Belasan RPP BPJS Siap Terbit
Berita

Belasan RPP BPJS Siap Terbit

Kemenkumham menargetkan peraturan pelaksana amanat UU SJSN dan UU BPJS itu akan selesai diharmonisasikan sebelum tanggal 23 November 2013.

FAT
Bacaan 2 Menit
Belasan RPP BPJS Siap Terbit
Hukumonline

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tengah mengharmonisasikan seluruh peraturan pelaksana yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal itu diutarakan Direktur Harmonisasi Direktorat Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) Kemenkumham Nasruddin di Jakarta, Rabu (13/11).

Sayangnya, Nasruddin tak bisa merincikan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) apa saja yang tengah diharmonisasikan itu. Menurutnya, Kemenkumham akan menyelesaikan harmonisasi 18 peraturan pelaksana tersebut sebelum tanggal 23 November 2013.

“Targetnya 23 November 2013 selesai. Paling lambat sebelum Januari 2014,” katanya.

Salah satu RPP yang tengah dibahas mengenai pengelolaan program BPJS. Dalam RPP ini, kata Nasruddin, terdapat substansi mengenai iuran jaminan pensiun. Menurutnya, pembahasan mengenai besaran iuran harus dihitung dengan cermat. “Karena jaminan pensiun ini jangka panjang, disarankan bahas ini harus hati-hati,” katanya.

Jangka panjang, lanjut Nasruddin, lantaran pada awal pemberlakuannya akan banyak yang iuran tapi sedikit yang klaim. Sebaliknya, 10 tahun atau 20 tahun ke depan, akan semakin sedikit yang iuran tapi untuk klaim akan bertambah banyak lantaran tanggung jawab beralih ke pemerintah.  Atas dasar itu, kecermatan dalam menghitung besaran iuran sangat penting.

Ia mengatakan, unsur kehati-hatian sangat penting dalam membahas substansi satu RPP. Atas dasar itu, lanjut Nasruddin, masukan dari seluruh pemangku kepentingan termasuk pelaku jasa industri sangatlah penting. Hal ini dilakukan agar ke depan tak ada peraturan yang mudah diuji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Meski tahapan masukan dari stakeholder tersebut berada pada saat RPP masih dibahas di kementerian atau lembaga terkait, Nasurddin berharap ada masukan mengenai substansi RPP pada saat diharmonisasikan di Kemenkumham. Menurutnya, masukan tersebut bisa menjadi bahan bagi Ditjen PP dalam mengharmonisasikan sebuah peraturan pelaksana.

“Di harmonisasi tidak ada pelibatan stakeholder, harusnya ada di kementerian. RPP jaminan pensiun sudah jadi, tapi tidak tutup kemungkinan apabila dari diskusi ini ada masukan ke kami sangat bermanfaat sekali,” kata Nasruddin.

Menurutnya, sebelum RPP diserahkan ke Presiden untuk ditandatangani, masih ada kemungkinan untuk mencari jalan tengah dari substansi yang dipersoalkan antara pemerintah dengan pelaku industri maupun masyarakat. Celah ini sengaja dibuka agar setiap peraturan pelaksana yang sudah diharmonisasikan tak gampang di-judicial review.

“Saya harap setiap pasal dan ayat berdasarkan kajian dan perhitungan yang matang. Jangan sampai PP baru diteken dua bulan sudah diubah. Saya pengen satu peraturan bisa diterima semua pihak dan langgeng,” tutur Nasruddin.

Hal senada juga diutarakan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia bidang Moneter, Fiskal dan Kebijakan Publik Haryadi B Sukamdani. Menurutnya, angka persentase jaminan pensiun harus dikaji secara matang. Dari data World Bank disebutkan bahwa angka iuran jaminan pensiun minimal sebesar 7,6 persen dan maksimal 32 persen. Pemerintah sendiri berharap angkanya berada di delapan persen. Sedangkan dari Jamsostek meminta angka iuran sebesar 15 persen.

Perlunya kajian matang, lanjut Haryadi, lantaran beban yang ditanggung pengusaha terkait pekerja sudah banyak. Belum lagi persoalan naiknya Upah Minimum Provinsi (UMP) yang melebihi batas inflasi Indonesia hingga adanya upah sundulan. “Jadi kita ada masalah di UMP, padahal UMP itu basis menghitung jaminan sosial,” katanya.

Bukan hanya itu, bagi pemberi kerja ada dua beban lain yang selalu mengikuti, yakni jaminan pensiun dan Jaminan Hari Tua (JHT). Bahkan di JHT tak ada batas maksimum dalam membayar iuran, sedangkan di jaminan pensiun terdapat delapan kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

“Bagi pemberi kerja ceiling (batas maksimum, red) delapan kali PTKP itu memberatkan pemberi kerja untuk mencadangkan dana jaminan pensiun untuk pekerja,” tutup Hariyadi.

Tags:

Berita Terkait