Begini Alasan Pemerintah Tetap Dorong RUU Cipta Kerja
Berita

Begini Alasan Pemerintah Tetap Dorong RUU Cipta Kerja

Untuk genjot investasi, Pemerintah telah mempersiapkan 36 RPP dan 7 Perpres turunan Omnibus Law.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Kepala BKPM Bahlil L, Ahmad Fikri Assegaf dan sejumlah pembicara dalam diskusi Business Law Forum di Jakarta, Kamis (5/3). Foto: RES
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Kepala BKPM Bahlil L, Ahmad Fikri Assegaf dan sejumlah pembicara dalam diskusi Business Law Forum di Jakarta, Kamis (5/3). Foto: RES

Digadang-gadang sebagai proyek besar regulasi, Pemerintah berharap Omnibus Law dapat menggenjot perolehan investasi senilai 7 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (sekitar 1.200 triliun rupiah). Besarnya target perolehan investasi itu tidak lepas dari harapan terhadap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, naik satu persen dari lima tahun terakhir.

Pemerintah memandang ekonomi dapat tumbuh sesuai ekspektasi jika tersedia lapangan kerja yang memadai dan investor tidak menghadapi hambatan birokrasi ketika berinvestasi. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan itulah sebabnya 86,5 persen  substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja (sering disebut juga RUU Omnibus Law) berkaitan erat dengan perizinan, kemudahan berusaha, investasi, serta pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi.

Airlangga Hartanto menjelaskan alasan Pemerintah bersikukuh mengusung RUU Cipta Kerja  dalam Business Law Forum yang diselenggarakan Assegaf Hamzah & Partners, di Jakarta, Kamis (5/3).

Menurut Airlangga, tanpa adanya transformasi ekonomi secara struktural melalui Omnibus Law, sistem birokrasi dan perizinan yang menghambat investasi hanya bisa diperbaiki dalam waktu 10 tahun ke depan. Ia menunjuk kasus 16 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan dalam 5 tahun pertama pemerintahan Jokowi tidak berjalan optimal.

(Baca juga: Akademisi Ini Kritik Cara Penyusunan RUU Cipta Kerja).

Contoh sederhana, penetapan harga gas industri sebesar 6 dolar Amerika Serikat (AS$) belum bisa diputuskan. Belum lagi evaluasi kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang juga tak bisa berjalan. “Jadi kalau pakai sistem formal, sistem itu baru bisa diperbaiki dalam 10 tahun,” tukasnya.

Untuk mempercepat perubahan sistem itu, Pemerintah tidak hanya menyampaikan RUU Omnibus Law ke DPR, tetapi juga langsung mempersiapkan sejumlah aturan teknis. Menurut Airlangga, saat ini sudah dipersiapkan 36 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan 7 Rancangan Peraturan Presiden (Perpres).

Selain mempersiapkan regulasi teknis, Pemerintah mempersiapkan sistem perizinan yang terintegrasi ke pusat. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyebut pihaknya juga tengah mempersiapkan aplikasi baru yang terintegrasi dengan OSS. “OSS kan sekarang sudah berubah dari 1.0 kan ke 1.1, dan di Omnibus Law tentunya akan banyak aturan yang berubah, makanya mau tidak mau kita harus mengembangkan aplikasi baru yang terintegrasi dengan OSS,” Jabarnya.

(Baca juga: Kenali Ragam Hambatan Izin Usaha via OSS).

Ketua BPKM menambahkan, peningkatan sumber daya manusia di Dinas Penanaman Modal-Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) terus dilatih agar bisa cepat menyesuaikan diri dengan perubahan, mengingat BKPM memang didapuk sebagai sentra delegasi perizinan dari 22 Kementerian sektor dan Lembaga sejak berlakunya Inpres No. 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

Sumber Persoalan

Bahlil menyebutkan tiga sumber utama penghambat eksekusi investasi, yakni regulasi yang tumpang tindih; egosektoral antara Kementerian/Lembaga, bupati, gubernur dan walikota; dan ‘hantu berdasi’. Ketiga sumber utama ini ditemukan saat BKPM mengkaji terhambatnya investasi sebesar 708 triliun rupiah selama bertahun-tahun. Meskipun sudah ada program penomoran izin berusaha, tetap saja NIB tak bisa memangkas waktu perizinan hingga tiga jam. Penyebabnya, investor tetapi diwajibkan memperoleh notifikasi dari kementerian atau lembaga (K/L) terkait.

“Akhirnya, saya minta dikeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2019. Jadi seluruh izin dari 22 Kementerian dan Lembaga kini didelegasikan ke BKPM. Di situ waktunya bisa kita pangkas,” jelasnya.

Alhasil, katanya, realisasi investasi pada akhir 2019 mencapai Rp809 triliun (surplus sekitar Rp17,6 triliun). Persoalannya, kendati pada tataran K/L bisa diselesaikan melalui Inpres, bagaimana halnya dengan Pemda? Tidak sedikit Pemda menerbitkan aturan di level daerah yang potensial bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Mereka berlindung di balik UU Pemerintahan Daerah.

Bagaimana dengan kewenangan perizinan di tangan Pemda? Bahlil menegaskan tidak akan ada pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dalam RUU Omnibus. Jika ada perda yang bertentangan, Pemerintah akan melakukan harmonisasi.

Dalam panel diskusi, Airlangga Hartanto juga menegaskan bahwa pemerintah pusat tidak akan melakukan sentralisasi. Solusi yang dikeluarkan, katanya, Pemerintah Pusat, Daerah dan Kementrian didorong untuk memiliki Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang sama. “Jadi yang ditarik adalah service level agreement-nya,” tukas Airlangga.

Partner Firma Hukum Assegaf Hamzah & Partners, Ahmad Fikri Assegaf menyayangkan jika sentralisasi tak dilakukan di Omnibus Law. Pengalaman dalam implementasi sistem OSS, katanya, jika izin dijalankan di daerah kabupaten/kota, namun bupati atau walikotanya menentang, ujungnya investasi tetap tak akan bisa dieksekusi. Untuk itu, ia menganjurkan penarikan kewenangan daerah dan menteri diambil alih pemerintahh pusat untuk kemudian didistribusikan kembali.

“Pemda dan Menteri itu mempunyai kewenangan atributif. Presiden tak bisa ambil alih itu. Jadi ruh pemusatan itu memang harus ada melalui pengembalian kewenangan ke pusat, baru kemudian didistribusikan ke daerah. Bila tidak, di situ pasti tidak bisa dijalankan investasinya,” jelasnya.

Fikri juga mengkritisi ketentuan batasan waktu pembuatan Peraturan Pelaksana (PP) dalam tenggat 30 hari (Pasal 173 RUU Omnibus Law). Padahal, katanya, materi-materi UU yang didelegasikan ke PP adalah materi yang sangat penting, menyangkut definisi misalnya. Muncul kekhawatiran atas waktu yang relatif singkat, bagaimana pemerintah bisa merumuskan muatan PP secara berkualitas. Padahal, ada sekitar 456 materi PP yang akan didelegasikan. Ditambah lagi track record pembuatan PP di Indonesia yang masih belum sepenuhnya baik. Ia mencontohkan salah satu PP turunan UU PP terkait spin off yang belum kunjung selesai sejak 2007 silam. “Jadi Pasal itu perlu dipertimbangkan kembali,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait