Begini Mekanisme Penerbitan dan Pengesahan Perppu
Berita

Begini Mekanisme Penerbitan dan Pengesahan Perppu

Sikap DPR setuju atau tidak terhadap Peprpu ditetapkan dalam Rapat Paripurna.

Muhammad Yasin/Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Presiden mempertimbangkan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai respons atas ramainya penolakan terhadap sejumlah RUU kontroversial, terutama revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Penerbitan Perppu merupakan salah satu opsi yang dapat ditempuh Presiden atas penolakan masyarakat.

 

Presiden bisa saja tidak menandatangani hasil revisi. Tetapi tindakan ini tak akan mengubah status pengesahan revisi UU KPK. Pertama, sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, suatu RUU yang sudah disetujui bersama menjadi Undang-Undang wajib diundangkan paling lambat 30 hari sekalipun Presiden tidak mau membubuhkan tanda tangan. Artinya, revisi UU KPK tetap akan berlaku setelah masa 30 hari dari tanggal pengesahan lewat.

 

Kedua, penolakan menandatangani dapat menjadi ironi karena selama proses pembahasan,  Presiden telah mengutus dua menterinya untuk bersama-sama membahas RUU Perubahan  Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 itu. Namun demikian, dalam praktik kenegaraan, pernah terjadi Presiden mengirim utusan tetapi enggan meneken setelah RUU disetujui bersama. UU Advokat menjadi contohnya.

 

Perppu adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi otoritas Presiden. Materi muatannya sama dengan materi muatan Undang-Undang. Bedanya, Perppu diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa. Dengah kata lain, Presiden dapat sewaktu-waktu menerbitkan Perppu sepanjang Presiden menganggap ada kegentingan yang memaksa.

 

Apa itu kegentingan yang memaksa? Berdasarkan penelitiannya terhadap Peprpu yang pernah diterbitkan di Indonesia, dosen Universitas Atma Jaya Jakarta, Daniel Yusmic, berkesimpulan bahwa syarat kegentingan yang memaksa itu merupakan subjektif presiden. Artinya, subjektif presiden sangat menentukan ada tidaknya kegentingan yang memaksa. Kegentingan itu bisa berupa kondisi ekonomi, kondisi politik, kondisi keamanan. Bisa juga karena kondisi kedaruratan hukum.

 

Dalam Perppu harus disampaikan alasan-alasan penerbitannya. Lalu, Presiden membubuhkan tanda tangan pada bagian akhir Perppu. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 menyebutkan tiga syarat kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

 

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.

 

(Baca juga: Akses Informasi atas Pembahasan RUU Perlu Dipertegas).

 

Konsekuensi persetujuan

Setelah terbit, Perppu itu harus diajukan ke DPR pada persidangan berikutnya. Dalam hal Perppu atas revisi UU KPK, misalnya, benar-benar diterbitkan Presiden, maka Perppu ini diajukan pada masa persidangan anggota DPR baru karena masa sidang anggota DPR 2014-2019 sudah berakhir pada 30 September. Pada 1 Oktober 2019 anggota DPR baru sudah dilantik.

 

Penting dicatat bahwa yang diajukan Presiden ke DPR bukan langsung materi Perppu, melainkan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Perppu. Anggota DPR, sesuai Pasal 52 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011, tinggal memberikan persetujuan atau tidak. Opsinya: setuju atau tidak. Pandangan DPR itu diputuskan dalam rapat paripurna.

 

Jika DPR memberikan persetujuan, maka status Perppu itu berubah menjadi Undang-Undang. Dengan kata lain Perppu ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan perlakuan terhadap Undang-Undang berlaku (seperti pengundangan ke dalam Lembaran Negara).

 

(Baca juga: Inkonsistensi UU KPK Baru dari Sisi HAM).

 

Konsekuensi penolakan

Sebaliknya, jika DPR tidak setuju alias menolak mengesahkan Perppu, Presiden harus mencabut Perppu dan harus menyatakan Perppu itu tidak berlaku. Apakah Presiden bisa langsung menetapkan Perppu itu tidak berlaku?

 

Jika dibaca dari konstruksi Pasal 52 ayat (6) UU No. 12 Tahun 2011, tampaknya Presiden tidak dapat langsung menetapkan pencabutan. Jawabannya :DPR atau Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. RUU yang disebut terakhir mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu. RUU itu kemudian dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

 

Sesuai ketentuan Pasal 22 Perpres No. 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penetapan atau pencabutan Perppu masuk dalam daftar RUU kumulatif terbuka.

 

Misalkan anggota DPR baru menolak Perppu yang diusulkan Presiden Jokowi mengenai revisi UU KPK, konsekuensinya Perppu itu dicabut. Yang berlaku adalah UU sebelumnya, yakni UU KPK hasil revisi.  

 

Tags:

Berita Terkait