Begini Dampak Ekonomi Digital Terhadap Hubungan Industrial
Berita

Begini Dampak Ekonomi Digital Terhadap Hubungan Industrial

Pengusaha yang bisnisnya tidak mampu menghadapi perkembangan ekonomi digital berpotensi bangkrut, buruh terancam PHK.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Perkembangan ekonomi digital dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemajuan yang pesat. Hampir seluruh sektor bisnis dituntut untuk mengikuti tren digital yang saat ini berkembang di antaranya melalui medium telepon pintar. Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengingatkan walau perkembangan digital itu semakin memudahkan aktivitas masyarakat tapi ada risiko yang perlu diantisipasi terutama oleh pemangku kepentingan di bidang ketenagakerjaan.

 

Hanif melihat industri yang saat ini masih menggunakan mekanisme konvensional dipaksa bertranfsormasi menjadi digital dan berteknologi. Bagi perusahaan yang mampu mengelola transformasi itu dengan baik relatif bisa bertahan menghadapi perkembangan. Sebaliknya, jika itu tidak mampu dilakukan perusahaan terancam gulung tikar. Atau bisa juga bertahan tapi berpeluang melakukan efisiensi yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

“Ini akan mengubah karakter pekerjaan di masa depan. Perkembangan teknologi informasi akan membunuh pekerjaan yang ada sekarang tapi menciptakan pekerjaan baru,” kata Hanif dalam rapat koordinasi di Jakarta, Selasa (30/1).

 

Mengingat karakter pekerjaan berubah, kompetensi yang perlu dimiliki buruh juga harus menyesuaikan. Dalam membangun SDM Hanif menekankan pentingnya kualitas tenaga kerja yang selaras kebutuhan industri. Kemudian jumlahnya harus masif dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia.

 

Terpisah, Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin, mengatakan perkembangan digital berdampak pada bidang ketenagakerjaan. Industri pers khususnya media cetak sangat merasakan dampak tersebut karena digitalisasi mengubah pola konsumsi masyarakat. Sebelum digitalisasi berkembang pesat, masyarakat banyak berlangganan media cetak untuk mendapatkan informasi. Ketika itu media cetak masih memperoleh keuntungan yang besar selain dari pembaca yang membeli juga pengiklan.

 

Setelah era digital semakin berkembang, Nawawi menyebut masyarakat bisa mudah mengakses informasi bukan lagi dari media cetak tapi perangkat digital seperti telepon pintar. Media cetak mencoba mengikuti tren itu dengan membuat konten digital melalui web dan medium lainnya yang bisa diakses melalui telepon pintar. Media cetak berharap digitalisasi itu bisa menampung sumber pendapatan yang selama ini mereka dapat dari iklan. Sayangnya, harapan itu tidak terwujud. Alih-alih memasang iklan di perusahaan media, para pengiklan lebih memilih media sosial.

 

“Pada era digitalisasi seperti sekarang yang kebanjiran iklan bukan perusahaan media daring tapi media sosial,” kata Nawawi dalam diskusi di Jakarta, Kamis (1/2).

 

Kondisi itu membuat bisnis media menghadapi krisis karena keuntungan yang dicapai tidak seperti masa sebelumnya. Ujungnya, yang berpotensi menjadi korban yakni buruh dan keluarganya. Tidak sedikit para jurnalis dan pekerja di perusahaan media mengalami masalah ketenagakerjaan karena perusahaan tempat mereka bekerja tidak mampu mengadapi arus digitalisasi.

 

Berbagai bentuk pelanggaran normatif yang dialami buruh di perusahaan media tersebut seperti upah di bawah standar, hak kepastian bekerja dan jaminan sosial. Ada juga yang mengalami PHK sepihak, upah tidak dibayar penuh dan dicicil, atau di mutasi ke bagian lain dengan harapan si pekerja mengundurkan diri.

 

Menurut Nawawi, pemerintah kurang tanggap mengantisipasi dampak digitalisasi terhadap industri media dan seolah melakukan pembiaran. Pemerintah perlu menyoroti dampak digitalisasi terhadap pekerja media, misalnya perusahaan memerintahkan 1 jurnalis untuk menghasilkan berita tapi dimuat di banyak medium seperti web, cetak, dan TV. Ada juga jurnalis yang merangkap menjadi marketing, walau menyandang dua jabatan tapi si jurnalis hanya mendapat 1 upah. “Pemerintah perlu menerbitkan kebijakan guna mengantisipasi persoalan ini,” katanya.

 

Nawawi mengusulkan kepada perusahaan media yang tidak bisa mengikuti arus digitalisasi sehingga bisnisnya bangkrut untuk patuh terhadap peraturan ketenagakerjaan ketika mengambil langkah yang berdampak kepada pekerja. Jika melakukan PHK, ada prosedur yang harus dipenuhi antara lain kompensasi minimal sesuai amanat UU Ketenagakerjaan.

 

Baca:

 

Tunjangan Pengangguran

Sebelumnya Hanif menyebut pemerintah saat ini merancang program peningkatan keterampilan dan tunjangan pengangguran bagi buruh yang terkena PHK. Lewat program itu buruh yang terkena PHK akan mendapat pelatihan dan tunjangan. Tunjangan itu diberikan sampai buruh yang bersangkutan mendapat pekerjaan baru.

 

Menurut Hanif idealnya program ini masuk dalam skema asuransi sosial. Dengan begitu program tersebut lebih terjamin keberlanjutannya. Namun, untuk mewujudkan itu dibutuhkan upaya yang besar seperti mengubah peraturan mengenai jaminan sosial khususnya bidang ketenagakerjaan.

 

Hanif belum bisa memastikan kapan program peningkatan keterampilan dan tunjangan pengangguran ini bisa berjalan. Yang jelas saat ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Keuangan masih melakukan pembahasan. “Kami masih membahas kebijakan ini dengan Kementerian Keuangan bagaimana skemanya,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait