Begini Arah Politik Hukum KUHP Nasional
Utama

Begini Arah Politik Hukum KUHP Nasional

Lebih mengarusutamakan keadilan ketimbang kepastian hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono saat menjadi narasumber dalam seminar bertema 'Hukum Acara Pidana Nasional:Penguatan Akses Keadilan dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional', Kamis (5/9/2024). Foto: HFW
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono saat menjadi narasumber dalam seminar bertema 'Hukum Acara Pidana Nasional:Penguatan Akses Keadilan dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional', Kamis (5/9/2024). Foto: HFW

Terbitnya UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai membawa perubahan paradigma pemidanaan di Indonesia. KUHP lama warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) dianggap mengutamakan penghukuman atau retributif sedangkan UU 1/2023 yang disebut sebagai KUHP Nasional mengedepankan penegakan hukum yang rehabilitatif atau restoratif.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof Pujiyono, mengatakan setelah KUHP Nasional diundangkan, KUHAP baru harus segera disusun. Secara umum politik hukum KUHP lama berbeda dengan KUHP Nasional. KUHP kolonial fokusnya pengenaan hukuman yang keras, penegakan kepastian hukum ketimbang penegakan keadilan dan mengabaikan perlindungan hak-hak individu.

Hal itu berdampak terhadap kurangnya penghargaan terhadap  hak asasi manusia (HAM) dan lemahnya akses keadilan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Sistem peradilan pidana menurut Prof Pujiyono sebagai sistem kekuasaan dalam menegakan/menerapkan hukum pidana yang berujung pengenaan atau penjatuhan sanksi pidana.

“Penerapan sanksi pidana dalam arti sempit (formil) merupakan kewenangan formal hakim. Dalam arti luas (materiil) penjatuhan pidana merupakan suatu proses (mata rantai proses) dari tindakan-tindakan hukum pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan sampai pelaksanaan pidana,” katanya dalam seminar bertema Hukum Acara Pidana Nasional:Penguatan Akses Keadilan dalam Rangka Menyongsong Pemberlakuan KUHP Nasional, Kamis (5/9/2024).

Baca juga:

Dia berpendapat selama ini upaya paksa seperti tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, pemeriksaan, interogasi dan lainnya sering diabaikan. Padahal tindakan itu mengandung hakikat pidana (punishment) dan pemidanaan (sentencing). “Tindakan paksa itu bagian dari pemberian pemidanaan, tapi sering diabaikan sehingga melanggar HAM,” ujarnya.

Pidana tak sekedar dipahami dalam konteks hakim menjatuhkan pidana, tapi sebagai rangkaian proses dalam sistem pidana. Pengarusutamaan keadilan dalam proses pidana dimulai dari tahap formulasi. Sementara konkretisasi hukum pidana meliputi tahap formulasi, aplikasi, dan eksekusi.

Dengan demikian penting memahami penegakan hukum pidana dalam kesatuan sistem. Yakni jalinan nilai yang harus diformulasi dalam hukum atau UU,  nilai-nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Sejak kebijakan formulasi (kebijakan legislasi) dalam UU harusnya sudah memberikan akses kepada keadilan.

KUHP lama memuat sejumlah karakter seperti individual, aliran klasik, legisme, formal, sistem pemidanaan tertuju pada ‘orang’, asas legalitas kaku/formal, orientasi pada perbuatan, dan asas legalitas kaku. Kemudian tidak adanya pengertian/batasan yuridis terkait tujuan dan pedoman pemidanaan serta tidak dimungkinkan adanya pemaafan hakim, mediasi atau keadilan restoratif (restorative justice).

Karakter Wetboek van Strafrecht menyebabkan berbagai persoalan seperti kasus kecil, di mana hakim hanya melihat ketentuan dalam UU. Akibatnya, banyak perkara yang sebenarnya tidak pantas untuk dipidana secara materiil tapi secara formal dipandang sebagai legalitas pidana seperti kasus nenek Minah yang dipidana karena mengambil buah Kakao. Terpinggirkannya rasa keadilan dan kemanusiaan, over kapasitas lapas dan rutan serta lainnya.

KUHP Nasional memuat berbagai asas antara lain asas kesimbangan perlindungan masyarakat/korban dan pembinaan/perbaikan individu, asas kemanusiaan, asas permaafan oleh hakim atau korban. Asas ‘culpa in causa’, asas elastisitas pemidanaan, modifikasi/perubahan/penyesuaian/ peninjauan kembali pemidanaan serta asas mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.

Keberpihakan KUHP Nasional menurut Prof Pujiyono terlihat dalam Pasal 53 yang mewajibkan hakim dalam menangani perkara pidana untuk menegakan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakan hukum dan keadilan itu ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan posisi hakim wajib mengutamakan keadilan. Ketentuan Pasal 53 itu merupakan sikap tegas pembuat UU bagaimana proses penegakan hukum dilakukan dan tujuan penegakan hukum,

“Merumuskan formulasi (Pasal 53,-red) itu mudah tapi implementasinya dibutuhkan kecerdasan spiritual dan intelektual hakim,” imbuhnya.

Lima agenda utama

Dalam kegiatan itu Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, Dewo Broto Joko, memaparkan rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 memuat 5 agenda utama. Pertama, transformasi sosial, meliputi pemenuhan pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial. Kedua, transformasi ekonomi, seperti hilirisasi sumber daya alam serta penguatan riset inovasi dan produktivitas tenaga kerja.

Ketiga, transformasi tata kelola, yakni kelembagaan tepat fungsi dan kolaboratif, peningkatan kualitas ASN, regulasi yang efektif, digitalisasi pelayanan publik, peningkatan integritas partai politik, dan pemberdayaan masyarakat sipil. Keempat, supremasi hukum, stabilitas dan kepemimpinan Indonesia.

Sasarannya memperkuat supremasi hukum dan stabilitas, serta membangun kekuatan pertahanan berdaya gentar kawasan dan ketangguhan diplomasi sebagai landasan transformasi pembangunan. Kelima, ketahanan sosial budaya dan ekologi melalui penguatan sebagai sebagai landasan dan modal dasar pembangunan.

“Rancangan teknokratik RPJMN 2025-2029 ini sedang diintegrasikan dengan visi, misi dan program Presiden dan Wakil Presiden terpilih,” papar Dewo.

Selain itu salah satu sasaran utama Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 adalah mendorong terwujudnya supremasi hukum yang berkeadilan, berkepastian, bermanfaat, dan berlandaskan HAM. Dari 5 poin Indeks Pembangunan Hukum (IPH) antara lain menyoal penerapan dan penegakan hukum serta penguatan lembaga hukum.

Strategi yang digunakan untuk mewujudkan itu menyasar transformasi sistem penuntutan dan advocaat generaal. Penguatan penegakan hukum pidana, perdata, dan tata usaha negara. Penguatan kelembagaan kehakiman, hukum bidang pelayanan, penerapan dan pembangunan hukum.

Berbagai persoalan dalam pengaturan KUHAP menurut Dewo terkait dengan sejumlah prinsip kontrol terhadap penahanan dan perlu direvisi agar selaras kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik (sipol). Persoalan over kapasitas lapas karena model penuntutan berdasarkan legalitas yang kaku. Paling penting, mekanisme check and balances terhadap upaya paksa di tahap penyidikan perlu dioptimalkan dalam RUU KUHAP.

Tags:

Berita Terkait