Begini Masukan Peradi Pimpinan Luhut Terkait Pelaksanaan Eksekusi Putusan
RUU Hukum Acara Perdata

Begini Masukan Peradi Pimpinan Luhut Terkait Pelaksanaan Eksekusi Putusan

Ada lima poin penting yang perlu menjadi perhatian terkait pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Peradi RBA terkait pembahasan RUU Hukum Acara Perdata di ruang Komisi III DPR, Kamis (2/6/2022). Foto: RFQ
Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Peradi RBA terkait pembahasan RUU Hukum Acara Perdata di ruang Komisi III DPR, Kamis (2/6/2022). Foto: RFQ

Pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan dalam draf Rancangan Hukum Acara Perdata seharusnya lebih struktur ketimbang Herzien Inlandsh Reglement (HIR) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB). Namun dalam RUU Hukum Acara Perdata belum merespon permasalahan eksekusi yang dikeluhkan masyarakat. Khususnya soal tata kelola eksekusi dan prosedur eksekusi yang mewujudkan proses eksekusi yang efektif dan efisien.

Demikian sekelumit masukan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pimpinan Luhut MP Pangaribuan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengar Panja RUU Hukum Acara Perdata di ruang Komisi III DPR, Kamis (2/6/2022) pekan lalu. “Ada beberapa hal yang masih terjadi kekurangan pengaturan atau perlu penambahan terkait proses eksekusi,” ujar Ketua Bidang Probono dan Bantuan Hukum Peradi Pimpinan Luhut, Febi Yonesta.

Pertama, pengajuan permohonan aanmaning. Menurutnya, perlu diatur setelah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kapan batas waktu aanmaning harus didaftarkan ke pengadilan dan kepastian waktu pelaksanaan eksekusi putusan. Ini seperti halnya, proses persidangan diatur waktu penyelesaiannya.  

Draf RUU Hukum Acara Perdata belum mengatur kapan batas waktu aanmaning harus didaftarkan. Ketiadaan batas waktu yang pasti berdampak eksekusi putusan bisa bertahun-tahun,” kata Febi.

Hal ini demi mewujudkan proses eksekusi yang efektif dan efisien serta sejalan dengan asas hukum peradilan cepat, mudah, sederhana dan berbiaya ringan. Tentu saja batas waktu yang ditentukan memprediksi waktu mulai menelaah, membuat resume, hingga mempersiapkan kelancaran kegiatan persiapan eksekusi.

Baca Juga:

Kedua, batas waktu penelaahan permohonan aanmaning yang dilakukan ketua pengadilan, hingga menghasilkan resume permohonan dikabulkan atau permohonan aanmaning ditolak. Peradi mengusulkan perlu ditentukan batas waktu paling lama 30 hari sejak permohonan aanmaning didaftarkan. Selanjutnya, pengadilan harus memberitahukan informasi perkembangan proses eksekusi ke pihak pemohon, serta meminta kelengkapan persyaratan yang diperlukan.

Merujuk Pasal 210 draf RUU Hukum Acara Perdata, ternyata belum mengatur batas waktu ketua pengadilan menolak atau menunda sebagian atau seluruhnya pelaksanaan putusan yang diajukan oleh pemohon. Selain itu, surat permohonan aanmaning semestinya dibuat dengan format standar dan syarat-syarat apa saja yang harus dilengkapi pemohon.

Ketiga, pemanggilan termohon aanmaning dan penetapan eksekusi. Menurutnya, selama ini pelaksanaan sidang aanmaning dilaksanakan sebanyak dua kali. “Semestinya perlu diatur sidang aanmaning kedua hanya boleh dilakukan bila termohon tetap berhalangan hadir dengan alasan yang jelas. Pada sidang aanmaning pertama dengan kedua tak boleh lebih dari 7 hari.”

Mengacu Pasal 212 draf Rancangan Hukum Acara Perdata belum mengatur soal sidang aanmaning kedua dapat dilakukan dengan alasan termohon berhalangan. Karenanya, menjadi penting agar diatur dengan menambahkan frasa “apabila berhalangan hadir pada sidang aanmaning pertama, termohon dapat dipanggil kembali untuk menjadwal sidang aanmaning berikutnya”. Kemudian, “maksimal panggilan hanya dua kali, bila tidak hadir hadir, termohon dianggap tidak menggunakan haknya menghadiri sidang aanmaning.”

Ketua Bidang Penelitian, Publikasi dan Pengembangan Organisasi Peradi, Zainal Abidin melanjutkan poin Keempat, mekanisme pengamanan dan biaya keamanan eksekusi. Menurut Zainal, mekanisme pengamanan eksekusi semestinya diatur dalam hukum acara perdata soal tata cara pengamanan pelaksanaan eksekusi ril. Sebab, dalam praktik pengaturan pengamanan eksekusi hanya diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI terkait bantuan pengamanan eksekusi.

“Semestinya pengamanan eksekusi cukup melibatkan unsur kepolisian dan apabila dalam kondisi tertentu diperlukan, pengadilan dapat meminta bantuan pengamanan dari unsur TNI, Satpol PP, Garnisun,” ujarnya.

Menurutnya, dalam praktik selama ini pelaksanaan eksekusi unsur yang dilibatkan, seperti Polda, Polres, Kodim, Koramil, Polsek, Walikota/Satpol PP, Kecamatan, Kelurahan. Sementara terkait dengan objek eksekusi tanah dan bangunan melibatkan Badan Pertanahan. Peradi melihat keterlibatan banyak unsur tidaklah efisien. Hal ini sering menjadi kendala ketidakmampuan pemohon dalam menyiapkan operasional eksekusi.

Masalahnya, kata Zainal, hambatan pelaksanaan eksekusi akibat persoalan beban biaya yang mesti ditanggung pemohon. Karena itu, pengamanan pelaksanaan eksekusi cukup melibatkan unsur kepolisian. Tapi dalam kondisi tertentu, pengadilan dapat memanggil unsur lainnya. Usulan lainnya, biaya pengamanan eksekusi perlu diatur dan disetorkan resmi ke kas negara dengan ditentukan menyesuaikan nilai objek.

“Saat ini pengaturan pengamanan eksekusi hanya diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf F UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang mengatur memberikan bantuan pengamanan sidang pada pelaksanaan putusan pengadilan,” ujarnya.

Kelima, eksekusi grosse akta (akta pengakuan utang). Menurutnya, dalam hukum acara perdata semesti mengatur pengaturan eksekusi grosse akta atas hak tanggung dan fidusia. Pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan tanpa ditunda karena adanya gugatan yang diajukan debitur. “Karenanya perlu secara tegas diatur gugatan yang diajukan tidak menunda pelaksanaan eksekusi.”

Padahal secara hukum, grosse akta ada pengakuan utang yang prinsip hukumnya setingkat dengan putusan pengadilan (memiliki kekuatan eksekutorial). Namun faktanya, masih dapat digugat agar menunda eksekusi. Kondisi ini sangat merugikan pembeli lelang dengan menunggu waktu panjang atas eksekusi putusan perkara yang berkekuatan hukum tetap.

“Masalah ini dapat berpengaruh menurunkan terhadap minat pembeli lelang hak tanggungan yang tidak menunjukkan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pembeli beriktikad baik,” ujarnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Hukum Acara Perdata, Adies Kadir menilai masukan dari Peradi pimpinan Luhut menjadi bahan untuk memperkaya perumusan pasal-pasal dalam RUU KUHPerdata tersebut. Menurutnya, RUU Hukum Acara Perdata harus mampu merespon perkembangan zaman dan kebutuhan hukum di masyarakat. “Kita berharap hasilnya nanti bisa kita gunakan untuk kerja-kerja penegakan hukum,” kata Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar itu.

Tags:

Berita Terkait