung jawab pengurusnya.

Ibrahim secara khusus menyoroti definisi korporasi dalam salah satu regulasi terkini yaitu Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini diduga membuat lingkup definisi korporasi kian tumpang tindih dengan yang ada dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

Ia mengaku heran bahwa Perma tersebut memasukkan pihak ‘ajaib’ sebagai bagian dari pengurus korporasi yang bisa dipidana. Pasal 1 angka 10 Perma Tindak Pidana Korporasi menyebutnya mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan namun dalam kenyataannya dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi. “Kalau bisa dijabarkan dengan baik soal kepastian dan batasannya, clear, saya rasa hal yang baik. Tugas pembuat undang-undang untuk melakukan harmonisasi,” usul Ibrahim.

Tags:

Berita Terkait