Begini Hukumnya Menikah di Usia Dini
Terbaru

Begini Hukumnya Menikah di Usia Dini

Persoalan psikologis harus turut dipertimbangkan dalam pernikahan usia dini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Menikah merupakan perintah agama yang bertujuan untuk menjalankan ibadah dan mendekatkan diri ke sang pencipta. Seperti yang kita tahu, seluruh agama menganggap pernikahan adalah hal suci dan dilakukan dengan cara yang sakral. Dalam konteks ini, negara turut mengatur teknis dan prosedur perkawinan yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan.

Salah satu terkait perkawinan yang diatur oleh negara adalah batasan usia. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 16/2019) mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Namun bagaimana jika pernikahan yang digelar melibatkan pasangan usia dini?

Pada dasarnya, Pasal 2 UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Kemudian, setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga:

Untuk kasus pernikahan usia dini, yaitu yang calon suami/istrinya di bawah 19 tahun, pada dasarnya tidak dibolehkan oleh undang-undang. Selain itu, bila calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, ia harus mendapatkan izin kedua orang tua agar dapat melangsungkan pernikahan (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).

Meski pernikanan dini tidak dibolehkan, tapi berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 masih dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun tersebut, yaitu dengan cara orang tua pihak pria dan/atau wanita meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

Yang dimaksud dengan alasan sangat mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019. Permohonan disepensasi tersebut diajukan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam (Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019. Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan (Pasal 7 ayat (3) UU 16/2019)

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, secara hukum pernikahan dini masih dimungkinkan. Namun, pernikahan tersebut tidak dapat dilakukan sembarangan dan harus memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.

Kendati demikan, persoalan psikologis harus turut dipertimbangkan dalam pernikahan usia dini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dikutip dari artikel Klinik Hukumonline, psikolog Anna Surti Ariani yang biasa dipanggil Nina berpendapat bahwa menganjurkan atau membiarkan pernikahan dini adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Jika ada orang tua yang mengizinkan anaknya menikah di usia dini, maka dapat dikatakan ia melakukan tindak kekerasan terhadap anak.

Anak yang berumur di bawah 21 tahun sebetulnya masih belum siap untuk menikah. Ketidaksiapan anak menikah dapat dilihat dari 5 aspek tumbuh kembang anak yaitu: pertama dari sisi fisik. Fisik seorang anak pada usia remaja masih dalam proses berkembang. Kalau berhubungan seksual akan rentan terhadap berbagai penyakit, khususnya untuk perempuan.

Kedua, kognitif. Di usia anak dan remaja, wawasan belum terlalu luas, kemampuan problem solving dan decision making juga belum berkembang matang. Apabila ada masalah dalam pernikahan, mereka cenderung kesulitan menyelesaikannya.

Ketiga, bahasa. Anak dan remaja tidak selalu bisa mengomunikasikan pikirannya dengan jelas. Hal ini dapat menjadi masalah besar dalam pernikahan. Keempat, sosial. Jika menikah di usia remaja, kehidupan sosial anak akan cenderung terbatas dan kurang mendapatkan support dalam lingkungannya.

Dan kelima adalah emosional. Emosi remaja biasanya labil. Saat mendapatkan masalah akan lebih mudah untuk depresi dan hal ini berisiko terhadap dirinya sebagai remaja, dan anak yang dilahirkan dalam pernikahan. Selain itu, dengan emosi yang labil, anak/remaja yang menikah lebih sering bertengkar, sehingga pernikahannya tidak bahagia.

Menurut Nina, usia yang dianggap matang untuk menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Hal ini sesuai dengan program Pendewasaan Usia Perkawinan BKKBN.

Lebih lanjut, Nina menjelaskan ada beberapa cara untuk mencegah pernikahan dini yakni  perlu ada edukasi terhadap anak dan masyarakat luas tentang bahaya pernikahan dini dari segala aspek. Selain itu penting juga mempertegas payung hukum dari pemerintah mengenai pembatasan usia minimal untuk menikah.

Tags:

Berita Terkait