Sejak dibentuk Presiden Jokowi pada Oktober 2015, Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) –lazim disebut juga Satgas 115-- telah menenggelamkan tidak kurang dari 317 kapal ikan ilegal. Penenggelaman kapal itu sebagian tanpa melalui putusan pengadilan. Itu sebabnya muncul pertanyakan apakah kebijakan penenggelaman kapal itu sah, baik menurut hukum nasional maupun hukum internasional.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Melda Kamil Ariadno berpendapat tidak ada pelanggaran hukum apapun dalam kebijakan penenggelaman kapal yang tertangkap melakukan kejahatan di perairan Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, telah membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) penenggelaman yang mengacu pada hukum yang berlaku.
Koordinator Staf Khusus Satgas 115, Mas Achmad Santosa, menjelaskan puluhan kapal ditenggelamkan setiap bulan. Sebanyak 304 kapal yang ditenggelamkan adalah milik warna negara asing. Ia menegaskan kebijakan penenggelaman kapal hasil penangkapan kasus illegal fishing terbukti efektif mengurangi tindak pidana dalam dua tahun terakhir. “Sangat efektif. Lihat aja di Global Fishing Watch,” katanya kepada hukumonline.
(Baca juga: Lima Alasan Penenggelaman Kapal Asing Tak Bisa Diprotes).
Melda berpendapat penanganan illegal fishing dengan menenggelamkan kapal yang dipakai pelaku sah berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional. Ia merujuk UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (UU Kelautan), UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan (UU Perikanan), dan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985.
Pasal 69 ayat (4) dan Pasal 76A UU Perikanan menyebutkan penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Benda atau alat yang digunakan dalam dan/atau dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.
Dalam UNCLOS, lanjut Melda, tidak ada larangan atas kebijakan negara pantai yang melakukan penenggelaman kapal atas pelanggaran zona ekonomi ekslusifnya. Dalam hal ini UNCLOS hanya mengatur hukuman bagi pihak yang menjadi terdakwa tidak boleh mencakup pengurungan. “Sepanjang karir, saya membaca UNCLOS berulang kali, tidak ada larangan untuk melakukan penenggelaman kapal pelaku illegal fishing. Kalau diperlukan, tenggelamkan saja sebanyak-banyaknya,” ujarnya.
Article 73 Enforcement of laws and regulations of the coastal State
Pasal 73 Penegakan Peraturan perundang-undangan Negara pantai
|
Melda juga menekankan selama bertahun-tahun lamanya kebijakan Indonesia telah memilih untuk menyita kapal dan mendenda para awak kapal. Namun para pelaku tidak kapok dan kembali datang melakukan illegal fishing di wilayah Indonesia. “Australia dan India sudah lama melakukannya. Harapan kita agar semua kapal asing itu pergi dari laut Indonesia,” katanya saat diwawancarai hukumonline usai acara.
Direktur Hukum Badan Keamanan Laut (Bakamla), Yuli Dharmawanto, berpendapat penenggelaman kapal hasil operasi penangkapan tindak pidana illegal fishing telah sesuai ketentuan hukum yang berlaku di wilayah Indonesia. “Semua sudah ada dalam aturan dan undang-undang, tinggal prakteknya saja, sepanjang aturan dipenuhi, that’s OK. Saat ini kami melihat tidak ada masalah, sudah sesuai ketentuan yang berlaku, kalau ada yang protes itu wajar,” jelasnya kepada hukumonline.
Ada SOP
Meskipun setuju pada kebijakan penenggelaman kapal-kapal pelaku illegal fishing, Melda mengusulkan perlunya penyempurnaan SOP. Ini penting untuk menjadi acuan baik bagi Satgas 115 maupun untuk ke depan jika Satgas dibubarkan. Melda juga mengharapkan ada kejelasan soal sinergi kebijakan penegakkan hukum di lautan yang saat dalam praktek saat ini masih ditangani berbagai unit terpisah. Keberadaan Bakamla menjadi harapan untuk integrasi kerja antar unit yang telah ada selama ini.
Mas Achmad Santosa setuju usul penyempurnaan SOP, agar dibuat lebih terperinci dan diintegarasikan ke dalam tugas di masing-masing unit penegak hukum di kawasan laut Indonesia. “SOP-nya sudah ada, ya walaupun memang belum disempurnakan, terutama untuk menjaga lingkungan tetap lestari dan dengan biaya seefisien mungkin,” imbuhnya.
SOP dimaksud tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, dan diundangkan pada Juli 2017. Ruang lingkupnya meliputi pengumpulan dan analisis data dan informasi serta penetapan daerah operasi; penyelidikan di darat, laut, dan udara pada daerah operasi; penyidikan; penuntutan, upaya hukum, dan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; penganggaran. Berikut SOP soal eksekusi penenggelaman kapal asing berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 37/PERMEN-KP/2017 tentang Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing):
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dengan dasar bukti pemulaan yang cukup dapat dilakukan setelah memenuhi:
A. Syarat subyektif dan/atau obyektif, yaitu:
B. Sebelum melakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal, dapat diambil tindakan:
|
Analisis BPHN
Dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Selasa (24/10), terungkap pula bahwa pada 2016 lalu BPHN telah membuat analisis dan evaluasi hukum atas kebiajakan pemberantasan illegal fishing. BPHN menilai Peraturan Presiden No. 115 tahun 2015 tentang Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal memuat 4 bagian yang tidak sesuai dengan asas perundang-undangan, yaitu konsiderans mengingat, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 6.
Terkait dengan Pembentukan Satgas Pemberantasan Illegal Fishing ada beberapa peraturan yang bersinggungan: UU Perikanan; UU Kelautan, UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan; Perpres No. 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan; dan Perpres No. 178 Tahun 2015 tentang Badan Keamanan Laut.
Menurut evaluasi BPHN seharusnya peraturan perundang-undangan tersebut dimasukkan ke alam konsiderans ‘Mengingat’, sebab jika dilihat dari substansi Perpresnya terdapat banyak pasal yang materi muatannya berkaitan erat. Namun Presiden tidak memasukannya dalam bagian konsiderans saat membentuk Satgas.
Pasal 2 Perpres pembentukan Satgas 115 menyebutkan Satgas memiliki tugas yang sangat besar sekali dalam penegakan hukum IUU Fishing. Bahkan dapat memanfaatkan personil, sarana prasarana yang dimiliki oleh instansi lain seperti TNI AL, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Bakamla, Satker Khusus Usaha Hulu Migas, PT Pertamina dan bahkan terbuka untuk institusi lainnya. Namun apa yang dimaksud institusi lainnya tidak ada penjelasan lebih lanjut. Ditambah lagi satgas ini masih diberi tugas lagi melakukan penindakan terhadap kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing).
(Baca juga: Menteri Susi Berharap Menang Kasasi atas Kasus Kapal Selin).
Kewenangan Satgas dalam Pasal 3 huruf b Perpres mirip dengan Bakamla, yaitu melakukan koordinasi, tapi kewenangan satgas dalam melakukan koordinasi lebih diperluas lagi instansinya. Sedangkan pada huruf d, Satgas berwenang melaksanakan komando dan pengendalian yang meliputi kapal, pesawat udara dan teknologi lainnya dari TNI AL. Kewenangan ini bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pasal 4 ayat 1 Perpres 115 ini menyebutkan pelaksana harian satgas adalah Wakil Kepala Staf Angkatan Laut (Wakasal). Padahal dalam organisasi TNI berlaku sistem komando dan pengendalian TNI, Wakasal tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan komando dan pengendalian karena wewenang tersebut hanya dimiliki oleh para Panglima Armada.
Pasal 6 huruf b Perpres, yang mengatur pedoman umum untuk pelaksanaan operasi, menyebutkan Menteri KKP merupakan komandan satgas satu-satunya pemegang otoritas dan berwenang melaksanakan komando dan kendali terhadap unsur-unsur satgas dan setiap unsur tersebut wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Komandan Satgas. Dilanjutkan Pasal 6 huruf c bahwa perintah dapat diberikan oleh Komandan Satgas (Menteri KKP) kepada Kepala Pelaksana Harian (Kepala Staf TNI AL) untuk dilaksanakan oleh Tim Gabungan.
Jadi, menurut BPHN, masih ada tumpang tindih kewenangan.