Begini Pandangan Pakar Soal Jabatan Ma’ruf Amin di Anak Perusahaan BUMN
Berita

Begini Pandangan Pakar Soal Jabatan Ma’ruf Amin di Anak Perusahaan BUMN

Jabatan Cawapres 01, Ma’ruf Amin sebagai Dewan Pakar Syariah di BSM digugat. Bagaimana pandangan hukumnya?

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Cawapres nomor urut 01 Maruf Amin saat pengambilan nomor urut di KPU. Foto: RES
Cawapres nomor urut 01 Maruf Amin saat pengambilan nomor urut di KPU. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan sengketa Pemilihan Umum Calon Presiden-Wakil Presiden pada Rabu (19/6). Berdasarkan jadwal MK memulai sidang pukul 09.00 WIB dengan agenda pemeriksaan saksi dan pengesahan alat bukti dari pemohon yaitu kubu pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang diwakili tim kuasa hukumnya.

 

Salah satu persoalan yang dipermasalahkan dalam sengketa tersebut mengenai jabatan Cawpres 01, Ma’ruf Amin sebagai Dewan Pengawas Syariah di dua anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Kedua bank tersebut merupakan anak usaha dari PT Bank Mandiri Persero Tbk dan PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk.

 

Tim kuasa hukum 02 menganggap jabatan Ma’aruf tersebut termasuk dalam BUMN. Sehingga, Ma’ruf dianggap tidak memenuhi kualifikasi persyaratan cawapres seperti yang diatur dalam Pasal 227 huruf p UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

 

Pasal tersebut menyatakan bahwa saat pendaftaran, bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden harus menyertakan surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu. Saat pendaftaran tersebut, Ma'ruf masih tercatat sebagai pejabat di Bank BSM dan BNI Syariah.

 

Menanggapi tudingan tersebut, pihak pasangan Jokowi-Ma’ruf menyatakan posisi Ma’ruf tidak termasuk dalam jabatan BUMN karena hanya tercatat sebagai Dewan Pengawas Syariah. Selain itu, posisi Ma’ruf juga berada dalam anak usaha BUMN yang tidak dapat dikategorikan sebagai perusahaan BUMN.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz menyampaikan polemik tersebut dapat diputuskan secara mudah dengan merujuk UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 19/2003 tentang BUMN secara bersamaan. Kemudian, masing-masing aturan tersebut dapat dipahami secara lex specialis (khusus).

 

Dia menjelaskan dalam Pasal 1 angka 5 UU No 17/2003 menyatakan, perusahaan negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Kemudian Pasal 1 angka 6 menyatakan, Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

 

(Baca: Ketidakjelasan Hukum di Balik Polemik Gugatan Jabatan Ma’ruf Amin)

 

Lalu, Pasal 1 angka 1 UU No. 19/2003 menyatakan, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pasal 1 angka 1 PP No. 54/2017 tentang BUMD menyatakan, BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.

 

Berdasarkan ketentuan tersebut maka UU Keuangan Negara bisa ditafsirkan bahwa satu lembar saham sudah termasuk suatu perusahaan merupakan perusahaaan negara atau daerah. Namun, kalau menggunakan rezim korporasi BUMN/BUMD maka suatu perusahaan dikatakan BUMN/BUMD jika sahamnya dimiliki oleh 51% oleh negara.

 

Apabila ditilik lebih lanjut mengenai definisi anak usaha BUMN, berdasarkan putusan MA No.21 P/HUM/2017 adalah dalam konteks holdingisasi yaitu akibat lahirnya PP No.72/2016 tentang perubahan PP 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara. Namun, PP tersebut belum bisa berjalan efektif jika tidak ada PP khusus holding sektor yang akan membentuk holding dan perusahaan subsidiary BUMN.

 

Saat ini baru ada sektor tambang dan infrastruktur sedangkan perbankan sama sekali belum ada hingga saat ini,” katanya.

 

Menurut Aziz, putusan MA tersebut dapat dikaitkan dengan definisi perusahaan negara atau daerah pada UU Keuangan Negara. “Sampai sini, anak usaha BUMN bisa dikatakan sebagai BUMN karena meski satu lembar saham saja, namun oleh karena masuk definisi sebagian memiliki dan adanya hak istimewa berupa kontrol terhadap perusahaan berupa pergantian direksi atau komisaris, maka anak usaha bisa dikatakan BUMN atau BUMD,” jelasnya.

 

Dalam polemik jabatan Ma'ruf, Aziz menilai definisi perusahaan negara dan perushaaan daerah di UU Keuangan Negara, UU BUMN dan PP BUMD maka anak usaha seperti BSM dan BNI Syariah tidak dimiliki negara. Sebab, rezim hukum perusahaan yang dipahami saat ini menitikberatkan pada kepemilikan bukan pengendalian. Sehingga secara teknis, nama negara tidak akan tercantum dalam kepemilikan anak usaha BUMN dan BUMD. 

 

Dalam kepemilikan saham BSM maka komposisi kepemilikan saham dikuasai Bank Mandiri (99,98%) dan Mandiri Sekuritas (0,02%). Sehingga, tidak ada kepemilikan negara atau pemerintah disitu meski hanya 1 lembar saja. Sama halnya dengan BNI Syariah yang sahamnya dimiliki BNI (99,94%) dan BNI Life Insurance (0,06%).

 

“Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa BSM bukanlah BUMN,” jelas Aziz.

 

Sebelumnya, ahli Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang menjelaskan bahwa secara teori hukum bahwa anak perusahaan tidak termasuk dalam BUMN, penyelenggara negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Anak usaha BUMN adalah entitas hukum tersendiri dan terpisah dengan BUMN dan negara.

 

Namun, Dian mengatakan teori tersebut tidak sesuai dengan praktik penerapan putusan pengadilan yang mengarah bahwa anak usaha termasuk dalam BUMN.

 

“Dalam praktik penerapan putusan pengadilan, termasuk putusan MK Nomor 48 dan 62 Tahun 2013 dan norma perundang-undangan termasuk persepsi penegak hukum, anak perusahaan BUMN adalah kekayaan dan keuangan negara yang tidak terlepas dari bumn dan negara. Hal ini sudah saya prediksi dalam praktik ketatakelolaan pasti akan menimbulkan kerumitan, ketidakpastian, ketidak-konsistenan dalam penerapan hukum tertentu,” jelas Dian.

 

Persoalan tersebut tentunya berlanjut pada kejelasan posisi seseorang dalam anak perusahaan dapat dikategorikan pejabat BUMN. Menurut Dian, seseorang yang menjabat pada anak usaha tersebut secara teori tidak termasuk dalam pejabat BUMN. Sayangnya teori tersebut ditentang pemerintah, DPR, aparat penegak hukum serta pengadilan.

 

“Teori ini ditentang oleh pembentuk undang-undang sendiri yaitu pemerintah dan DPR, aparat penegak hukum dan pengadilan yang katanya menyatakan keuangan apapun yang bersumber, diperoleh, dan berasal dari negara adalah keuangan negara dan tidak lepas dari negara. Yah kalau konteksnya demikian ya larangan menjabat jabatan BUMN juga melekat pada semua lini aliran keuangan BUMN, baik anak perusahaan, perusahaan terafiliasi atau perusahaan rekanan misalnya, kan repot,” jelasnya.

 

Sehingga, gugatan jabatan Ma’ruf di MK ini menjadi tolok ukur ketegasan hukum. “Makanya, saya ingin tahu Mahkamah Konstitusi dan pemerintah berpandangan apa dengan situasi tersebut, saya ingin tahu sejauh mana konsistensi semua pihak mempertahankan keuangan negara itu ada di mana-mana sebagai yang terbaik menurut mereka,” katanya.

 

Menurutnya, ada teori transformasi yang digagas Prof. Arifin P Soeria Atmadja yang menyatakan adanya perubahan status hukum keuangan dan kelembagaan sehingga anak usaha tidak termasuk BUMN. Dia juga menambahkan terdapat tiga kunci yang menyatakan keuangan menjadi keuangan negara apabila tata kelola, regulasi dan risiko dibebankan berdasarkan mekanisme APBN.

 

Jika mengacu pada teori tersebut, Dian menyatakan, Dewan Pengawas Syariah pada anak perusahaan BUMN secara jelas dan tegas merupakan jabatan yang dikecualikan dalam Pasal 227 huruf p UU Pemilu. Namun, apabila MK konsisten menyatakan anak usaha termasuk BUMN maka posisi Ma’ruf dapat dikategorikan sebagai pejabat BUMN.

 

Sebab, posisi Dewan Pakar Syariah termasuk pejabat struktural formal yang bertugas memberi pertimbangan dan nasihat sehubungan hukum dan fatwa perbankan dan produknya. Selain itu, dia juga menyatakan perlu melihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga untuk mengetahui lebih jelas tugas Dewan Pengawas Syariah.

 

“Saya berharap kasus ini, menyadarkan negara, pembentuk undang-undang, peradilan, dan aparatur penegak hukum serta auditor negara mengambil hikmahnya dan bijaksana memahami ruang lingkup keuangan negara secara benar dan sesuai teori hukum keuangan, bukan persepsi,” jelasnya.

 

Tags:

Berita Terkait