Begini “Cacat” Definisi Terorisme yang Disepakati DPR
Utama

Begini “Cacat” Definisi Terorisme yang Disepakati DPR

Unsur motif ideologi, politik, dan gangguan keamanan yang harus dibuktikan dalam definisi terorisme tersebut dinilai bermasalah. Dalam hukum pidana, delik (tindak pidana) ini menjadi delik politik.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Dengan kata lain, terhadap pelaku tindak kejahatan terorisme di Indonesia yang melarikan diri ke luar negeri atau warga negara asing yang terkait dengan kejahatan terorisme di Indonesia tidak bisa dilakukan ekstradisi.

 

“Itu juga perlu diperhatikan, ketiga motif itu dengan kata ‘atau’ atau ‘dan’. Apakah ketiga motif itu harus ada atau cukup salah satu saja?” tambah Anton. Hal ini menurutnya, akan berbeda konsekuensi hukumnya dalam proses pembuktian.

 

(Baca Juga: Akhirnya, DPR Setujui RUU Anti-Terorisme Jadi UU)

 

Anton setuju bahwa batasan yang jelas sangat dibutuhkan untuk menghindari kesewenang-wenangan. “Benar bahwa definisi bisa berkontribusi mencegah terjadinya kesewenang-wenangan menafsirkan. Namun ketika tidak mungkin sempurna(definisinya-red.), rumuskan saja perbuatan apa saja yang masuk kategori tindak pidananya,” ujarnya.

 

Mengacu pada UU Anti Terorisme sebelumnya yang berasal dari Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Anton menilai cara merumuskan tindak pidana yang dilarang di sana sudah benar.

 

“Harusnya tinggal tambahkan saja perbuatan apa yang selama ini dinilai sebagai bentuk terorisme tapi belum tercakup, lengkapi saja, mungkin daftar perbuatannya akan jadi sangat panjang, tapi itu lebih baik,” kata Anton lagi.

 

Definisi terorisme memang belum menemukan keseragaman dalam literatur internasional. Namun menurut Anton, setidaknya ada empat elemen yang selalu ada dalam berbagai definisi terorisme: menggunakan kekerasan, menimbulkan sejumlah korban, tujuan utamanya menciptakan rasa takut, dilakukan dengan kesengajaan.

 

(Baca Juga: Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme)

 

Pandangan yang sama diutarakan oleh organisasi masyarakat sipil Institute for Criminal Justice Reform(ICJR). Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju, mengatakan bahwa definisi terorisme yang disepakati Pemerintah dan DPR justru menimbulkan interpretasi yang kabur dan multitafsir.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait