Begitu Lahir, Terancam Judicial Review
RUU Penanaman Modal

Begitu Lahir, Terancam Judicial Review

Berbagai kalangan siap menghadang RUU Penanaman Modal jika diundangkan dengan judicial review. Alasannya, RUU ini terlalu liberal alias terlalu pro asing ketimbang UU sebelumnya.

Ycb/Lut
Bacaan 2 Menit
Begitu Lahir, Terancam <i>Judicial Review</i>
Hukumonline

Belum lahir, sudah menjadi kontroversi dimana-mana. Itulah RUU Penanaman Modal yang pekan lalu sudah dirampungkan draf terakhirnya oleh Komisi VI DPR RI bersama Menteri Perdagangan. Kontroversi berbau penolakan ini semakin meluas menjelang disahkannya RUU ini menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR RI yang akan digelar Kamis (29/3).

 

Penolakan yang cukup kuat salah satunya berasal dari kalangan akademisi, serta LSM yang bergerak pada bidang agraria dan pengembangan masyarakat. Aksi penolakan itu pun digelar di DPR. RUU Investasi harus kita tolak, seru akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Revrisond Baswir dalam acara Uji Publik RUU Penanaman Modal yang diselenggarakan oleh Fraksi FPDIP, Rabu (28/3).

 

Menurut Sonny, panggilan akrab Revrisond, RUU ini lebih liberal daripada UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). RUU ini sangat membuka lebar pintu masuk investor asing, sedangkan UU PMA masih membatasi cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup rakyat banyak diserahkan pada negara, tuturnya.

 

Meskipun demikian, Sonny menilai UU PMA adalah awal dari liberalisasi ekonomi. UU PMA adalah produk pertama Mafia Berkeley. UU yang pertama kali mereka buat bukannya tentang ketenagakerjaan atau pajak, melainkan investasi, ungkapnya.

 

Mafia Berkeley adalah sebutan khas bagi para menteri era awal Orde Baru yang menimba ilmu dari universitas asal Paman Sam itu. Para menteri tersebut mengusung kebijakan pasar terbuka di awal kepemimpinan Presiden Suharto. Beberapa contoh Mafia Berkeley antara lain Radius Prawiro, Sumitro Djojohadikusumo, atau Emil Salim.

 

Karena terlalu terbuka bagi akses pemodal asing, ekonom Institut Pertanian Bogor Imam Sugema menilai RUU ini bertentangan dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi sudah tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945. Otomatis RUU ini berseberangan dengan UUD, sergahnya.

 

Menurut Imam, demokrasi ekonomi tak bisa diartikan sebagai usaha kecil dan menengah serta koperasi. Lebih luas lagi, demokrasi ekonomi adalah ekonomi kerakyatan itu sendiri. Tak seperti yang disebut dalam RUU ini, tunjuknya.

 

Hak Atas Tanah

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan menilai RUU Investasi terlalu liberal terhadap hak atas tanah. Bahkan hak atas tanah itu lebih lama dari Hukum Kolonial Belanda, ujarnya. Hukum Kolonial Belanda yang dimaksuda adalah Hukum Agraria (Agrarische Wet 1870). Hukum agraria tersebut mengatur hak pemakaian tanah hanya selama 75 tahun.

 

Siti Fikria dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (Lapera) menuding penasihat hukum pihak Pemerintah, Erman Rajagukguk, melakukan kebohongan publik di muka anggota DPR sewaktu pembahasan RUU ini berjalan. Erman yang seorang profesor hukum telah melontarkan pendapat hukum yang sesat, tutur Siti.

 

Menurut Siti, argumen Erman tentang Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun yang diatur dalam RUU Investasi lemah. Erman menggunakan UU Pokok-Pokok Agraria (UU PA) yang mengatur HGU selama 35 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun. Kemudian, menurut Siti, Erman berpijak pada PP Nomor 5 Tahun 1996 yang mengatur hak atas tanah. PP 5/1996 mengatur masa HGU 35 tahun. Jadi menurut Erman, 35 tahun plus 25 tahun dari UU PA ditambah 35 tahun dari PP 5/1996 menjadi 95 tahun. Saya masih ingat argumennya di depan anggota DPR, ujar Siti.

 

Argumen Erman lemah karena menurut Siti, sebuah UU tak bisa menggunakan konsideran dari PP. Menurut hirarki perundangan UU lebih tinggi dari PP. Kedua, PP itu tetap mengacu pada UU PA. Jadi sekali lagi, RUU Investasi cacat hukum, cetus Siti.

 

Menurut Usep, Pasal 22 yang mengatur hak atas tanah harus dirombak. Sebagai jalan keluarnya, bunyinya adalah: Hak atas tanah mengacu pada UU PA, ujarnya. Siti menganggap UU PA adalah pijakan kuat yang harus digunakan. Untunglah wacana dari Badan Pertanahan Nasional tentang revisi UU PA tak berlanjut, ungkapnya.

 

Terpisah, Erman berpendapat HGU tak serta-merta diberikan selama 95 tahun. Coba dibaca, itu diberikan selama 60 tahun dahulu. Baru dievaluasi apakah bisa diperpanjang selama 35 tahun, ujarnya dari saluran telepon genggam.

 

Menurut Erman, pemberian HGU selama 60 tahun untuk membuat nyaman investor. UU Investasi di negara lain rata-rata memberikan HGU selama 70-90 tahun kok, sergahnya.

 

Erman mengakui panjang HGU ini memang berbeda dengan UU PA. Perlu kita lihat, semangat UU PA yang disampaikan Menteri Pertanahan Sajarwo saat itu, adalah anti asing karena kita baru saja merdeka dari penjajahan. Nah, RUU Investasi ini untuk mengundang investor asing. Makanya, UU PA itu sudah saatnya direvisi, tegas Erman.

 

Sonny menilai diundangkannya RUU Investasi ini tak akan menjamin datangnya investor asing. Para investor tak memandang apakah rezim Suharto yang otoriter atau rezim reformasi. Tapi prospek pasar. Jika prospek ekonomi Indonesia bagus yah mereka akan datang, tukasnya.

 

Menurut Sonny, fasilitas yang bisa menarik para investor adalah jaminan hukum dan pemberantasan korupsi. Bukannya fasilitas yang bermacam-macam dalam RUU ini, ujarnya dengan nada tinggi.

 

Baik Sonny, Imam, maupun Usep menilai saat ini sudah terlambat menghadang ketok palu parlemen. Sebagai langkah kecil yang masih bisa dilakukan, saya harap FPDIP menolak RUU Investasi pada Sidang Paripurnayang akan digelar Kamis (29/3), tegas Imam.

 

Menanggapi tantangan Imam, anggota PDIP -yang juga duduk di Komisi VI membahas RUU ini, Hasto Kristianto masih menimbang-nimbang. Masukan tersebut akan kami pertimbangkan dalam rapat internal fraksi hari ini, ujarnya.

 

Selanjutnya, Sonny, Imam, dan berbagai kalangan LSM akan menyiapkan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kita lihat saja, jika memang diundangkan, akan kita usung ke MK, ancam Imam.

 

Baik Sonny dan Imam senada, dasar argumentasi uji materi tersebut adalah Pasal 33 UUD 1945. UU ini melenceng dari demokrasi ekonomi yang diatur Pasal 33 UUD 1945. Akan kita konsultasikan dengan ahli hukum, sambung Imam.

 

Pro Investor Asing

Secara terpisah, Menteri Perindustrian Fahmi Idris menegaskan bahwa RUU Penanaman Modal ini tidak membedakan investor lokal dan asing. Indonesia memang tidak membedakan investor dari luar dengan dalam negeri. Jadi, kalau dibedakan, tidak akan melancarkan masuknya modal dan upaya penanaman modal dalam negeri, ujarnya.

 

Dia mengakui isi RUU Penanaman Modal Asing memang tidak bisa dihindarkan dari kesan proinvestor asing. Kalau dulu, pada 1967-1968, kita membedakan perlakuan untuk penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Sekarang dunia sudah tanpa batas, tanpa membedakan modal dalam atau luar negeri, kata Fahmi.

 

Kesan proasing, menurut Fahmi, juga timbul karena RUU Penanaman Modal tidak mencantumkan penyelesaian sengketa antara investor asing dan pemerintah. Ini yang dikatakan proasing. Padahal penyelesaian konflik ini sudah ada undang-undangnya, ujarnya. Sehingga penyelesaian sengketa tidak dimasukkan dalam rancangan undang-undang.

 

Fahmi mengatakan pemerintah akan melakukan proses hukum jika ada investor asing melakukan pelanggaran. Tetap bisa diproses dan dituntut sepanjang ada undang-undang yang dilanggar, katanya.

 

Ditanya tentang kebutuhan investasi dari dalam atau luar negeri yang paling diperlukan, Fahmi menilai tidak ada yang diprioritaskan. Kedua-duanya diperlukan (modal asing dan dalam negeri). Modal dalam negeri juga cukup penting di Indonesia, ujarnya.

 

Sebab, Fahmi melihat tren perkembangan dunia adalah banyaknya investor yang menanamkan investasi di berbagai negara. Karena itu, mestinya pemodal dari dalam negeri juga diberi insentif jika mau mengembangkan usaha di daerahnya ketimbang di Jakarta, misalnya, tuturnya.

 

Ditanya tentang dampak undang-undang ini terhadap pengembangan industri, Fahmi menjawab, pengembangan industri tidak semata-mata mengacu pada undang-undang. Pasalnya, perkembangan industri juga akan dipengaruhi oleh banyak sektor, misalnya perbankan, infrastruktur, dan kepastian hukum. Tapi RUU Penanaman Modal membuka pintu masuk bagi tumbuhnya industri di Indonesia, kilahnya. 

Tags: