Belum Ratifikasi Konvensi Apostille 1961, Legalisir Dokumen Bisnis Internasional Masih Berlapis
Utama

Belum Ratifikasi Konvensi Apostille 1961, Legalisir Dokumen Bisnis Internasional Masih Berlapis

Beragam hambatan dan persoalan mesti diusut tuntas dan diselesaikan oleh pemerintah untuk menarik dan mempermudah masuknya investasi, termasuk soal rumitnya prosedur legalisasi dokumen antar Negara untuk keperluan bisnis.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Seminar Pembangunan Hukum Nasional. Foto: HMQ
Seminar Pembangunan Hukum Nasional. Foto: HMQ

Peringkat Easy of Doing Business (EoDB) Indonesia untuk indikator kemudahan transaksi perdagangan lintas Negara memang jauh terpuruk hingga peringkat ke-112. Tidak sampai di situ, berdasarkan laporan BKPM terkait realisasi investasi foreign direct investment (FDI)dalam quarter II 2018, tercatat Indonesia baru berhasil menembus sekitar 42,9% dari target FDI 2018 sebesar Rp477,4 triliun.

 

Beragam hambatan dan persoalan mesti diusut tuntas dan diselesaikan oleh pemerintah untuk menarik dan mempermudah masuknya investasi, termasuk soal rumitnya prosedur legalisasi dokumen antar Negara untuk keperluan bisnis.

 

Seperti diketahui, dokumen-dokumen yang akan digunakan di luar negeri saat ini mesti dilegalisasi oleh notaris/instansi yang berwenang, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan Negara Asing (Negara tempat dokumen akan dipergunakan).

 

Bahkan, Dosen Hukum Perdata Internasional FH Brawijaya, Afifah Kusumadara, menyebut akta notaris sekalipun yang merupakan akta otentik tetap masih harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Afifah mengusulkan agar Indonesia segera meratifikasi The Apostille Convention 1961 on Abolishing the Requirement of Legalization for Foreign Public Documents.

 

Sebagai informasi, Negara peserta (state party) dari Konvensi Apostille 1961 menyepakati penghapusan persyaratan legalisasi diplomatik untuk dokumen-dokumen yang terkategori sebagai dokumen publik asing berdasarkan article 1 Konvensi Apostille. Berikut rincian dokumen-dokumen dimaksud:

 

  1. Dokumen yang berasal dari otoritas/pejabat yang berhubungan dengan pengadilan, termasuk yang berasal dari jaksa penuntut umum, panitera pengadilan atau server proses (“huissier de justice”);
  2. Dokumen administrasi;
  3. Akta notaris;
  4. Sertifikat resmi yang ditempatkan pada dokumen yang ditandatangani oleh orang-orang dalam kapasitas pribadi mereka. Contoh, sertifikat resmi yang mencatat pendaftaran dokumen atau fakta bahwa dokumen itu ada pada tanggal tertentu dan otentikasi tanda tangan notaris.

 

Akibatnya, jika Indonesia tidak menjadi state party dalam Konvensi ini, kata Afifah, dokumen publik apapun bentuknya harus dilegalisir dahulu agar bisa berlaku di Negara tujuan dan proses legalisasi itu berlapis-lapis.

 

Sebaliknya, jika Indonesia menjadi state party maka dokumen publik yang bersangkutan dapat berlaku dengan cukup melampirkan sertifikat atau kertas kecil dengan format tertentu yang menyatakan bahwa dokumen ini asalnya betul dan penandatanganan (keabsahannya) betul dan institusi publik yang mengeluarkan juga betul.

 

“Selanjutnya otomatis akta dokumen publik tersebut bisa langsung berlaku dan diakui di seluruh Negara peserta Konvensi Apostille 1961,” kata Afifah dalam acara Seminar Pembangunan Hukum Nasional, Kamis (18/10) lalu.

 

Hukumonline.com

Sumber: Nevada Secretary of State

 

Kondisi Indonesia saat ini, kata Afifah, hingga Akta Notaris pun tetap harus dilegalisasi sekalipun itu akta otentik dengan kekuatan pembuktian sempurna. Afifah mencontohkan akta notaris yang akan digunakan di Jepang harus dilegalisir oleh perwakilan Negara Jepang di Indonesia, begitupun sebaliknya.

 

(Baca: Demi EoDB, UU Jaminan Fidusia Perlu Direvisi)

 

Sehingga dengan meratifikasi Konvensi Apostile, sambung Afifah, jelas dapat memotong panjangnya proses legalisasi dokumen. Terlebih Konvensi ini tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan asing namun juga menguntungkan pengusaha Indonesia yang akan berdagang dan berinvestasi di Luar Negeri. Dengan terpangkasnya proses legalisasi dokumen itu, Afifah beranggapan percepatan angka trading across border akan meningkat pesat.

 

Hebatnya, kata Afifah, tercatat sebanyak 116 Negara yang hingga saat ini telah meratifikasi Konvensi Apostille termasuk didalamnya Philipine, Jepang, Australia, Jerman dan China. Urgensi meratifikasi Konvensi ini semakin jelas mengingat mayoritas dari Negara-negara peserta Konvensi tersebut merupakan partner dagang Indonesia. Hanya saja, menurut pengamatan Afifah kesadaran Negara-negara ASEAN sangat rendah untuk meratifikasi Konvensi ini termasuk Singapura dan Malaysia.

 

“Setelah saya amati, memang perdagangan intra ASEAN jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang perdagangan dengan Negara di luar ASEAN. Mungkin karena ketidaktertarikan untuk berdagang diantara mereka sendiri sekalipun sudah ada MEA turut menunjang alasan mengapa hanya Philipina yang hingga saat ini telah meratifikasi Konvensi Apostille,” ungkap Afifah.

 

(Baca: Guru Besar FH Unpad: Regulasi Kemudahan Berusaha Harus Disesuaikan dengan Hukum Internasional)

 

Sepakat dengan Afifah, Dosen Hukum Internasional FHUI, Yu Un Oppusungu, menyebut ratifikasi Konvensi Apostille seharusnya memang dapat menunjang kemudahan berusaha, karena dapat memotong jalur administrasi/ birokrasi hukum.

 

Pada gilirannya, jelas akan berdampak pada lebih efektifnya pengurusan soal dokumen-dokumen hukum lintas Negara. Adapun dokumen yang akan terdampak oleh Konvensi Apostille ini, menurut Yu Un, terbatas pada dokumen yang diterbitkan oleh Negara, pemerintah, putusan atau penerapan pengadilan dan akta notaris. “Jadi tidak semua dokumen hukum,” tukas Yu Un.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, ada 2 jenis dokumen yang tidak berlaku dalam Konvensi Apostile menurut article 1 Konvensi Apostille, yakni untuk dokumen yang dieksekusi oleh agen diplomatik/konsuler serta dokumen administrasi yang berhubungan langsung dengan operasi komersial atau bea cukai.

 

Pasca Konvensi, Legalisasi akan Terpusat

Bergabungnya Indonesia sebagai state party, kata Yu Un, tak lantas membuat proses legalisasi dokumen antar Negara menjadi tak ada lagi, namun legalisasi tersebut akan terpusat pada Central Authority (otoritas pusat) masing-masing Negara. Otoritas pusat ini yang akan menjadi lembaga penghubung dengan Otoritas Pusat Negara lain terkait pembubuhan kepastian bahwa dokumen hukum yang mereka butuhkan dari Indonesia sudah benar secara formil menurut hukum Indonesia.

 

Penting dicatat, sambung Yu Un, Konvensi Apostille tidak mengatur tentang keabsahan dokumen, ihwal keabsahan tersebut akan tetap menjadi isu hukum nasional seperti keabsahan suatu akta notaris. Yu Un mencontohkan, akta notaril yang dibuat oleh Notaris X namun Notaris bernama X tersebut ternyata tidak tercatat di Kemenkumham. Disinilah Pusat otoritas masing-masing Negara memainkan peran sebagai filter keabsahan dokumen hukum tersebut.

 

“Otoritas Pusat yang akan memfilter dengan memperhatikan hukum Indonesia terkait jabatan notaris serta kebenaran ada atau tidaknya notaris bernama X itu. Jadi ikut tidaknya Indonesia dalam Konvensi Apostille tidak dapat mengubah keabsahan akta notarial,” jelas Yu Un.

 

Senada dengan Yu Un, Afifah menyebut Otoritas Pusat masing-masing Negara jelas harus memiliki mekanisme yang mapan untuk melacak keabsahan dokumen yang akan digunakan diluar negaranya tersebut.

 

Saat pengusaha Indonesia berdagang kayu ke Eropa misalnya, kata Afifah, jelas Eropa akan meminta sertifikasi bahwa kayu itu berasal dari hutan yang suistainable, di sinilah peran Otoritas Pusat untuk melacak supplier dan kebenaran pernyataan yang disampaikan pelaku usaha.

 

Tags:

Berita Terkait