Begini Pencatatan Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang
Berita

Begini Pencatatan Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-undang

Perlu prosedur penetapan pengadilan terlebih dahulu.

Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Pernikahan. Foto: Istimewa
Pernikahan. Foto: Istimewa

Pernikahan beda agama tak pernah habis menjadi perdebatan di Indonesia. Meskipun pro-kontra seakan tak pernah selesai, nyatanya dalam kehidupan sehari-hari masih ada pemeluk agama yang berbeda memutuskan untuk menikah.

 

Banyak orang yang menempuh jalan penyelundupan hukum agar perkawinannya yang berbeda agama bisa diakui Negara. Misalnya, melakukan pencatatan perkawinan di luar negeri kemudian melanjutkan pencatatan tersebut di Indonesia. Sebut saja sederet nama artis yang melakukannya, seperti Titi Kamal-Christian Sugiono yang menikah di Sydney, Australia.

 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan membuka peluang pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda agama. Ada beberapa prosedur yang harus dilakukan untuk dapat mencatatkan pernikahan itu.

 

Namun, Pakar Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah, Nurul Irfan, mengingatkan bahwa pertama-tama harus dipastikan dulu apakah pernikahan beda agama sah menurut hukum agamanya masing-masing. Di kalangan agama Islam sendiri, para ulama sepakat perkawinan beda agama hanya boleh dilakukan oleh laki-laki Islam dengan perempuan agama lain terbatas pada Nasrani dan Yahudi,” jelas Nurul kepada hukumonline, Rabu (1/11).

 

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Sementara, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dilarang jika aturan agama melarang serta peraturan lain yang berlaku.

 

Selain itu, MUI berpandangan bahwa perkawinan antara muslim dengan non-muslim tidak diperbolehkan karena mesti berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Sehingga, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat sah perkawinan tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon yang memiliki perbedaan agama.

 

(Baca juga UU Perkawinan Tidak Melarang Perkawinan Beda Agama)

 

Jika keabsahan perkawinan telah bisa dipastikan, maka amanat selanjutnya dari UU Perkawinan harus dijalankan, yakni pencatatan perkawinan. Merujuk klinik hukumonline, pencatatan perkawinan beda agama bisa dilakukan dengan berpedoman pada UU Adminduk.

 

Menurut Pasal 35 UU Adminduk, perkawinan yang ditetapkan pengadilan wajib dilaporkan. Dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk, pernikahan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

 

Adapun prosedur pelaporan diatur dalam Pasal 34 UU Adminduk. Pelaporan wajib dilakukan paling lambat enam puluh hari sejak tanggal perkawinan. Lalu, berdasarkan laporan itu pejabat pencatatan sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Sementara itu, penduduk yang beragama Islam melaporkannya ke kantor urusan agama (KUA).

 

Pasal tersebut mengatur bahwa perkawinan beda agama yang bisa dicatatkan di kantor catatan sipil hanya yang di luar agama Islam. Kendati demikian, tidak otomatis perkawinan beda agama yang melibatkan penduduk beragama Islam bisa dicatatkan di KUA. Sebab, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

PP No. 9 Tahun 1975 menyebut secara eksplisit bahwa pernikahan yang bisa dicatatkan di KUA adalah yang dilangsungkan secara Islam. Ini berarti perkawinan beda agama, jika dilakukan dengan penetapan pengadilan, dicatatkan di kantor catatan sipil.

 

Nurul menegaskan, pencatatan perkawinan mutlak penting. Sebab, banyak konsekuensi lanjutan jika kewajiban ini tidak ditunaikan. Ia mengungkapkan, perkawinan yang tidak dicatatkan bisa berdampak pada status anak dan menyangkut pula soal waris.

 

“Karenanya, kewajiban pencatatan perkawinan yang diamanatkan UU Perkawinan harus dijalankan,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait