Belum Ada Penetapan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan
Utama

Belum Ada Penetapan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan

Sejauh ini baru Kopi Kintamani asal Bali yang mendapatkan sertifikat indikasi geografis. Padahal, Indonesia kaya produk perkebunan.

Rfq/Mys
Bacaan 2 Menit
Belum Ada Penetapan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan
Hukumonline

 

Menurut Suprahtomo, Departemen Pertanian terus menggalakkan perlindungan terhadap varietas tanaman. Dari situlah bisa dilihat produk perkebunan yang spesifik lokasi. Ini juga sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Berdasarkan wet ini, wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan spesifik lokasi dilindungi kelestariannya. Bentuk perlindungan itu antara lain melarang alih fungsi lahan yang sudah ditetapkan sebagai WGPPPSL. Bahkan, ancaman sanksi kepada orang atau badan hukum yang menabrak larangan itu.

 

Minimnya produk perkebunan yang mendapat perlindungan dari sisi hak kekayaan intelektual antara lain ditentukan tingkat pemahaman hukum masyarakat. Suprahtomo meyakini banyak produk perkebunan Indonesia yang bisa go international. Cuma, kurang mendapat perlindungan. Masalahnya, kesadaran hukum kita masih kurang, ujarnya.

 

Untuk mengembangkan perlindungan WGPPPSL sebagaimana amanat PP No. 31 Tahun 2009, kerjasama Departemen Pertanian dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) Depkumham mutlak perlu. Beberapa waktu lalu Dirjen HKI Andi N. Sommeng juga mengakui bahwa implementasi PP 31 sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga. Kita terus berkoordinasi dengan Departemen Pertanian, ujarnya saat ditemui di kampus Universitas Indonesia.

 

Payung hukum untuk mengedepankan hak kekayaan intelektual produk perkebunan itu sudah cukup kuat. Selain UU Perkebunan tadi, masih ada Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

 

Penetapan WGPPPSL

Penetapan WGPPPSL merupakan wewenang Menteri yang mengurusi bidang perkebunan, dalam hal ini Departemen Pertanian. Tentu saja, Menteri tidak bisa sembarangan mengeluarkan penetapan.

 

Paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, produk perkebunan yang dihasilkan mempunyai mutu yang khas, termasuk citra rasa spesifik. Ketika suatu komoditas perkebunan mempunyai cita rasa yang khas, spesifik, maka ia harus dilindungi, kata Supratomo. Kedua, produk perkebunan tersebut mempunyai reputasi atau ketenaran baik lokal dan nasional, maupun internasional yang tidak dapat diperoleh di wilayah lainnya. Ketiga, tanamannya diusahakan secara baik oleh pelaku usaha perkebunan.

 

Departemen Pertanian kudu menuangkan syarat-syarat tersebut dalam Buku Peta Batas dan Buku Spesifikasi WGPPPSL. Penetapan itulah kelak yang menjadi dasar untuk mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Cuma, faktanya, perlindungan indikasi geografis kita masih minim. Padahal, seperti kata Suprahtomo, sudah banyak tim untuk menetapkan indikasi geografis.

Hingga saat ini belum ada penetapan wilayah penghasil produk perkebunan spesifik. Tetapi Departemen Pertanian sudah lama menyusun peta komoditas yang dipetakan oleh Balai Besar Penelitian Tanah dan Agroklimat. Perlindungan hak kekayaan intelektual atas produk pertanian tetap perlu dikedepankan.

 

Penjelasan itu disampaikan Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Pertanian Suprahtomo menjawab pertanyaan tentang implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2009. Beleid ini mengatur tentang perlindungan wilayah geografis penghasil produk perkebunan spesifik lokasi. Jangan sampai produk perkebunan yang sudah punya pangsa pasar tanpa perlindungan, kata Suprahtomo kepada hukumonline.

 

Beleid ini memberikan wewenang kepada Menteri Pertanian untuk menetapkan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokasi (WGPPPSL). Produk perkebunan yang sudah disebut dalam PP 31 adalah kopi, tembakau, kayu manis, lada, kakao, dan tanaman teh. Sejauh ini, baru Kopi Kintamani yang mendapat pengakuan internasional. Tahun lalu, Kopi Kintamani mendapatkan sertifikat indikasi geografis.

Tags: