Begini Modus Penyebaran Hoaks Via WhatsApp
Berita

Begini Modus Penyebaran Hoaks Via WhatsApp

Kemenkominfo menerima 733 aduan konten hoaks yang disebar via WhatsApp di tahun 2018.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, menegaskan perhatian pemerintah dalam menekan angka penyebaran hoaks. Meskipun tidak bisa menjamin 100% hoaks tidak akan tersebar.   

 

"Tugas kita adalah mitigasi risiko. Bagaimana menekan penyebaran, membuat angkanya serendah mungkin," ungkap Rudiantara usai bertemu dengan VP Public Policy & Communications WhatsApp, Victoria Grand di Kantor Kementerian Kominfo, Senin (21/1) sore, seperti dlansir situs Kemenkominfo

 

Rudiantara menjelaskan modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial dan aplikasi pesan instan. "Modus penyebaran hoaks menggunakan media sosial, posting dulu di FB, kemudian diviralkan melalui WA. Kemudian akun FB yang posting tadi dihapus. Ini yang kita perhatikan number of virality," papar Rudiantara.

 

Oleh karena itu, Rudiantara mengapresiasi kebijakan pembatasan meneruskan (forward) pesan hanya sampai lima kali dalam chat secara personal maupun komunikasi grup WhatsApp.

 

"Pembatasan itu membantu meminimalisir konten negatif dan hoaks. Batasan jumlah forward bertujuan amat baik untuk mengurangi potensi viralnya hoaks," ungkap Rudiantara.

 

Seperti diketahui, Indonesia sedang memasuki tahun politik. pemilu bukanlah hal yang baru karena sebagai negara demokrasi pemilu telah diselenggarakan untuk pertama kalinya pada tahun 1955. Pada April 2019 Indonesia akan kembali menggelar pesta demokrasi sebagai bentuk penjaminan hak politik warga negara yang lebih istimewa, karena untuk pertama kalinya pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dilakukan serentak pada waktu yang bersamaan secara nasional.

 

Kendati demikian, di tengah persiapan pesta demokrasi yang seharusnya diwarnai oleh rasionalitas, muncul berbagai berita bohong atau hoaks di tengah-tengah masyarakat yang tidak bisa diabaikan karena penyebarannya yang semakin cepat dan masif dengan menggunakan teknologi informasi.

 

Perkembangan teknologi informasi selain berdampak positif terhadap kemajuan bangsa, juga mempengaruhi kondisi pergelaran pemilu, terutama dalam konteks banyaknya disinformasi, ujaran kebencian, dan konten-konten yang mengandung berita bohong, yang bertebaran dan mengadu domba.

 

Sejak Agustus 2018 - 21 Januari 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima laporan konten hoaks yang disebarkan melalui aplikasi pesan instan WhatsApp sebanyak 43 konten hoaks.  Berdasarkan rekapitulasi tahunan, Kementerian Kominfo paling banyak menerima aduan konten hoaks sebanyak 733 laporan di Tahun 2018.

 

Sesuai hasil pemantauan Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, laporan terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2018, yakni sebanyak 16 konten hoaks yang disebarkan melalui platform WhatsApp. 

 

Pada bulan Agustus 2018 terdapat laporan 2 konten hoaks, September 2018 ada 5 konten hoaks, November 2018 sebanyak 8 laporan konten dan Desember 2018 sebanyak 10 laporan konten hoaks. Sementara sampai pada 21 Januari 2019 terdapat 2 laporan konten hoaks yang disebarkan melalui WhatsApp.

 

Pengelolaan pengaduan konten negatif yang disebarkan melalui aplikasi pesan instan sudah dilakukan oleh Kementerian Kominfo sejak tahun 2016. Di tahun 2016 terdapat 14 aduan konten, dimana konten terbanyak yang dilaporkan adalah konten yang termasuk kategori separatisme dan organisasi yang berbahaya.

 

(Baca Juga: Cegah Hoaks, Jumlah ‘Forward’ Pesan WhatsApp Dibatasi 5 Kali)

 

Pada tahun 2017, jumlah aduan meningkat menjadi 281 aduan. Adapun konten terbanyak dilaporkan adalah konten penipuan sebanyak 79 laporan. Sementara di tahun 2018, sebanyak 1440 laporan yang berkaitan dengan konten negatif. Terbanyak kategori laporan adalah konten yang meresahkan atau hoaks yaitu sebanyak 733 laporan.

 

Hukumonline.com

Sumber: Kemenkominfo

 

Persiapan Facebook

Facebook menyatakan sudah menyiapkan berbagai langkah menjaga kondusivitas pemilihan umum terkait beredarnya informasi palsu atau hoaks, termasuk Pilpres di Indonesia yang akan berlangsung pada April mendatang.

 

"Kami bekerja sangat keras untuk menjaga keamanan Pemilu di Indonesia," kata Direktur Politik Global dan Perpanjangan Pemerintah Facebook, Katie Harbath, saat jumpa pers di Jakarta, Senin (21/1) lalu, seperti dikutip Antara.

 

Facebook memperhatikan aktivitas para pengguna platform tersebut dan segera menutupnya jika terbukti akun palsu. Facebook menggunakan mesin berbasis kecerdasan buatan atau AI untuk mendeteksi perilaku tidak wajar sebuah akun.

 

Aktivitas yang dianggap tidak wajar antara lain menambahkan ribuan teman setelah membuat sebuah akun dan aktif mengunggah di banyak grup dalam waktu yang singkat. "98 persen akun kami hapus bahkan sebelum ada laporan dari pengguna," kata Harbath.

 

Facebook juga menggunakan machine learning untuk memeriksa tautan yang dibagikan. Jika mereka menemukan informasi yang dibagikan meragukan, Facebook akan mengirimkannya ke pengecek fakta (fact checker).

 

Setelah terdeteksi informasi palsu, Facebook akan menurunkan sebarannya. Facebook akan memberi notifikasi pada pengguna yang menyebarkan hoaks tersebut, bahwa informasi tersebut tidak benar dan sebaiknya tidak disebarkan.

 

Facebook juga bertindak untuk ujaran kebencian (hate speech), mereka bekerja sama dengan badan penyelenggara pemilu di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk membuat kategori ujaran kebencian sesuai dengan konteks lokal.

 

Facebook juga sudah menyiapkan kemungkinan intervensi dari luar negeri terhadap pemilu, misalnya, ada pengguna asing yang membuat akun dan mengaku dari Indonesia dan memiliki agenda tertentu. Aktivitas seperti ini dicurigai terjadi saat Pilpres di Amerika Serikat pada 2016 lalu, Rusia dituduh ikut campur dalam pemilu saat itu.

 

Facebook mengidentifikasi aktivitas tersebut dengan mesin dan tim, termasuk bekerja sama dengan organisasi lokal. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait