Belum Adanya Pengakuan Pemerintah atas Puluhan Juta Hektar Wilayah Hukum Adat
Terbaru

Belum Adanya Pengakuan Pemerintah atas Puluhan Juta Hektar Wilayah Hukum Adat

Proses pengembalian hutan adat dari hutan negara terhambat mekanisme pengukuhan masyarakat hukum adat dalam kawasan hutan yang ditetapkan melalui Perda.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Masih ada kegamangan untuk melakukan verifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional,” ujarnya.

Pada sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat masyarakat adat, Dodo mencatat belum ada kemajuan yang dilakukan Kementerian ATR/BPN. Alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat masyarakat adat, justru menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Kondisi tersebut menunjukkan negara masih memandang hak menguasai negara secara eksesif. Padahal jelas putusan MK menyatakan Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat. Kebijakan negara menerbitkan HPL diatas wilayah adat menurut Dodo berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun. Sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.

Di tempat yang sama Kepala Divisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya, memaparkan hasil analisa BRWA menunjukkan dari 1.336 wilayah adat, ada 12,9 hektar hutan primer dan 5,37 juta hektar hutan sekunder. Pada area hutan sekunder sudah cukup banyak dikelola oleh badan usaha yang mendapat Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari Pemerintah. Dari berbagai data profil masyarakat hukum adat yang dihimpun BRWA, masyarakat adat memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya.

“Kekuatan masyarakat adat dalam menjaga hutan berdasar tradisi dan budaya menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan yang tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim dan penyelamatan keanaragaman hayati,” ujarnya.

Ariya menegaskan jika hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhurnya diputus karena kepentingan bisnis yang dikelola pemerintah atau diberikan kepada badan usaha swasta maka hal itu akan berdampak buruk. Sebab akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya, dan jati diri bangsa Indonesia.

Tags:

Berita Terkait