Begini Nasib ‘Gugatan’ Perppu Covid-19 Setelah Disetujui DPR
Berita

Begini Nasib ‘Gugatan’ Perppu Covid-19 Setelah Disetujui DPR

Pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 kehilangan objek permohonan karena Perppu sudah disetujui DPR menjadi UU. Para pemohon bisa mengajukan permohonan baru setelah UU disahkan Presiden dan dimuat dalam lembaran negara serta diberi nomor.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 telah disetujui DPR. Ketua DPR Puan Maharani mengetuk palu sidang dalam rapat paripurna di Komplek Gedung Parlemen sebagai tanda persetujuan disahkannya Perppu 1 Tahun 2020 menjadi UU pada Selasa 12 Mei 2020 kemarin.

 

Namun, saat ini materi muatan Perppu No. 1 Tahun 2020 masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memasuki sidang perbaikan. Lantas, bagaimana nasib pengujian Perppu yang sudah disahkan DPR menjadi UU ini? Dan bagaimana implikasinya nanti jika Perppu No. 1 Tahun 2020 ini sudah memiliki nomor UU?

 

Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso mengatakan pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 saat ini masih tetap berproses di MK dan disidangkan seperti biasa. Sebab, saat ini Perppu masih tahap disetujui oleh DPR, belum disetujui oleh Presiden dan diundangkan dalam lembaran negara yang nantinya akan memiliki nomor UU.

 

“Namun, jika Perppu tersebut sudah menjadi UU, maka alasan permohonan yang diajukan para pemohon kehilangan obyek dan bisa saja MK memutus dengan amar putusan tidak dapat diterima,” kata Fajar kepada Hukumonline, Kamis (14/5/2020). (Baca Juga: Pembentuk UU Jelaskan Rasionalitas Perppu 1/2020 Saat Disahkan)

 

Ia menjelaskan hingga saat ini uji materi Perppu No. 1 Tahun 2020 obyeknya masih ada. Sebab, Perppu ini belum ditandatangani Presiden Jokowi, dinomori, dan dimuat dalam lembaran negara. “Nantinya tidak sampai melewati 30 hari, Perppu ini otomatis resmi berlaku sebagai UU terlepas Presiden menandatangani atau tidak. Kalau Presiden sudah mau tanda tangan UU itu besok atau lusa, berarti saat itu juga UU sudah berlaku, bisa langsung dimohonkan lagi uji materi ke MK.”

 

Namun yang pasti, kata dia, pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 sudah kehilangan objek karena sudah disahkan DPR menjadi UU. Kalaupun ingin terus melanjutkan uji materi Perppu yang telah menjadi UU dan diberi nomor harus mengajukan permohonan baru.   

 

“Jadi, harus melalui permohonan baru untuk tetap melakukan uji materi norma-norma yang ada dalam Perppu yang telah menjadi UU. Sebab, objeknya sudah berbeda yang tadinya berbentuk Perppu telah menjadi UU,” katanya.

 

Untuk diketahui, Kamis 14 Mei 2020, MK masih menggelar sidang pengujian Perppu No. 1 Tahun 2020 dengan agenda perbaikan permohonan dari tiga permohonan pengujian. Pertama, Perkara No. 23/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, Amien Rais, dan 21 Pemohon lain dari berbagai latar belakang profesi. Kedua, Perkara No. 24/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Bintang Solo Indonesia 1997, dan 3 lembaga serta perkumpulan lain. Ketiga, Perkara No. 25/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai pengacara dan aktivis organisasi kemanusiaan.

 

Permohonan Perkara Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang diwakili oleh Ahmad Yani menilai Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 16, Pasal 23, Pasal 27, dan Pasal 28 Perppu Penanganan Covid-19 bertentangan dengan UUD 1945. Menurutnya, Perppu a quo tidak memenuhi parameter adanya “kegentingan yang memaksa” sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019.

 

Sementara dalam Perppu a quo, lebih banyak dibahas masalah keuangan dan anggaran negara berupa pemberian kewenangan bagi Pemerintah untuk menentukan batas defisit anggaran di atas 3 persen terhadap UU APBN hingga tahun 2022. Pengaturan demikian, kata Ahmad, bertentangan dengan karakter periodik UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 karena mengikat tiga periode sekaligus.

 

Para Pemohon juga melihat ketentuan norma a quo membuka peluang defisit anggaran di atas 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tanpa menentukan batasan maksimalnya. Sehingga secara langsung, ketentuan ini membatasi daya ikat kewenangan DPR untuk memberikan persetujuan APBN. Padahal, ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 menyebut UU APBN harus mendapatkan persetujuan rakyat yang diwakili oleh DPR.

 

Pasal 27 ayat (1) Perppu Penanganan Covid-19 ini memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Hal tersebut karena di dalam pasalnya disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemik, termasuk dalam bidang kebijakan perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara.

 

Dengan demikian, menurutnya norma a quo memberi keistimewaan bagi pejabat tertentu untuk menjadi kebal hukum. Ketentuan ini menunjukkan pula Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak dapat melaksanakan tugasnya apabila merujuk ketentuan tersebut.

 

Salah satu Pemohon Perkara Nomor 24/PUU-XVIII/2020 Boyamin Bin Saiman mengutip Pasal 27 ayat (1) Perppu ini yang menyebutkan biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan kerugian negara. Padahal sumber keuangan tersebut berasal dari keuangan negara. Hal ini memberi imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan. “Pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.”

 

Menurutnya, dalam Pasal 27 ayat (2) Perppu terdapat kata “jika” yang dapat saja dijadikan dalih bagi Presiden atau Pemerintah untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum. Karena itu, kata “jika” dapat bersifat multitafsir dan pejabat akan berlindung dari frasa “itikad baik” untuk lepas dari tuntutan hukum.

 

“Jika imunitas ini perlu diberikan, maka batasannya harusnya bersyarat, sehingga kekebalan ini seharusnya tidak merugikan rakyat termasuk para Pemohon,” kata Boyamin.

 

Sementara Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 25/PUU-XVIII/2020 Arvid Martdwisaktyo menyebutkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perppu Penanganan Covid-19 melanggar hak konstitusional untuk mendapat informasi atas penggunaan keuangan negara dalam penanganan Covid-19 dan menutup upaya pengawasan hukum oleh lembaga peradilan. Pasal tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan tanggung jawab.

 

“Pasal itu telah menutup pula pertanggungjawaban Pemerintah dalam menggunakan APBN. Karena hal ini menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara, sehingga menandakan telah terjadinya kemunduran hukum di Indonesia.”

Tags:

Berita Terkait