Begini Rencana Aksi Pemerintah Mengurangi Obesitas Regulasi
Utama

Begini Rencana Aksi Pemerintah Mengurangi Obesitas Regulasi

Pemerintah sedang mengkaji legalitas pembatalan Perda melalui perundang-undangan yang lebih tinggi.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Salah satu sesi pembahasan masalah regulasi Indonesia di Jember Jawa Timur. Foto: NEE
Salah satu sesi pembahasan masalah regulasi Indonesia di Jember Jawa Timur. Foto: NEE

Menteri Hukum dan HAM, Kepala Staf Kepresidenan, dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan tampil kompak dalam Konferensi Hukum Tata Negara Nasional ke-4 (KNHTN 4) yang membahas tema “Penataan Regulasi di Indonesia” di Jember, Jawa Timur. Ketiganya saling melengkapi ketika menyampaikan rencana aksi Pemerintahan Jokowi-JK merampingkan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara garis besar, idenya adalah memangkas regulasi untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia.

Berdasarkan pemantauan hukumonline langsung di lokasi acara disimpulkan Pemerintah akan berusaha menata regulasi, khususnya peraturan perundang-undangan yang pembentukannya langsung di tangan Presiden. Pemerintah juga akan membentuk tim khusus untuk melakukan review atas regulasi yang ada, sejalan pula dengan dengan usul revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Sebagai langkah pencegahan bertambahnya regulasi yang menghambat, executive preview akan digiatkan Presiden, khususnya terhadap regulasi yang dibuat pemerintah daerah.

(Baca juga: 4 Fokus Simplikasi Regulasi Pemerintah di Tahun 2017).

Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan Kementerian Hukum dan HAM selama ini selalu mendorong agar kepentingan skala nasional menjadi fokus semua unsur pemerintahan dalam membentuk regulasi. Namun tidak dapat dielakkan bahwa disharmoni regulasi kerap terjadi karena berbagai faktor. Setidaknya, menurut Yasonna, ada tiga tantangan pengelolaan regulasi di Indonesia sebagai negara hukum saat ini.

Pertama, ‘obesitas’ regulasi di tingkat pusat dan daerah yang cenderung menghambat pembangunan ekonomi khususnya investasi swasta. Terlalu banyaknya jumlah regulasi ikut menghambat efektivitas pelayanan publik. Kedua, disharmoni produk regulasi antar instansi tingkat pusat. Ketiga, disharmoni produk regulasi antara instansi tingkat pusat dengan daerah baik substansi maupun teknik penyusunannya. “Pada tahun 2016 Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Perda bermasalah yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi,” lanjutnya.

Tantangan ini, kata Yasonna, semakin berat karena putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan kewenangan Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan Perda adalah inkonstitusional. “Mohon ada kajiannya, apakah pembatalan Perda bisa dilakukan dengan regulasi yang ada di atasnya? Seperti Peraturan Presiden atau PP misalnya, ketimbang melakukan judicial review,” ujarnya.

(Baca juga: KPPOD Kritik Putusan MK Terkait Pembatalan Perda).

Yasonna menjelaskan Pemerintah tengah mencoba merampingkan regulasi melalui kemasan Peraturan Presiden ataupun Peraturan Pemerintah untuk mengatasi banyaknya regulasi bermasalah di level hierarki yang lebih rendah. Pemerintah juga akan mengatur agar executive preview dilakukan pada setiap level regulasi kepada instansi vertical yang terkait. Hal ini menjadi pilihan alternatif setelah kewenangan executive review terutama untuk Perda telah dicabut MK.

Sementara itu Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki memaparkan akibat UU P3, kekuasaan Presidensial digerogoti karena Kementerian bisa mengeluarkan Permen tanpa perlu berkonsultasi dengan Presiden. Akibatnya banyak isi Permen saling bertabrakan dan baru disadari saat dilaksanakan.

Dalam konteks itu, jelas teten, Teten menambahkan, Presiden telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) deregulasi dan debirokratisasi yang memandu review berbagai regulasi yang akan dirampingkan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga telah merancang mekanisme penyusunan regulasi berbasis teknologi digital guna mendukung target Pemerintah. “Bappenas sudah menyiapkan e-Planning yang disebut dengan Kerangka Regulasi Nasional (Karina). Ini lebih mensinergikan,” katanya dalam pidato kunci acara KNHTN 4 di Jember, Sabtu (11/11).

Upaya lainnya adalah mengusulkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan agar mengatur lebih jauh soal kewajiban harmonisasi antar instansi yang berwenang membentuk regulasi sejak perancangannya. Khususnya diantara intansi kekuasaan eksekutif sendiri mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Dirjen PP), Widodo Ekatjahyana mengkritisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai hulu masalah yang utama karena tidak membatasi kewenangan Menteri membentuk regulasi. UU inipun tidak memeberikan kewenangan yang cukup kepada Kemenkumham untuk berperan melakukan penyelerasan berbagai regulasi khususnya yang dibentuk dari kekuasaan eksekutif itu sendiri.

“Ada BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) dan Dirjen PP, tapi tidak semua urusan hukum ditangani Kemenkumham. Masing-masing Kementerian punya biro hukum yang buat rancangan sendiri dan mengusulkan (diundangkan),” kata Widodo dalam paparannya.

(Baca juga: 2 Tahun Jokowi-JK, 3.143 Perda Dihapus dan 111 Permendagri Dibatalkan).

Mengenai peraturan apa saja yang menjadi target perampingan, Widodo mengusulkan beberapa parameter antara lain jika bertentangan dengan Pancasila, bertentangan dengan syarat formil dan materiil sesuai UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang disharmoni dalam konflik norma atau kewenangan, serta yang menghambat pelayanan umum seperti tidak efisien, menghambat investasi, dan perizinan berbelit-belit.

Tags:

Berita Terkait