Begini Peta Persoalan Insentif Pajak Filantropi di Indonesia
Berita

Begini Peta Persoalan Insentif Pajak Filantropi di Indonesia

Insentif pajak filantropi hanya berlaku untuk sumbangan yang ditujukan kepada lembaga.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kata filantropi berasal dari bahasa Yunani yakni philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia, yang maksudnya adalah  tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Orang atau pribadi yang melakukan kegiatan tersebut disebut sebagai filantropis.

Para filantropis ini biasanya memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga yang bersifat nirlaba atau lembaga yang tidak berorientasi kepada keuntungan. Bantuan-bantuan para filantropis ini dapat diberikan oleh orang pribadi kepada lembaga, atau dari lembaga ke lembaga. Kegiatan ini bersifat sukarela dan bantuan/sumbangan, karena itu Pemerintah memberikan insentif kepada organisasiyang melakukan kegiatan filantropi. Saat ini, terdapat beberapa insentif yang sudah diberikan oleh pemerintah, salah satunya adalah tax deduction yakni tambahan pengurang penghasilan bruto.

Insentif pajak untuk filantropi terbagi atas dua bagian, yakni tax exemption yakni penetapan penghasilan yang dikecualikan sebagai objek PPh atas penghasilan tertentu yang diterima organisasi nirlaba, kemudian tax deduction yakni penetapan biaya tertentu yang terkait organisasi nirlaba yang dapat jadi pengurang penghasilan bruto bagi Wajib Pajak (WP) yang mengeluarkan biaya.

(Baca juga: Kewajiban CSR Sebagai Instrumen Pemotongan Pajak).

Yang termasuk ke dalam tax exemption adalah bantuan, sumbangan, hibah, yang diterima badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan. Sedangkan yang termasuk ke dalam tax deduction adalah sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga.

Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia, Hamid Abidin menjelaskan masih terdapat beberapa persoalan terkait insentif pajak filantropi di Indonesia. Hamid menilai nilai insentif pajak terlalu kecil, ruang lingkup insentif pajak masih terbatas dan diskriminatif, peraturan atau kebijakan terlalu umum dan multitafsir, serta pemahaman dan persepsi yang berbeda antar petugas atau kantor pajak.

Hamid juga mengatakan hingga saat ini belum ada pedoman dan panduan yang lengkap yang dapat diakses secara terbuka, tidak ada kejelasan mengenai prosedur mekanisme pengesahan lembaga yang menadapatkan tax exempt status, dan tidak adanya kejelasan terkait ketentuan related parties atau hubungan pemberi dan penerima sumbangan.

Untuk itu, Hamid menilai perlunya perbaikan kebijakan untuk filantropi di Indonesia. misalnya, memperluas ruang lingkup insentif pajak untuk sektor filantropi, memperjelas dan mendetailkan ketentuan yang masih terlalu umum dan multitafsir, membuat pedoman atua panduan bagaimana mengakses insentif pajak bagi filantropi, dan mempermudah proses dan prosedur klaim dan pemanfaatan insentif pajak sektor filantropi.

“Selain itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas dan pemahaman petugas pajak mengenai insentif pajak sektor filantropi, mensosialisasikan secara luas, memperjelas mekanisme tax exempt status dan mencari serta merumuskan solusi terkait persoalan related parties yang bisa mengganggu perkembangan sektor filantropi,” kata Hamid dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (27/9).

(Baca juga: CSR Tidak Sekadar Filantrofi Perusahaan).

Hamid mencatat, saat ini pemerintah sudah memberikan insentif pajak untuk sektor filantorpi berupa biaya penelitian dan pengembangan bisa menjadi pengurang penghasilan bruto atau tax deduction, pengecualian dai objek pajak terhadap sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau organisasi yang bergerak di bidang riset dan pengembangan, pengecualian dari objek pajak  terhadap harta hibahan, bantuan atau sumabngan untuk beasiswa dan kegiatan sosial termasuk penelitian, dan dapat membiayakan biaya dalam rangka sumbangan penelitian.

“Insentif juga berupa tidak memungut Pasal 22 impor atas impor barang untuk keperluan riset dan pengembangan serta penambahan waktu dua tahun untuk kompensasi kerugian apabila mengeluarkan biaya litbang du dalam negeri dalam rangka pengembangan produk efisiensi produksi paling sedikit 5 persen dari investasi dalma jangka waktu lima tahun,” imbuhnya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Eryanto Nugroho menjelaskan  jika dilihat dari segi perundang-undangan, pemerintah sudah menyediakan insentif berupa tax exemption dan tax deduction. Dalam aturan ini, sudah ada penghasilan yang dikecualikan sebagai obyek PPh atas penghasilan yang diterima organisasi nirlaba. “Selain itu, sudah ada juga penetapan biaya tertentu yang dapat jadi pengurang pajak. dan masih ada beberapa catatan dalam implementasinya,” katanya.

Ada tiga catatan yang dimaksud. Pertama, belum banyak pihak yang mengetahui dan memanfaatkan insentif pajak filantropi tersebut. Kedua, masih adanya keraguan dan kekhawatiran untuk menggunakan insentif pajak filantropi ini. Ketiga, besaran insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk sektor filantropi masih dipandang kurang menarik.

Kasubdit Peraturan PPh Badan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wahyu Santosa menyampaikan kegiatan filantropi tidak dikenai pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Jika kegiatan lembaga nirlaba tersebut menghasilkan laba, maka laba dimaksud harus ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan dan litbang. Hal tersebut diatur dalam PMK No 80/PKK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan.

“Intinya begini, kalau kegiatan dari lembaga nirlaba ternyata mendapatkan laba, maka laba harus dikembalikan dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan dan litbang. Dan itu diberikan waktu selama 4 tahun sejak diperolehnya laba,” kata Wahyu.

Wahyu menambahkan, tidak semua jenis sumbangan yang diberikan oleh filantropis mendapatkan insentif. Insentif pajak hanya berlaku bagi filantropis yang memberikan sumbangan atau bantuan kepada lembaga. Jika sumbangan diberikan kepada perorangan, insentif pajak dimaksud tidak berlaku.

Adapun sarana dan prasarana yang mendapatkan fasilitas adalah pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut. Kemuian pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan, pembelian atau pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan adan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan atau lokasi lembaga pendidikan formal.

Sumbangan pendidikan dan litbang, lanjut Wahyu, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka perhitungan penghasilan kena pajak (tidak melebihi 5 persen dari Penghasilan Neto Fiskal Tahun Pajak sebelumnya). Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Sedangkan biaya litbang di Indonesia dapat dikurangkan dari penghasilan bruto yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh, dan mekanismenya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto.

Tags:

Berita Terkait