Begini Pengakuan Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan
Berita

Begini Pengakuan Hakim Ad Hoc Tipikor PN Medan

Intinya, Merry menyangkal terima uang sebesar Sin$280 ribu, tapi enggan ajukan permohonan praperadilan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Merry Purba resmi ditahan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga tersangka lain yakni, Panitera Pengganti Helpandi, Tamin Sukardi, Hadi Setiawan atas kasus dugaan suap terkait putusan perkara korupsi di PN Medan. Foto: RES
Merry Purba resmi ditahan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga tersangka lain yakni, Panitera Pengganti Helpandi, Tamin Sukardi, Hadi Setiawan atas kasus dugaan suap terkait putusan perkara korupsi di PN Medan. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Merry Purba sebagai saksi atas tersangka panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Medan, Helpandi atas dugaan korupsi pemberian suap yang bertujuan mempengaruhi putusan kasus korupsi. Merry merupakan hakim ad hoc PN Tipikor Medan dan juga menjadi tersangka dalam perkara ini.

 

Dalam keterangannya kepada wartawan usai pemeriksaan, ia mencurahkan isi hatinya. Merry mengklaim dirinya hanya sebagai korban, bukan pelaku kejahatan (penerima suap). Meskipun begitu, ia tetap meminta maaf kepada Mahkamah Agung (MA), masyarakat Indonesia, dan keluarganya.

 

Merry mengklaim tidak tahu-menahu informasi bagaimana jumlah uang yang diamankan penyidik KPK dari Helpandi sebesar Sin$130 ribu. Ia juga mengklaim tidak tahu menahu adanya uang yang menurut KPK sebelummya telah diterima oleh Merry Purba sebesar Sin$150 ribu.

 

"Secara jujur saya katakan, saya tidak pernah melakukan apapun yang dikaitkan dengan perkara yang saya tangani. Karena apa yang saya buat itu adalah keputusan saya sendiri dan tidak pernah melibatkan orang lain," kata Merry di Gedung KPK Jakarta, Rabu (5/9/2018). Baca Juga: Hakim Ad Hoc Tipikor Medan Diduga Terima Suap Sin$280 Ribu

 

Kalaupun penyidik menemukan uang di meja kerjanya, ia lagi-lagi mengaku tidak mengetahui hal itu. Merry berdalih mejanya memang selalu dalam keadaan terbuka dan tidak pernah tertutup.

 

Ia berharap penyidik melihat rekaman Closed Circuit Television (CCTV) agar bisa terlihat jelas siapa yang masuk ke dalam ruangannya. Sebab, pada hari itu ia disebut menerima uang, Merry mengklaim sedang melaksanakan ibadah. Karena itu, ia memohon agar penyidik memeriksa sidik jari siapa yang menerima uang dan menempatkan di meja kerjanya.

 

"Tolong berkata jujur, jangan korbankan, mentang-mentang saya ini hakim ad hoc tidak ada pembela di MA. Putusan saya berbeda kenapa kok bisa saya dikorbankan, ada apa ini?” kata dia.

 

Ia juga menyinggung Ketua PN Medan Marsudin Nainggolan dan Wakil Ketua PN Wahyu Prasetyo Wibowo (keduanya kini telah dimutasi ke Badilum MA) yang sempat digelandang penyidik KPK. “Tolong kepada Bapak Ketua PN Medan, saya tidak tahu ada apa disini, saya tanda tanya, kepada pak wakil yang kami sama-sama mengadili disitu, saya bukan pemain, saya tidak tahu apa ini semua, coba berpikirlah. Kalau saya terima uang tanggal 25 (Agustus 2018), itu kan hari Sabtu, hari sabtu kan, apa saya sebodoh itu masuk ke kantor, tolong lihat CCTV," jelasnya.

 

Tak ajukan praperadilan

Meskipun menyangkal menerima uang, namun Merry enggan mengajukan permohonan praperadilan. Alasannya, ada informasi apabila semua saksi mengarah pada keterlibatannya dalam perkara suap ini. "Makanya saya dari awal sudah mengatakan supaya saya hanya punya kekuatan kepada Tuhan, saya mendoakan pada mereka mengatakan yang sebenarnya. Kalau mereka membual, silahkan jangan libatkan saya. Jangan korbankan saya," pintanya.

 

Merry juga menganggap proses hukum terhadap dirinya terkesan janggal. Sebab, salah satu alat bukti yang digunakan penyidik terkait keberadaan mobil miliknya di lokasi terjadinya perkara. Sedangkan, ia sendiri tidak berada di tempat. Karena itu, ia mengaku bingung kenapa KPK bisa menetapkannya sebagai tersangka. Tetapi, keberatan dan kejanggalan ini juga tidak membuatnya ingin mengajukan permohonan praperadilan.

 

"Sekarang begini, saya katakan di situ praperadilan itu tak berguna lagi, karena semua saksi mengarah pada saya, tapi semua saksi itu saya enggak lihat. Hanya keberadaan mobil saya pada Jumat dan hari Sabtu. Itu yang dipertanyakan,” keluhnya.

 

KPK tak terpengaruh

Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengangggap penyangkalan yang diutarakan Merry sama sekali tidak mempengaruhi proses penyidikan yang sedang berjalan. Menurut Febri, bantahan yang dinyatakan seorang tersangka korupsi merupakan hal yang wajar.

 

"Selama KPK bekerja, kami sering menghadapi penyangkalan-penyangkalan baik yang disertai sumpah dengan agama masing-masing atau tidak. Namun banyak juga yang mengakui perbuatannya," ujar Febri.

 

Menurut Febri, hal terpenting bagi KPK adalah menangani kasus tindak pidana korupsi secara hati-hati dan sesuai bukti yang kuat. Ia berharap dibalik penyangkalan yang diutarakan itu, Merry mau bekerja sama dan mengungkap peran pihak lain dalam kasus dugaan suap terkait penanganan kasus korupsi ini.

 

"Jika memang tersangka MP (Merry Purba) memiliki informasi tentang pelaku lain, silahkan disampaikan pada penyidik," harapnya.

 

Sebelumya, pimpinan PN Medan Marsudin Nainggolan dan Wahyu Prasetyo Wibowo sempat ditangkap bersama hakim Sontan Merauke Sinaga, hakim ad hoc tipikor Merry Purba, panitera pengganti Oloan Sirait dan Elpandi, Tamin Sukardi dan Hadi Setiawan (swasta) pada Selasa (28/8/).

 

Namun, Rabu (29/8), KPK hanya menetapkan hakim ad hoc tipikor Merry Purba, Elpandi, Tamin Sukardi, dan Hadi Setiawan sebagai tersangka karena diduga sebagai penerima dan pemberi suap dalam penanganan perkara korupsi dalam putusan No. 33/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Mdn dimana Wahyu, Sontan, Merry sebagai majelis dengan terdakwa Tamin Sukardi. Sementara tiga hakim lainnya dan Oloan Sirait akhirnya dilepaskan karena tidak cukup bukti.

 

Merry Purba dan Helpandi diduga menerima suap sebesar Sin$280 ribu dari Tamin Sukardi (TS), seorang pengusaha sekaligus narapidana kasus korupsi. Keduanya, dijerat Pasal 12 huruf c atau a atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tags:

Berita Terkait