Belasan Paket Kebijakan Sudah Terbit, Apa Hasilnya?
Penataan Regulasi:

Belasan Paket Kebijakan Sudah Terbit, Apa Hasilnya?

Pemerintah meyakini penataan regulasi sangat diperlukan karena menjadi dasar memacu investasi dan infrastruktur.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Rapat koordinasi penataan regulasi di Jakarta, Rabu (07/2). Foto: MYS
Rapat koordinasi penataan regulasi di Jakarta, Rabu (07/2). Foto: MYS

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menaruh perhatian besar pada bidang perekonomian dan infrastruktur. Dalam rangka mendorong perekonomian dan infrastruktur itu, Pemerintah telah menerbitkan belasan paket kebijakan. Paket Kebijakan XVI mengenai percepatan pelaksanaan berusaha di Bursa Efek diluncurkan pada akhir Agustus tahun lalu.

Paket Kebijakan I-XVI itu adalah bagian dari penataan regulasi nasional, terutama yang menghambat perizinan, investasi, dan roda perekonomian. Pemerintah juga telah melakukan review terhadap peraturan-peratura di beberapa sektor strategis yang berdampak besar terhadap iklim investasi. Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan Keamanan dan HAM Strategis Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani menegaskan pemangkasan regulasi yang dinilai menghambat kemudahan berusaha dan memperpanjang jalur birokrasi akan terus dilakukan.

Dari sekitar 42 ribu peraturan yang diidentifikasi, Pemerintah berharap bisa memangkas 50 persen. “Guna mempermudah doing business di Indonesia,” kata Jaleswari saat jadi pembicara pada Rapat Koordinasi Penataan Regulasi di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Rabu (07/2).

Lalu, setelah terbit belasan Paket Kebijakan itu apa yang sudah dihasilkan dalam konteks penataan regulasi? Jaleswari memaparkan angka yang dihimpun dari Kementerian Perekonomian. Hingga September 2017, penataan Paket Kebijakan I-XV telah menghasilkan pencabutan 9 regulasi untuk mengurangi hambatan dalam perekonomian; dan 31 regulasi direvisi untuk menghilangkan pasal-pasal yang menghambat. Selain itu, 49 regulasi dibuat untuk mewadahi kebijakan baru yang disusun; 35 regulasi digabung dan disimplikasi menjadi 13 regulasi untuk menyederhanakan perizinan; dan 89 regulasi baru mencabut regulasi lama agar disesuaikan dengan kondisi yang relevan. Namun, ia tak menjelaskan detil peraturan-peraturan dimaksud.

Jaleswari juga menjelaskan pada tahun lalu telah dilakukan review atas terbitnya Peraturan Menteri (Permen) di enam sektor strategis yang berdampak besar terhadap investasi. Keenam sektor itu adalah Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lingkungan hidup dan kehutanan; pertanian; perdagangan dan perindustrian; jasa keuangan dan perbankan; serta agraria dan tata ruang. Di Kementerian ESDM, misalnya, sudah dicabut 32 peraturan/keputusan menteri dan petunjuk pelaksanaan, termasuk 11 regulasi bidang ketenagalistrikan.

Koordinasi

Salah satu problem dalam pembuatan regulasi adalah koordinasi di lingkungan pemerintah. Masing-masing kementerian dan lembaga (K/L) menerbitkan peraturan tanpa secara intensif berkoordinasi dengan lembaga lain. Akibatnya, penerbitan peraturan cenderung tak terkontrol dan pada akhirnya jumlah peraturan yang diterbitkan berlebihan (hiperregulasi). Bukan hanya potensial saling bertentangan, tetapi juga saling mengunci. Itu juga terjadi dalam pembahasan RUU antara Pemerintah dan DPR.

Ironisnya, peraturan perundang-undangan yang dibahas bersama dalam waktu yang relatif sama dan orang-orang yang relatif sama pula bisa tak sinkron. Sekadar contoh ketidakharmonisan regulasi mengenai standard an pelaku usaha antara UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan UU No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (UU SPK). Padahal, ketiga wet ini --saat masih RUU—dibahas pada tahun 2014 dan Komisi VI DPR. “Tapi definisi standar atau pelaku usaha berbeda-beda,” tegas Jaleswari.

UU Perindustrian

UU Perdagangan

UU SPK

Standar

Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar yang ditetapkan oleh lembaga

yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi.

Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang

disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan

memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan pada masa kini dan masa depan untuk

memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang

disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/keputusan internasional yang terkait dengan

memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk

memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.

Pelaku usaha

Tak ada definisi khusus tentang pelaku usaha. Pasal 54 dan 60 menggunakan istilah pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau jasa industri.

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah

hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan.

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Contoh lain adalah ketidakselarasan pengaturan ekspor antara regulasi yang diterbitkan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian. Perbedaan itu merefleksikan minimnya koordinasi dan disharmoni dalam pembentukan perundang-undangan.

Asisten Deputi Koordinasi Materi Hukum Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Heni Susilo, menegaskan untuk mengatasi persoalan tersebut Pemerintah telah melakukan perbaikan melalui Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2017. Inpres ini meneguhkan fungsi Menko (Menteri Koordinator) sebagai pengendali kebijakan yang bersifat strategis. Fungsi koordinasi ini juga sebenarnya sudah ditegaskan dalam UU Kementerian Negara.

Dengan adanya fungsi koordinasi ini, ia berharap penetaan regulasi lebih terkoodinasi dan  sistemik. Apalagi jika didukung penggunaan teknologi informasi. Badan Pembinaan Nasional (BPHN) telah membangun sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN). Melalui jaringan ini semakin banyak peraturan perundang-undangan yang terintegrasi. 

Tags:

Berita Terkait