Begini Cara People’s Tribunal 1965 'Blusukan' Mencari Hakim
Laporan Khusus

Begini Cara People’s Tribunal 1965 'Blusukan' Mencari Hakim

Dari mencari melalui google, hingga menyambangi rumah (calon) hakim. Ada juga yang menolak ikut serta.

ALI
Bacaan 2 Menit
Searah jarum jam: Cees Flinterman, Shadi Sadr, Sir Geoffrey Nice, Zak Yacoob, Mireille Fanon Mendes France,Helen Jarvis, dan John Gittings. Foto: http://1965tribunal.org (kolase)
Searah jarum jam: Cees Flinterman, Shadi Sadr, Sir Geoffrey Nice, Zak Yacoob, Mireille Fanon Mendes France,Helen Jarvis, dan John Gittings. Foto: http://1965tribunal.org (kolase)
Persidangan Pengadilan Rakyat Internasional yang berlangsung selama empat hari di Den Haag, Belanda, sejak Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11) telah usai. Walau masih berupa putusan sela, majelis hakim telah menyatakan bahwa ada kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 1965 di Indonesia.

Pengadilan ini tentu tak akan bisa sukses diselenggarakan bila tanpa kehadiran unsur yang paling penting, yakni para hakim. Lalu, bagaimana sebenarnya penyelenggara IPT 1965 mengumpulkan para hakim-hakim ini?

Panitia Penyelenggara, Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan bagaimana dirinya dan beberapa panitia lain “blusukan” mencari dan mengumpulkan para pengadil tersebut.

“Masing-masing punya sejarah sendiri,” ujarnya ketika ditemui hukumonline usai pembacaan putusan sela majelis hakim IPT 1965 di Den Haag, Belanda (13/11).

Berikut adalah penuturan Nursyahbani bagaimana dirinya dan panitia mengumpulkan para hakim-hakim itu:

Zak Yacoob. Mantan hakim konstitusi asal Afrika Selatan ini “ditemukan” setelah Nursyahbani berkorespondensi dengan seorang hakim Mahkamah Konstitusi di negeri Nelson Mandela itu. “Saya kebetulan kenal seorang hakim konstitusi Afsel. Lalu, saya menulis email kepadanya,” ujarnya.

Si hakim menjawab tidak bisa ikut serta dalam penyelenggaraan IPT 1965 karena pada saat yang bersama mempunyai sesi di pengadilan tempatnya bertugas. “Lalu, dia merekomendasikan Zak Yacoob ini. Dikasih emailnya, ya saya email,” ujarnya.

Kisah selanjutnya tentu bisa ditebak. Zak Yacoob akhirnya menerima tawaran ini. Pria tuna netra bernama lengkap Zakeria Mohammed Yacoob ini bahkan mengemban tugas lebih besar di banding hakim yang lain, yakni memimpin persidangan IPT 1965.

Sir Geoffrey Nice. Keikutsertaan Geoffrey di IPT 1965 berasal dari rekomendasi seorang profesor hukum pidana internasional dari Amsterdam University. Nursyahbani menuturkan bahwa profesor ini mengetahui cukup banyak hakim-hakim dari International Criminal Tribunal for former Yugoslavia (ICTY). Nah, Geoffrey merupakan mantan jaksa untuk kasus Slobodan Milosevic.

“Kebetuan rumahnya dekat Saskia (Saskia Wieringa, panitia penyelenggara, -red), jadi kami datangi rumahnya,” ujar Nursyahbani.

Helen Jarvis. Hakim wanita ini “ditemukan” Nursyahbani dengan menggunakan mesin pencarian google. “Saya coba google, siapa yang terlibat di masalah Kamboja. Oh ketemu ini,” ujarnya.

Lalu, Nursyahbani mencoba memutar otak bagaimana menghubungi Helen. Pucuk di cinta ulam tiba, Helen sendiri yang kemudian tiba-tiba menghubunginya. Helen mengaku mendengar rencana penyelenggaraan IPT 1965 di Den Haag.

“Dia bilang kalau kamu butuh bantuan saya akan bantu. Lalu, saya minta aja sekalian (menjadi sebagai hakim,-red),” ungkapnya.

Shadi Sadr. Wanita ini pernah meraih Tulip Award untuk pembelaan terhadap hak asasi manusia. Dia juga seorang pembela hak perempuan dan juga kebebasan pers. “Seseorang mengenalnya, saya dihubungkan. Dia bersedia,” ujarnya.

John Gittings. Pria ini “ditemukan” oleh panitia dari anak Prof. Utrecht. “Kebetulan dia teman baik dari anaknya professor Utrecht, dan kita hubungi, lalu dia bersedia,” tuturnya lagi.

Cees Flinterman. Ia merupakan profesor kehormatan untuk bidang hak asasi manusia dari Utrecht University dan Maastricht University sejak 2007.

Mireille Fanon Mendes France. Wanita ini dikenalkan oleh teman-teman Nursyahbani di Perancis. Ia mengatakan ketika memilih Mireille sempat terjadi diskusi yang panjang. Mireille mengusulkan agar digelar Permanent People’s Tribunal, bukan International People’s Tribunal.

Dua jenis ‘pengadilan rakyat’ ini berbeda konsep. “Kalau permanent people’s tribunal itu, konsep dan data kita serahkan ke mereka. Lalu, mereka yang mengolah dan menentukan jaksa, hakim dan sebagainya,” ujarnya.

Sedangkan, International People’s Tribunal, seluruh konsep dipegang oleh panitia. Meski begitu, akhirnya, Mireille setuju dengan konsep IPT yang ditawarkan oleh Nursyahbani dan kawan-kawan. “Saya memilih IPT karena ini learning process bagi kita,” ungkapnya.

Ada Penolakan
Upaya panitia mencari dan mengumpulkan para hakim bukan tanpa penolakan. “Ada beberapa yang menolak,” ungkap Nursyahbani.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, seorang hakim konstitusi asal Afrika Selatan menolak ikut serta karena penyelenggaraan IPT bersamaan dengan sesi sidang di MK Afsel yang diikutinya. Meski begitu, ia akhirnya merekomendasikan Zak Yacoob.

Selain itu, ada juga Shirin Ebadi, peraih nobel untuk bidang HAM dari Iran. Wanita ini menolak ikut serta dalam IPT 1965 karena sudah berganti fokus perhatian dari isu-isu HAM ke isu-isu lingkungan. “Dia bilang kalau ada yang bisa dibantu, dia akan membantu, tetapi tidak sebagai hakim,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait