Benahi Dulu Pelayanan BPJS Kesehatan, Baru Bicara Kenaikan Iuran
Berita

Benahi Dulu Pelayanan BPJS Kesehatan, Baru Bicara Kenaikan Iuran

Sekalipun Perpres 19/2016 bakal diterapkan, pemerintah semestinya menelisik kemampuan ekonomi masyarakat kebanyakan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pemberlakukan Peraturan Presiden (Perpres) No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan tinggal menungu hitungan hari. Pemerintah berencana menaikan iuran tarif BPJS Kesehatan mulai 1 April mendatang. Namun di lain sisi banyaknya kekurangan dalam aspek pelayanan dan sarana prasarana mengakibatkan desakan agar pemerintah menunda kebijakan menaikan tariff iuran BPJS Kesehatan.

“Kami minta Perpres ini ditunda, mudah-mudahan saja tidak jadi,” ujar anggota Komisi IX Muhammad Iqbal dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Kamis (24/3).

Menurutnya, sejak program BPJS diluncurkan dua tahun silam, acapkali menemui berbagai kendala dalam praktik di lapangan. Terlebih, BPJS belakangan dikabarnya mengalami defisit anggaran. Terlepas menaikan iuran BPJS bagi peserta mandiri, pemerintah mesti memperbaiki berbagai sarana dan prasarana di rumah sakit. Begitu pula dengan sistem pelayanan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di rumah sakit.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan, dalam Perpres 19/2016 memang mengatur nominal iuran BPJS Kesehatan bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja. Pasal itu pun diminta Iqbal agar direvisi terlebih dahulu oleh pemerintah sebelum diberlakukan kepada masyarakat. Sekali pun Perpres tersebut bakal diterapkan, pemerintah semestinya menelisik kemampuan ekonomi masyarakat kebanyakan. “Pertanyaanya, kenapa semua kelas itu dinaikan. Kenapa tidak hanya kelas 1 saja,” ujarnya.

Pasal 16 F ayat (1) Perpres 19/2016 menyebutkan, Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja: a. sebesar Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. sebesar Rp 51.000,00 (lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II. c. sebesar Rp 80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I”.Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Ketentuan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 April 2016”.

Koordinator BPJS Watch Indra Munazwar berpandangan, Perpres 19/2016 melanggar asas keadilan. Pasalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan pun diberlakukan terhadap mereka peserta bukan pekerja. Menurutnya, peserta bukan pekerja boleh jadi tak memiliki pekerjaan formal. Misalnya pedagang bakso dan pengemudi becak. Dia berpendapat, menjadi tidak adil ketika peserta pekerja penerima upah yang disebagian preminya ditangung oleh pemberi kerja sama halnya dinaikan dengan peserta bukan pekerja. “Perpres ini melanggar asas keadilan,” ujarnya.

Di katakan Indra, ratusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum seluruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Ia menilai bila saja seluruh BUMN menjadi peserta BPJS, setidaknya dapat mencegah terjadinya defisit anggaran BPJS. Hal lainnya, pengawasan terhadap rumah sakit. Ia berpandangan masih adanya rumah sakit yang bermain curang dengan tidak memberikan pelayanan maksimal terhadap peserta BPJS.

“Tolong diingatkan pemerintah harus bertanggungjawab terhadap kecurangan-kecurangan rumah sakit. Tanggungjawab terhadap pasien yang tidak dilayani di rumah sakit. Kita minta presiden batalkan Perpres ini, kita akan lawan,” katanya.

Direktur Komunikasi Hukum dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi, berpandangan banyaknya kekurangan dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan menjadi evaluasi bagi pemerintah. Namun begitu, pemerintah terus melakukan perbaikan dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan maksimal terhadap masyarakat. Direksi BPJS Kesehatan teranyar pun berkomitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien agar selamat dan puas. “Mulai pelayanan kesehatan di Puskesmas, klinik hingga rumah sakit,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bayu mengatakan kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan bukan asal semata. Pasalnya, pemerintah telah melakukan kajian dan mendalam selama satu tahun belakangan terakhir. Menurutnya bila tak dinaikan iuran peserta, maka BPJS Kesehatan akan mengalami defisit sebesar Rp9,9 triliun. “Kemudian Perpres 19/2016 sudah dikaji untuk penyesuaian tarif yang ada, itu berdasarkan perhitungan para ahli dan pengalaman sejak 2014 sampai 2016,” imbuhnya.

Banyak keluhan
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris mengatakan, banyaknya peserta BPJS Kesehatan yang mengeluhkan tidak maksimalnya pelayanan di rumah sakit dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, pasien peserta BPJS Kesehatan ketika sakit di malam hari langsung bertandang ke rumah sakit. Pasalnya, puskesmas tempat rujukan tak beroperasi selama 24 jam. “Ketimpangan-ketimpangan pelayanan dan infrastruktur kesehatan seperti ini yang harus segera dibenahi,” ujarnya.

Senator DKI Jakarta ini berpandangan BPJS Kesehatan belum mampu menarik kepesertaan mandiri dari masyarakat secara maksimal. Bahkan, Fahira menilai pemerintah dan BPJS Kesehatan belum memiliki terobosan menarik bagi semua masyarakat di luar penerima bantuan iuran (PBI) untuk menjadi peserta.

Selain itu, kata Fahira, mestinya pemerintah membenahi berbagia aspek dalam pelayanan kesehatan, termasuk audit laporan keuangan penggunaan anggaran kepada publikketimbang menaikan iuran peserta BPJS. “Pemerintah dan BPJS Kesehatan tidak layak menaikan iuran,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait