Belajar dari Belanda Bagaimana Memidanakan Korporasi
Berita

Belajar dari Belanda Bagaimana Memidanakan Korporasi

Indonesia lebih dahulu mengatur pemidanaan korporasi.

ALI
Bacaan 2 Menit
Belajar dari Belanda Bagaimana Memidanakan Korporasi
Hukumonline

Hakim-Hakim Kamar Pidana di Mahkamah Agung (MA) secara rutin menggelar pertemuan untuk membahas permasalahan hukum dan menyatukan persepsi di antara mereka. Kali ini, topik yang dibahas adalah pemidanaan terhadap korporasi. Hakim Agung Surya Jaya dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto tampil sebagai pemberi materi dalam pertemuan ini.

Surya Jaya mengutip pendapat ahli hukum dan putusan di Belanda seputar bagaimana negara kincir angin ini memidanakan korporasi.

Salah satu teori yang dikutip adalah teori kawat berduri. Surya menjelaskan teori ini menyatakan korporasi ikut mengambil beban tanggung jawab atas perbuatan pengurus. Artinya, pengurus melakukan delik, maka yang turut bertanggung jawab adalah korporasi sehingga yang dipidana adalah pengurus dan korporasi.

Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja sempat meluruskan bahwa ‘kawat berduri’ bukan sebuah teori, melainkan sebuah putusan dari Hooge Raad (Mahkamah Agung Belanda). “Saya mau meluruskan karena saya editor buku itu (buku yang dikutip Surya,-red),” ujarnya.

Surya mengamininya. “Ya betul. Ini memang lahir dari putusan kasus kawat berduri, perusahaan ekspor-impor di Belanda,” ujarnya di Gedung MA, Selasa (30/7).

Surya menjelaskan putusan ‘kawat berduri’ ini memang telah banyak diimplementasikan dalam perkara-perkara lingkungan. Yakni, suatu korporasi bisa dijatuhi pidana bila tidak melakukan kewenangannya untuk menghentikan atau mencegah tindak pidana.

“Ini bisa saja diterapkan dalam kasus korupsi,” ujar Surya.

Lalu, bagaimana teknis menghukum korporasi yang diduga melakukan tindak pidana? Surya menjelaskan memang banyak teori bagaimana merumuskan dakwaan untuk menjerat korporasi. Ia pun mengutip pandangan ahli hukum Belanda Nico Keijzer.

“Bila mengacu ke Buku-nya Nico Keijzer, di Belanda kecenderungannya menghukum korporasi, tanpa menghukum pengurusnya,” ujar Surya.

Surya menjelaskan para hakim di Belanda berpendapat bahwa menghukum korporasi lebih efektif untuk mengejar pengembalian aset dibanding ‘mengejar’ pengurusnya. Namun, Surya berpendapat Indonesia belum tentu bisa dengan mudah mengikuti praktik ini.

“Tapi, apa ini cocok di kita? Tak semua yang dari luar itu baik untuk Indonesia, karena kita punya karakter dan masalah sendiri. Saya berpendapat sebaiknya dakwaan dilakukan secara bersama-sama,” ujarnya.

Surya menilai mendakwa atau menuntut pengurus dan korporasi dalam satu berkas dakwaan lebih efektif daripada dilakukan secara terpisah. Dalam praktek di Indonesia, dakwaan atau tuntutan jaksa kerap dilakukan secara terpisah dengan terlebih dahulu mendakwa pengurus baru kemudian korporasi. Artinya, menunggu putusan perkara pengurs kemudian menjadi dasar mengajukan dakwaan korporasi.

“Seharusnya penuntutan korporasi diajukan tidak terpisah dengan pengurusnya tidak di-splitsing, melainkan perkara pengurus dan perkara korporasi diajukan secara bersama-sama dalam satu nomor registrasi berkas perkara,” ujarnya.

Surya menjelaskan penyatuan berkas perkara ini bermanfaat ketika proses pemeriksaan. Pengurus yang diperiksa sebagai terdakwa di persidanga sekaligus bertindak mewakili korporasi, sedangkan korporasi tidak diwakili oleh orang lain. “Ini juga mewujudkan peradilan cepat, murah dan sederhana, serta lebih efektif dan efisien,” ujarnya.

Otokritik KPK
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan realitanya selama ini jaksa memang masih jarang mendakwa atau menuntut korporasi dalam kasus korupsi. “Kasus korporasi yang dibawa ke pengadilan jumlahnya sangat kecil sekali, khususnya dalam kejahatan tindak pidana korupsi,” ungkapnya.

Bambang melakukan otokritik kepada KPK bahwa sebenarnya KPK bisa mulai menerapkan pemidanaan korporasi. Ia menunjuk kasus korupsi Billy Sindoro yang telah diputus beberapa waktu lalu. “Seharusnya, dalam kasus ini, jaksa juga bisa menuntut korporasinya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan KPK akan segera menerapkan pemidanaan korporasi. “Soal pidana korporasi ini bukan hanya sekedar diskusi lagi, tetapi sedang tahap uji coba,” pungkasnya.

Lebih Dulu
Meski mengutip putusan MA Belanda dan pendapat ahli hukum Belanda, Surya mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya lebih dulu mengatur korporasi sebagai subjek pidana daripada Belanda.

“Belanda baru mengatur sejak 1976, sedangkan Indonesia sudah mulai menempatkan korporasi sebagai subjek pidana melalui UU Darurat tahun 1951tentang Penimbunan Barang,” ujar Surya.

Bambang menyebutkan ada beberapa undang-undang yang menyusul bisa memidanakan korporasi. Di antaranya adalah UU No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No.9 Tahun 1976 dan UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika, UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan lain sebagainya.

Tags: